“Semalam, kamu jadi bertemu dengan Mada?” Ryota memandang lurus ke arah luar, menatap lapangan golf yang terlihat begitu hijau sebelum perlahan menatap ke arah Tash yang tengah mengunyah muffin cokelat dengan sangat perlahan. “Tebakanmu benar, dia datang dengan perempuan yang sama dengan di acara charity.” Tash menggerakan jemarinya kemudian meraih gelas berleher tinggi untuk meneguk isinya seraya sedikit memiringkan tubuh menjauhi titik pandang Ryota. “Itu Jenar, sekretarisnya,” balasnya sejurus kemudian setelah mencari tahu lingkup terdekat Mada setelah di acara charity, Mada bersikap mencurigakan. "Dan aku yakin, Jenar bukan sekadar sekretaris bagi Mada." Ryota menyilangkan kedua tangannya di depan dada lalu bersandar di kursi seraya memandang penjuru di lounge tersebut. Matanya menyipit dan sudut bibirnya terangkat pada satu sisi. "Dia pasti spesial, tidak mungkin Mada mengajak sembarang orang ke acara charity lalu berusaha mati-matian menyembunyikan identitasnya." “Aku ta
“Peningkatan dalam kuartal ketiga di tahun ini seharusnya menjadi indikator yang baik untuk Lawana Corporation, tetapi saya kira tidak demikian.” Jenar berjarak cukup jauh dari Mada. Dirinya bosan sekaligus lapar. "Apa yang saya katakan bisa menjadi benar sekaligus salah. Bukankah keraguan adalah pertanda bahwa kita kritis terhadap hal yang dikerjakan?" tanya Mada seraya berjalan menuju tempat duduknya. Mendengar pemaparan rapat meski hal ini merupakan bagian dari pekerjaannya, tetap saja membuat perempuan yang sedang menahan lapar itu jenuh. “Harus diakui bahwa memang kurvanya terlihat lebih tinggi, tapi apakah para stakeholder menyadari bahwasanya …” Jenar memutuskan untuk meneguk air serta mengunyah makanan ringan yang disajikan sambil sedikit memalingkan wajah sedangkan telinganya terus saja mendengar suara Mada. “Pak Mada, saya izin menyela, Pak.” Mada mengangkat kepala, begitu pula beberapa pasang mata yang langsung mengarah kepada si pria paru baya tersebut. “Silakan,” k
“Apa kamu benar-benar tidak memiliki kekasih, Je?” tanya Taka kepada Jenar yang hanya terkekeh geli.[Pak Mada: Kalau ingin berkencan denganku, katakan saja.]Jenar mengibaskan tangan sedangkan matanya tertuju kepada layar ponsel yang memberikan notifikasi terdapat pesan baru dari Mada.“Begitu lah, Mas.”“Jangan berteka teki seperti itu, Je,” kekehnya mengamati raut Jenar yang terlihat cukup“Taka, sejujurnya aku tidak yakin jika Jenar masih sendiri,” sambung Lamina dengan mengedipkan mata ke arah Jenar.“Lami, jangan asal bicara,” timpal Jenar dengan mendengkus.“Artinya kamu sudah memiliki kekasih.”“Hei, bisakah aku memilih untuk tidak menjawabnya?”“Ladies, apa ada yang ingin menambah gyoza?”“Taka, aku kenyang.”“Aku …”Lamina bersiul dengan cukup panjang sedangkan Taka hanya mengangkat bahu, berusaha memberikan privasi kepada Jenar.Jenar sendiri tengah bersusah payah untuk menyalakan kontras di ponselnya agar sorot temaram dari tempat ketiganya bersemayam tidak membuat Jenar k
"Mada, kamu sedang bercanda, kan?""Tidak.""Mengakui hubungan kita kepada Lamina? Tidak," tegasnya dengan disertai gelengan kepala."Hubungan ini ... hal yang sedang kita jalani, entah apapun itu sebutannya lebih baik hanya diriku dan dirimu yang tahu."“Jenar, dengan kamu yang berniat pergi dengan Lamina tanpa melibatkan atau mempertimbangkan perasaanku, maka aku—”“Bagaimana dengan satu kecupan di pipi sebagai bayarannya?” tawar Jenar dengan mencoba menenangkan Mada yang sedang berada di dalam fase merajuk.“Hmm.”Mada bergumam kemudian mengetuk jemari ke atas meja, punggungnya bergoyang-goyang pelan di atas tempat duduk tersebut.“Itu yang kamu inginkan, bukan?”“Tidak,” balas Mada dengan menggerakan jemarinya, memberikan kode kepada Jenar untuk bergerak mendekat ke arahnya.“Kamu tidak ingin aku cium?!” tanya Jenar dengan terperangah kepada lelaki menggemaskan yang sedang merajuk tidak karuan ini.“Aku lebih ingin ikut dengan dirimu dibanding harus menerima satu buah ciuman lalu
