Baru selesai urusan dengan pihak leasing, kulihat Nely menerima telepon di halaman belakang sambil mondar-mandir. Ada apa lagi dengan istri ke duaku ini? Kutunggu lima menit belum juga diakhirinya panggilan telepon itu. Akhirnya kudatangi tanpa sepengetahuannya.
“Iya, iya nanti aku balikin. Beri aku waktu. Kamu tega sekali sama teman! Dulu pas kamu susah aku juga bantuin, kan?”
Nely tak tahu jika aku menguping pembicaraannya. Ngomong sama siapa dia? Apa yang mau dikembalikan? Tak tahan menunggu lama, segera kuambil ponsel di genggamannya.
“Hallo … Ini siapa?” tanyaku kepada sosok di panggilan itu.
“Oh … Saya Siska, Mas. Temannya Nely. Mas suami barunya Nely, ya?”
“Ya, ada apa?”
“Oya kebetulan. Nely pinjam uang aku, Mas. Dah setahun lebih enggak dibalik-balikin. Dulu aku enggak tega k
Siapa sekarang yang harus kutemui untuk mendapat informasi tentang Alya? Aku memutar otak sejenak. Lalu muncullah satu nama, Dini. Ya, Dini pasti mau membantuku. Kukirim pesan kepada teman kantornya Alya tersebut.[Din, kamu ada waktu? Aku perlu bicara. Bisa gak kita ketemuan siang ini?]Kulihat Dini sedang online. Maka pesanku langsung dibalas.[Ada apa nih? Pasti masalah Alya, ya? Tuh dia lagi nerima telepon][Ya, tentang Alya. Siapa lagi. Telpon sama siapa?]Aku jadi tertarik ingin tahu semua tindak-tanduk Alya sekarang.[Duh mahal nih infonya. Aku baru buka mulut kalo ditraktir makan siang yang enak]Dini masih sama. Doyan makan. Aku tak keberatan dengan permintaannya.[Ok. Kamu mintanya makan di mana?]Dia kemudin menyebutkan salah satu outlet makanan di mall dekat kantornya.🌷🌷🌷Tepat pukul dua bel
Saat ini aku diajak Mila menemaninya makan siang. Sebenarnya aku malas, tetapi dia memaksa. Apalagi kemarin aku sudah menolak ajakannya menghadiri grand launching perumahan rekan bisnisnya.“Al, aku mau beri tahu sesuatu tapi please kamu jangan menoleh ke samping apalagi ke belakang, ya,” bisik Mila sambil matarnya tetap melihat kea rah di balik punggungku.“Apaan sih, Mil? Bikin orang penasaran aja,” protesku.“Aku merasa ada orang di meja pojok yang perhatiin kita, deh.” Mila melirihkan suaranya sambil matanya tetap melirik ke arah pojok yang dimaksud.“Halah, kamu jangan ge-er!” sanggahku.“Serius! Cuma aku enggak bisa lihat wajahnya dengan jelas karena topinya enggak dilepas. Ceweknya sih pake seragam sama kayak kamu,” jelas Mila bikin aku penasaran dan ingin membalikkan badan.
“Buk, tadi pagi Bapak mampir ke sini. Maaf saya tidak bisa melarangnya masuk.” Begitu aku menginjakkan kaki di rumah, Bik Sum langsung memberi laporan.“Ada perlu apa ya, Bik?” tanyaku sambil melepas kaus kaki.“Cuma lihat Rheza, Buk. Tapi Reheza lagi tidur di kamar Jenengan tadi.”Aku melangkah ke kamar. Oh … pantas tadi Mas Wildan menuduhku punya hubungan dengan laki-laki lain. Rupanya dia telah melihat buket mawar ini. Kertas ucapan dari Coach Akmal lusuh bekas diremas. Berarti Mas Wildan juga tahu kartu ucapannya belum kubuka. Segera kusobek amplop kecil warna putih itu, di dalamnya tertulis, ‘Al, jika kita berjodoh, pasti ada jalan untuk kembali.’Kuletakkan kembali kartu ucapan itu ke dalam amplopnya. Benar memang jodoh di tangan Allah. Namun kata-kata Mas Wildan seolah menyiratkan, semua itu akan bim salabim tanpa a
