Ting!
Ting!
Ting!
Notifikasi pesan masuk secara bersamaan ke ponsel Lidia. Wanita yang sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan itu menghentikan langkah dan mengambil benda pintar dari dalam tasnya.
Lidia mengernyitkan kening saat mendapati pesan tersebut berasal dari nomor tak dikenal. Namun, jemarinya tetep menyentuh layar dan membuka deretan pesan anonim di gawainya. Pesan pertama berisi sebuah foto pria dan wanita yang sedang berpelukan, pesan kedua dan ketiga pun sama.
Wajah Lidia mengeras, ia yang semula ingin membeli beberapa pakaian, mengurungkan niat tersebut. Wanita paruh baya itu tak jadi berbelanja, dia memutar arah, melangkah lebar kemudian memasuki mobinya.
“Antar saya ke rumah Rhea!” titah wanita tersebut.
“Baik, Nyonya.”
Tak sampai lima belas menit, sedan hitam yang membawa Lidia sudah tiba di pelataran rumah Rhea. Kedatangannya disambut hangat oleh wanita t
“Kak Gala, tunggu!” Alea menahan lengan Gala. Ia yang sedari tadi sengaja menunggu lelaki itu, tak mau melewatkan kesempatan saat Gala melintas di depannya.Gala menatap datar Alea. Hampir seluruh wanita diperlakukan demikian, hanya Amanda-lah yang mendapat perlakuan berbeda dan istimewa. Orang-orang menyebutnya si dingin Gala, dan si cuek Amanda, begitulah kira-kira gambaran yang tepat untuk mendeskripsikan keduanya.“Aku mau tanya sesuatu,” ucap Alea. Bertepatan dengan itu, Amanda dengan ransel birunya terlihat berjalan ke arah mereka, lebih tepatnya ke arah parkiran. Karena kebetulan, Alea dan Gala sedang berada di sana.Gala dan Amanda bersitatap cukup lama, sampai Amanda mengedarkan pandangan dan memutus kontak mata mereka. Melihat pemandangan tersebut, Gala tak tinggal diam, ia bergegas mengejar Amanda, mengabaikan Alea yang menatap nanar punggungnya.“Manda,” panggil Gala cukup keras.Bukannya berhenti, Am
Kenzie masih terjaga, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Perkataan Alea sukses membuat matanya sulit terpejam, terlebih sampai selarut ini Kenzo belum pulang dan tak mengabarinya sama sekali.Sudah lebih dari sepuluh kali Kenzie melirik gawai, berharap setidaknya ada satu pesan yang dikirim lelaki itu. Namun nihil, layar ponselnya tak menampilkan notifikasi apa pun.Jemari Kenzie mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir, apakah dirinya harus menghubungi Kenzo lebih dulu? Atau menunggu sambil berusaha memejamkan mata?Kenzie memilih menunggu beberapa menit lagi, jika Kenzo tak juga pulang dan memberinya kabar, dia akan menelepon lelaki itu. Rasa cemas, curiga, khawatir bergantian memanuhi kepala, hingga dirinya gelisah dan tak bisa memejamkan mata.Tiga puluh menit waktu toleransi yang diberikan Kenzie berlalu, dan sampai saat itu belum ada tanda-tanda kepulangan Kenzo. Hal itu membuatnya tak bisa lagi menahan diri. Kenzie segera meneka
“Berhasil?”Bara tersenyum lebar sembari mengangkat ibu jarinya. “Tentu.”“Bagus!”Wanita yang tak lain adalah Rhea tesenyum puas. Ia sengaja tak ikut serta ke pertemuan malam ini bersama kedua orang tuanya, namun dia tetap datang dan bersembunyi di suatu tempat seraya menjalankan rencana.Bara, lelaki yang sejak dulu tergila-gila pada Rhea hendak memeluk wanita itu, tapi Rhea lebih dulu mencegahnya. “Apa yang kau lakukan?”“Come on babe, kau tidak lupa dengan perjanjian kita bukan?”Rhea menatap malas sosok di hadapannya, kemudian menarik pergelangan tangan lelaki itu.“Ah! Sentuhanmu membuatku tidak sabar, honey,” ujar Bara seraya mengikuti langkah kaki Rhea.Sementara itu, pria berkacamata hitam membawa Kenzo memasuki hotel berbintang. Seorang wanita berpakaian kurang bahan menyambut kedatangan mereka dengan senyum lebar, ia me
Kenzo menatap kepergian Kenzie seraya mengacak rambutnya. Ia bingung dengan apa yang terjadi, mengapa Kenzie tiba-tiba marah dan memilih pergi tanpa memberinya kesempatan bicara lebih banyak?“Ahhhhh! Brengsek!” umpat Kenzo. “Ternyata semua wanita itu sama. Sama-sama menjengkelkan,” celetuknya sembari memutar arah, kembali ke rumah.Kepala Kenzo masih terasa sedikit pening. Ia memilih berendam air hangat untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya daripada berangkat ke kantor. Toh, dirinya tak akan bisa bekerja dalam keadaan seperti ini.Kurang lebih satu jam waktu yang dihabiskan Kenzo untuk berendam, hanya berendam, tidak melakukan apa pun. Saat itulah ia merasa pikirannya lebih tenang, tubuhnya lebih segar, dan kepala pun terasa ringan.Usai melakukan aktivitas berendam itu, ia melilit tubuhnya dengan handuk dan melihat pantulan dirinya dalam cermin.“Aku Kenzo Ethanio Mahardika. Aku tampan dan punya segalanya! Kehilanga