“Apa sebaiknya saya pamit dari sini?” tanya Mada setelah beberapa saat.Laki-laki yang masih mengharapkan jawaban dari Jenar itu pada akhirnya memilih menawarkan diri untuk meninggalkan area tersebut dengan suka cita.“J—jangan Pak Mada, tidak apa-apa,” cegah Lamina ketika Mada sudah mengangkat bokongnya.“Mungkin Jenar memang terlihat kaku dan kurang bersahabat,” kilah Lamina dengan melebarkan matanya ke arah Jenar yang nampak jengah bukan main.“Jadi saya bisa tetap ikut bergabung di sini?”“Tidak.”“Iya.”“Tentu saja, Pak Mada.”Oke. Kali ini Jenar kembali kalah suara.Baik Taka dan Lamina menginginkan kehadiran Mada di sana sehingga tidak ada pilihan lain bagi Jenar untuk mengiyakannya saja.“Oh ayolah Je, aku tahu mungkin kamu bersitegang dengan Pak Mada.”Mada yang sudah kembali duduk pada posisinya lantas melirik ke arah Jenar, bersitegang apanya?Padahal selama ini di kantor, Mada sellau memperlakukan Jenar dengan sangat lembut dan manis, tidak ada kurangnya perhatian yang dia
“Kekasih,” ulang Jenar dengan memutar bola mata sebelum tubuhnya bergoyang-goyang pelan. “Kamu menganggap diriku lelucon semata, Jenar? Apa yang lucu dari kata yang aku lontarkan?” tanyanya. “Itukah sebabnya kamu menolak untuk menjawab pertanyaan yang tadi aku lontarkan? Itukah sebabnya kamu bersikap dingin dan menjaga jarak?” “Mada,” balas Jenar keheranan ketika menyadari bahwa Mada tengah bersikap pasif agresif kepada dirinya. “Apa yang kamu katakan? Ini sudah malam, jangan melantur,” kata Jenar dengan menguap dan nyaris terantuk sebelum memutuskan berdiri meski dirinya sedikit terhuyung. “Lagipula, apa benar kamu sedang menunggu seseorang untuk—” “Aku menunggumu,” potong Mada dengan senyum hangat yang membuat Jenar merasakan kehangatan matahari terbit di pagi hari. "Oh itu sangat manis, Mada." "Memang aku selalu manis, bukan?" Dirinya berjalan mendekat ke arah Jenar, lalu mengulurkan tangan agar Jenar dapat memegangnya sebelum berdiri dengan sempurna. Tubuh Mada yang menju
“Taka, kamu melihat di mana aku meletakan tas riasanku?” tanya Lamina dengan menunduk diliputi kepanikan. Dia sibuk membuka tas kerja yang dia letak di atas paha lalu mengecek bagian dalamnya. Lamina hendak mencari tas yang berukuran lebih kecil di dalamnya dengan cukup berisik. "Aaaah, kenapa tas riasanku tidak ada? Oh Tuhan, di mana aku meletakannya?" ceracaunya. Taka yang berada dibelakang kemudi lantas menoleh ke arah penumpang yang berada di sebelahnya dan mengedikan bahu. “Aku tidak membuka tas kerjamu sama sekali, jadi aku tidak tahu. Kamu yakin benda itu tidak terselip?” “Oh, sangat tidak mungkin,” keluhnya dengan suara pelan sebelum mengadah lalu menggembungkan pipi. “Apa mungkin aku meninggalkannya di restauran tadi?” “Ingin kembali?” tanya Taka beberapa saat kemudian setelah melihat tanda untuk putar arah yang semakin dekat dengan posisi mereka saat ini. “Tidak, itu akan membuang-buang waktu,” putusnya sambil mengetuk sisi jendela menggunakan punggung tangan. Duduk
“Lamina?” ulang Jenar dengan mencicit penuh keterkejutan.“Lamina,” tegas Mada berupaya membuat Jenar percaya bahwa dia tidak sedang bercanda.“Kenapa tiba-tiba kamu menyebutkan nama Lamina?” bisiknya.Dia mendadak mengadah, menatap duda usil dengan tinggi menjulang dihadapan yang tengah mencengkram pergelangan tangannya cukup kencang sehingga Jenar kesulitan untuk bergerak.“Karena ada Lamina,” terang Mada dengan menarik Jenar pelan ke arah dekapnya.Pertikaian mereka mendadak menjadi menguap begitu saja seiring suara alas kaki yang bergerak ke arah nama yang di maksud.”“Kalau ada papa, aku pasti menyebut nama papa.”“Ya, tentu.”Jenar mengerjap cepat, merutuki kebodohannya sekaligus merasa bahwa Mada hanya sedang mempermainkan dirinya saja.“Dasar lucu, seharusnya aku tidak mempercayai ucapanmu begitu saja karena aku tahu dengan pasti bahwa kamu sedang menyampaikan kelakar.”“Well said, Nona. Aku memang lucu,” ledek Mada kepadanya hingga Jenar berdecih pelan.Perempuan yang tengah