Alya makin pelit kata-kata. Setelah kupancing dengan tuduhan sering bertemu dengan laki-laki lain, dia malah membisu. Kupikir dia akan emosi. Lalu membuat klarifikasi bahwa itu tidak benar. Sehingga ada kepuasan pada diriku, bahwa dia tidak berpaling. Namun, itu tidak dilakukannya. Dia menahan emosi atas kebenciannya terhadapku. Sungguh wanita yang sangat kuat mengontrol emosinya.Lantas siapa Coach Akmal itu? Jika benar dia developer property – sebagaimana yang dikatakan oleh Dini – berarti dia bukan orang biasa. Lebih baik kutanya langsung saja orangnya. Kulihat tadi dia terus melihat Alya dengan tatapan yang tak biasa. Aku laki-laki dewasa. Aku tahu makna tatapan itu. Aku tak akan membiarkan Alya jatuh pada perangkap laki-laki yang hanya memanfaatkan kondisinya yang sedang labil saat ini. Saat tubuhku berbalik hendak ke meja yang tadi
Pagi ini aku harus balik ke kapal. Kali ini aku memang tidak libur, hanya izin pulang karena ibu masuk rumah sakit. Sehingga tak bisa lama-lama di rumah. Seperti saat Rheza operasi dulu. Saat aku pamit dengan Nely, dia malah menagih. “Mas, mana uang belanjanya?” “Kamu enggak pegang uang sama sekali?” tanyaku memastikan. “Enggak ada Mas, uang dari mana?” ungkapnya sambil mengangkat kedua tangannya dalam posisi menengadah. “Pakailah tabunganmu dulu. Ini aku hanya cukup buat ongkos balik naik bus.” Segera kupakai jaket warna hitam dan tas punggung.&nbs
Hilang Empati Hari ini sudah tanggal empat. Kucek M-Banking belum juga ada dana masuk dari Mas Wildan. Padahal dia menjanjikan setiap gajian jatah anak-anak akan ditransfer. Melihat fakta ini, maka aku tak mungkin mengajukan cuti di luar tanggungan negara dengan alasan menjalanai masa iddah. Lagian jika mau jujur, nafkah dari Mas Wildan selama ini cukup buat kebutuhan pokok saja. Sementara biaya sekolah Rohim dan beberapa kebutuhan lain diambil dari gajiku. Jadi, aku terpaksa ke luar rumah untuk bekerja. Sebab Mas Wildan tak melaksanakan kewajibannya memberi nafkah. Untuk memastikan gaji dari perusahaan sudah masuk atau belum, kutanyakan kepada Mila. Barangkali saja ada keterlambatan. [Mil, Pak Dhimas gajinya dah masuk belum?] Sebuah pesan lewat aplikasi hijau kukirim. Untungnya Mila sedang online sehingga pesanku langsung dibaca dan dibalas. [
Sepulang kerja, ketika hendak memasuki halaman rumah, ada motor matic pelat luar kota itu lagi di tepi jalan. Apakah wanita itu ke sini? Dugaanku tak salah. Perempuan yang perutnya mulai kelihatan buncit itu sedang duduk di ruang tamu. Matanya nyalang memandangi foto pernikahan yang belum sempat kuturunkan.“Assalamu’alaikum. Eh … ada tamu,” ucapku pura-pura tak tahu.Nely mengalihkan pandangannya padaku. Bik Sum buru-buru mendatangiku. Beliau terlihat mau bicara, tetapi mulutnya hanya terbuka tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mungkin dia bingung mau bicara apa. Ada ekspresi ketakutan di wajah yang mulai keriput itu. Bisa jadi Bik Sum mengkhawatirkanku akan bertengkar dengan Nely nantinya.“Bik, tolong buatkan minum!” pintaku dengan nada tenang.“Inggih, Buk, sampun. Tinggal disuguhkan.” Bik Sum langsung kembali ke dapur.
Kutundukkan kepala. Kenapa ini baru Mas Wildan lakukan sekarang? Kala hati sudah kugiring menimbun semua kisah kami. Dikiranya mudah mengendapkan tujuh tahun waktu bersamanya.“Al, kamu enggak tidur, ‘kan?” panggilnya. Aku memang diam, tetapi terjaga. Bahkan mataku mulai berkaca-kaca.“Sebenarnya aku sudah ngantuk, Mas. Tapi denger kamu bicara gitu ngantukku langsung ilang,” sahutku sambil menahan isakan.“Jadi gimana?” tegasnya.“Kamu tahu enggak Mas?” Aku berhenti sejenak. Air mataku akhirnya tumpah. Lalu kukuatkan lagi untuk bicara. “Sejak masalah ini terkuak, aku terus berpikir. Mencari solusi terbaik yang bisa diambil. Di awal-awal egoku memang mendominasi. Aku harus memenangkanmu. Aku enggak boleh kalah sama Nely.”Kusandarkan kepala ke tembok sambil sedikit mengangkat dagu. Kemudian mata kupejamkan.&