Varisha memasuki hotel dengan langkah ragu. Setiap lorong, setiap sudut, menyimpan kenangan manis dan pahit. Kembali ke tempat yang penuh cerita dengan Arshaka memang membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan.Langkah Varisha terhenti di depan pintu kamar yang dulu mereka tempati. Sesak napasnya sejenak. Ia menelan ludah, mencoba mengatasi kecemasan dalam dirinya. Dengan keberanian yang baru ditemukannya, Varisha mengetuk pintu.Suara langkah kaki di dalam terdengar mendekat, dan detik berikutnya pintu terbuka. Namun, apa yang ditemui Varisha melebihi segala ekspektasinya. Seorang wanita berambut pirang, mengenakan gaun tidur transparan, berdiri di ambang pintu. Tatapannya seolah mengukir pertanyaan di wajah Varisha.Varisha hampir saja berbalik, menyerah pada rasa malu dan kecewa yang menyergapnya. Namun, wanita itu menghentikannya."Come in," kata wanita berambut pirang itu dalam bahasa Inggris yang fasih, mempersilakan Varisha masuk.Dengan hati-hati, Varisha melangkah masuk,
Arshaka menoleh lalu mengangkat kedua alisnya. “Adakah sesuatu yang masih harus kita bicarakan?” “Saya tahu kamu membenci saya, Mas. Tapi, ada hal yang harus saya bicarakan,” kata Varisha dengan lebih tegas. Arshaka memandang Varisha tanpa ekspresi lalu pria itu tampak berbicara dengan wanita di sebelahnya agar meninggalkan mereka. Wanita itu mengangguk tanpa ekspresi yang berarti, ia mencium bibir Arshaka sekilas sebelum pergi melewati Varisha dengan sinis.“Masuklah! Waktumu tidak banyak!” Arshaka membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Varisha masuk lebih dulu.Varisha melangkah dengan penuh keragu-raguan. Untuk pertama kali akhirnya ia mampu menatap mata Arshaka cukup lama. Pria itu tampak semakin tampan dan matang di usianya yang sudah empat puluh tahunan. Arshaka melangkah menuju mini bar lalu mengambil sebotol wine dan menuangkannya di dalam gelas. Ia sempat mengangkat gelas itu sambil memandang ke arah Varisha.“Saya tidak minum, Mas,” jawab Varisha, dengan refleks mengus
Varisha kembali ke kamarnya setelah menenangkan diri. Ia melangkah dengan perlahan agar tidak mengganggu Sebastian. Namun, saat baru saja membuka cardigannya, Varisha merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya.“Kamu pergi ke mana?” tanya Sebastian dengan suara serak.“Maaf, Tian. Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku berjalan-jalan sebentar,” sahut Varisha dengan suara setenang mungkin.“Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Aku bisa menemani kamu.”“Aku tidak mau mengganggu kamu, Tian. Kamu tidur seperti bayi,” balas Varisha sambil mengusap tangan Sebastian di atas perutnya.Sebastian membalik tubuh Varisha. Ia tersentak ketika melihat sisa air mata di wajah istrinya. “Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi, Sayang?” tanya Sebastian dengan cemas.Varisha panik, ia belum sempat menyegarkan wajahnya. Jantungnya berdetak kencang saat melihat tatapan cemas di mata suaminya. Varisha benci ketika dirinya harus membohongi pria sebaik Sebastian. Namun, tidak ada cara lain yang dapat ia lakukan.
Beberapa hari kemudian, ketika melihat kondisi Cakra yang semakin menurun Varisha merasakan berbagai perasaan yang menerjangnya. Sakit sekali rasanya melihat ayahnya tampak tak berdaya, namun yang lebih menyakitkan adalah saat dirinya tidak bisa memenuhi keinginan Cakra untuk bertemu dengan Arshaka. Varisha merasa telah gagal menjadi seorang anak di saat-saat terakhir Cakra.Sejak tadi, Anindya terus berdoa di samping Cakra sambil terus memegang tangannya. Sementara Sebastian terus mendampingi Varisha. Arini dan Arseno pun berada di sana menemani Anindya.Varisha mengusap air matanya. “Aku mau istirahat, Tian,” bisik Varisha.“Aku antar ke apartemen, ya?” kata Sebastian dengan penuh perhatian.Varisha hanya mengangguk lalu mereka pamit. Sepanjang jalan Varisha hanya merenung memikirkan Cakra. Sebastian terus menguatkan Varisha dengan mendekap tubuh istrinya. Sesampainya di apartemen, Varisha segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Sebastian.Vari
Varisha membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu lemah dan hatinya terasa sakit. Ia menoleh ke arah suaminya yang berada di sampingnya sambil terus menggenggam tangannya.“Akhirnya kamu sudah sadar, Sayang.” Sebastian mencium kening istrinya dengan lembut. “Maafkan aku, Tian,” bisik Varisha dengan lemah. Ada rasa sakit di matanya ketika melihat Sebastian yang menatapnya dengan penuh cinta dan kekhawatiran.“Maaf aku tidak bisa menjaga bayi kita,” lanjut Varisha dengan lirih dan air mata yang tak hentinya mengalir. Varisha masih mengingat apa yang terjadi. Ketika darah mengalir di bawah kakinya tepat saat dirinya baru saja sampai di kamar apartemennya setelah menemui Arshaka. Masih sangat jelas dalam ingatannya bagaimana rasa sakit yang menghujam perutnya. Rintihan kesakitan dan air mata mengalir bersamaan, sampai samar-samar ia merasakan tangan Sebastian yang menopang tubuhnya. “Sst… jangan katakan apa pun lagi.” Sebastian meraih tubuh Varisha dengan lembut dan mendekapnya.