Sepasang mata menatap pusara di hadapannya dengan pandangan tak terbaca. Entah sudah berapa lama netra itu hanya fokus pada satu objek, tanpa pernah mengalihkan perhatiannya. Penerangan yang sangat minim tak menghalangi penglihatan gadis tersebut. Tangannya terulur, mengusap nisan bertuliskan Ambarwati. Mawar hitam yang dia bawa menjadi lambang kedukaan mendalam yang masih terasa sampai hari ini. Kenzie, gadis itu tak pernah merasa benar-benar baik-baik saja setelah kehilangan terberat dalam hidupnya, yang ia lakukan hanyalah berpura-pura kuat di depan semua orang.“Ziezie kangen, Bu,” ucap Kenzie dengan suara bergetar.Sejak kedatangannya beberapa jam lalu, Kenzie hanya berucap rindu. Dadanya begitu sesak, ia butuh tempat untuk sekadar berkeluh kesah, meluapkan emosi dan menertawakan kebodohan diri.“Ziezie udah gagal. Ziezie gagal jadi kakak yang baik, Ziezie juga gagal jadi istri.” Kenzie terisak seraya memeluk pusara ibunya. Ia tak pu
Melati tersenyum lebar kala Sinta memperlihatkan album pernikahan yang berisi potret dirinya dengan sang suami. Dengan antusias, ia merebut album tersebut dan membolak-baliknya dengan buru-buru, seperti tengah mencari sesuatu. Di lembar terakhir, tangannya berhenti, Melati menatap intens sosok pria berjas dengan tubuh tegap dan mata elang yang membuatnya terlihat berwibawa.“Dimana dia?” tanya Melati seraya menunjuk sosok itu.“Sebaiknya Ibu istirahat, tidak perlu memikirkan banyak hal,” balas Sinta. Ia mengambil alih album tersebut dan menutupnya, kemudian membawa Melati ke kamar.“Sinta, apa laki-laki tadi…”“Bu, makan, ya,” potong Sinta. Ia tak mau Melati berpikir terlalu keras, karena hal itu akan membuat kondisinya memburuk.“Aku tidak lapar,” sahut Melati seraya mengedarkan pandangan.“Walapun tidak lapar, Ibu harus tetap makan,” bujuk Sinta sembari menyuapi
Sepulang sekolah, Alea benar-benar menjalankan niatnya. Berbekal motor matic milik Kenzie, ia bertekad tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan sang kakak. Niatnya sudah bulat, Alea akan berusaha keras membantu kakak dan kakak iparnya yang sama-sama gengsi, untuk mengakui perasaan saling membutuhkan di hati masing-masing.Alea melangkah lebar menuju parkiran tempat kendaraan roda dua miliknya berada, saat itulah netranya menangkap sosok Gala tengah berbicara dengan teman lelakinya. Keinginan untuk menyapa sang kakak kelas sangat besar, namun Alea berusaha menahan, saat ini ada sesuatu yang lebih penting daripada mengurusi Gala. Lagipula, semakin hari lelaki tersebut semakin dingin, padahal ia sudah melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian lelaki itu.Saat langkahnya hendak melewati Gala, tanpa melirik apalagi menyapa, suatu keajaiban terjadi. Hal yang sebelumnya tak pernah dibayangkan Alea, menjadi nyata. Gala memanggil namanya.“Alea?&rdq
“Bebaskan gadis itu!”“Sekarang!”“Jangan hubungi aku sebelum tugasmu selesai!”“Aku ingin bersenang-senang!”Lelaki bertubuh gempal dengan wajah sangar menatap layar seraya mengernyitkan kening, ia bingung pada bosnya yang cenderung labil. Padahal, beberapa menit lalu dialah yang paling bersemangat meminta dirinya menghabisi gadis berseragam SMA itu. Sekarang lihat, wanita tersebut malah memintanya melepaskan target, disaat jiwa ingin membunuh sudah meronta-ronta.“Brengsek! Rupanya dia hanya mengerjaiku,” umpat pria tersebut sembari melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Amanda. Bukan hanya itu, penutup kepala juga lakban yang menempel di mulut gadis tersebut pun ditarik paksa hingga menyebabkan Amanda terbangun, ia merasakan nyeri di sekujur tubuh.“Sssshhhhh, air,” racau Amanda. “Aku butuh air,” sambungnya lem