Cakra hanya termenung di ranjang. Sejak Arshaka pergi dari kamar perawatannya. Cakra terus diam dan tidak mau diajak bicara, bahkan kepada dokter dan perawat yang memeriksa kondisinya. Anindya merasa sedih melihat keadaan suaminya. Tatapan mata Cakra begitu kosong dan hampa seolah sesuatu telah merenggut cahaya dan sinar matanya. “Apa yang sudah Arshaka katakan, Mas. Kenapa kamu jadi seperti ini?” tuntut Anindya dengan kesal saat suaminya itu hanya diam saja.“Saya akan menemuinya. Anak itu sudah keterlaluan, saya akan menyeretnya dan menyuruhnya meminta maaf,” lanjut Anindya dengan geram. Arshaka sudah sangat keterlaluan, pikir Anindya. Cakra hanya menggeleng sambil meletakkan tangannya di atas punggung tangan istrinya.Anindya menjadi semakin frustrasi, entah apa yang sudah Arshaka katakan pada Cakra. Kali ini, Anindya tidak akan memaafkannya dengan begitu mudah. “Kalau begitu katakan, Mas. Apa yang sudah Arshaka lakukan?”Cakra tidak meresponnya, membuat Anindya semakin putus a
Kondisi Cakra semakin menurun beberapa hari kemudian. Semua orang sudah berkumpul di dalam kamarnya. “Maafkan Papa ya, Rin. Maaf kalau selama ini Papa belum bisa menjadi ayah yang baik untuk kamu,” kata Cakra sambil mengusap kepala Arini.“Arini juga minta maaf, Pa. Maafkan semua kesalahan Rini,” bala Arini dengan air mata berlinang. “Tolong jaga putri Papa ya, No.” Cakra menyatukan tangan Arini dan juga Arseno yang kini menganggukan kepalanya seolah mengatakan jika Cakra tidak perlu khawatir.Setelah berbicara dengan Arini dan Arseno. Cakra menatap ke arah Varisha dan Sebastian. “Terima kasih, Pa. Terima kasih sudah hadir dalam hidup Varisha dan memberikan kasih sayang yang tidak pernah Varisha bayangkan. Varisha sayang Papa,” ucap Varisha sebelum Cakra sempat berbicara. Ia mendekat beberapa langkah lalu mencium kening ayahnya. Cakra tersenyum sambil mengusap sisa-sisa air mata di wajah putrinya. “Jangan menangis lagi, Varisha. Nikmatilah hidupmu. Mulai sekarang, apa pun pilihan
Arshaka memasuki ruang kerja ayahnya dengan langkah-langkah berat. Udara yang terasa pengap dan harum kertas bergelayutan di sekitarnya, menyapa Arshaka dengan kenangan lama yang sudah hampir terlupakan. Delapan tahun tak melangkah ke sini, namun ruangan ini seolah membawa kembali alur masa lalu.Ruangan itu masih seperti yang ia kenal, meski terlihat sedikit berbeda. Lukisan-lukisan megah yang menghiasi dinding memberikan aura kesan klasik pada ruangan tersebut. Arshaka melihat lukisan favorit ayahnya, sebuah karya seni yang selalu mencuri perhatiannya. Di antara gambar-gambar itu, ada tambahan beberapa karya lain yang tak terlalu diperhatikan oleh Arshaka.Lalu, pandangannya beralih ke meja kayu yang sudah menjadi saksi bisu pertemuan pertama mereka dalam beberapa tahun terakhir. Di antara tumpukan kertas, pena, dan alat tulis, terdapat bingkai foto yang membawa Arshaka kembali ke masa kecilnya. Di situ, senyumnya bersanding dengan senyum bahagia sang ayah. Saat itu, dunia terasa be