“Mbak, gimana keadaan Mama?” tanya Gala panik. Tadi, sewaktu mendapat kabar Melati jatuh dari kursi roda dan tak sadarkan diri, ia tak memikirkan apa pun lagi, selain keselamatan sang mama. Bahkan, dia terpaksa membatalkan janjinya pada Amanda.
“Sudah tidak apa-apa, Gal. Kondisinya sudah stabil,” terang Sani sambil tersenyum tipis.
“Syukurlah.” Gala menarik napas lega. Ia mengambil tempat di sisi kanan Melati, sembari menatap dalam wajah itu.
“Tidak ke sekolah, Gal?” tanya Sani. Ia berdiri di samping Gala dan memandang pada objek yang sama.
Pertanyaan Sani lebih terdengar seperti basa-basi, mengingat jarum penunjuk waktu sudah mengarah ke angka sembilan.
“Sepertinya tidak, Mbak, aku ingin menemani Mama,” jawab Gala.
Sani paham perasaan Gala. Oleh sebab itu, ia tak bertanya lebih lanjut, apalagi memaksa lelaki tersebut. “Kalau gitu, Mbak keluar sebentar ya, beli sarapan,”
“Capek, hmm?” Anggita menyambut kepulangan Bara seraya bergelayut manja di lengan lelaki itu.“Tidak, kau adalah obat paling mujarab untuk segala penyakit yang ada dalam diriku,” kelakar Bara sambil tersenyum lembut dan mencium kening Anggita.Kupu-kupu berterbangan memenuhi hati yang berbunga. Begitulah Anggita, wanita itu akan sangat bahagia ketika Bara menggodanya. Ia tak bisa membayangkan akan mejalani hidup seperti apa jika tanpa Bara. Sebab, menurutnya Bara adalah malaikat penolong yang dikirim Tuhan khusus untuknya.“Bang?” panggil Anggita. Ia menelisik wajah Bara, seakan tengah mencari sesuatu di sana.“Iya, sayang?”Mereka berjalan beriringan dengan Anggita yang terus menempel pada Bara. Keduanya seperti pasangan suami istri yang hidupnya dipenuhi kebahagiaan.“Kapan Abang berniat menikahiku?”Seketika, Bara menghentikan langkah. Ia cukup terusik dengan pertanyaan An
Kenzie kehilangan kendali bersamaan dengan tamparan keras yang mendarat sempurna di pipi Kenzo. Sekuat tenaga ia berusaha tak menangis, meskipun cacian dan hinaan lelaki itu benar-benar menyakiti. Bukannya menyembuhkan luka sebelumnya, dia malah menambah luka baru di tempat yang sama.Senyum miring terbit dari bibir Kenzo, ia menatap Kenzie seraya menyentuh pipinya yang terasa perih. “Kenzie,, Kenzie, kenapa kau marah? Bukankah ucapanku benar, hmm?”“Laki-laki brengsek! Pergi dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” teriak Kenzie dengan emosi meledak-ledak.Melihat perseteruan yang kian memanas, Amanda tak tinggal diam. Ia menghampiri Kenzie dan berusaha menenangkan kakaknya. Biar bagaimanapun, ia tak mau melihat Kenzie menangis lagi. Meski, bulir bening yang menggantung di pelupuk mata sang kakak sudah tampak, dan akan terjun bebas hanya dengan satu kedipan saja. Dia berusaha mencegah agar hal itu tak terjadi, paling tidak sampai Ken
Seketika, Alea mundur beberapa langkah, membuat jarak dengan Gala. Raut wajahnya seperti orang bingung. Namun, ia juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena bertemu Kenzie.“Kak Ziezie.” Alea mendekat, ia menggapai punggung tangan Kenzie. “Seharian ini aku cari Kakak kemana-mana, syukurlah ketemu di sini.” Ia tampak sumringah, berbanding terbalik dengan eskpresi Kenzie yang terlihat datar dan dingin.“Mau apa kamu cari Kakak?” tanya Kenzie.“Kak, percaya sama aku, aku dan Bang Ken…”“Kakak gak peduli, Al, mau kamu ada apa-apa, atau gak ada apa-apa sekalipun terserah kalian,” ungkap Kenzie.Gala mengerutkan kening, merasa heran dengan Kenzie yang terlihat sangat kesal, dan Alea yang juga tampak merasa bersalah. Berada di tengah-tengah mereka membuatnya bingung harus bereaksi seperti apa. Alhasil, Gala memilih pamit lebih dulu, meninggalkan kakak beradik itu.“Ma
Dini hari menjelang pagi, Kenzo yang baru selesai memeriksa beberapa berkas menyandarkan punggungnya seraya memfokuskan perhatian pada ponsel pintar di genggaman. Matanya melebar kala mendapati Kenzie masih online di waktu seperti ini. Mengabaikan ego dan gengsi, ia segera menghubungi wanita itu. Pikirannya sudah kemana-mana, salah satunya bagaimana jika Bara sempat meminta nomor ponsel Kenzie, dan keduanya rutin berkomunikasi?Panggilan Kenzo tak kunjung dijawab, membuat lelaki itu menggeram kesal. Ia memutuskan mengirim pesan, kalau Kenzie juga tak membalas, dia akan menemui wanita tersebut dan menyeretnya secara paksa.“Kau mau mati! Jangan menguji kesabaranku, Kenzie!”Setelah pesan tersebut berhasil terkirim, Kenzo menunggu sembari mengetuk-etuk meja. Tatapannya tak lepas dari benda pipih yang tak kunjung memunculkan notifikasi.Satu menit, dua menit, hingga lima menit terlewati, notifkasi yang diharapkan Kenzo tak kunju
Alea melangkah riang disertai senyum lebar. Sebab, hidup sangatlah berat jika dilewati dengan muram. Masalahnya sudah sangat banyak, ia tak mau menambah beban pikiran dengan memperlihatkan kegalauan di depan umum. Karena jika demikian, orang-orang yang mengenalnya atau sekadar kepo saja akan banyak bertanya dan dia terlalu malas menjawab itu semua. “Zetta, tunggu.” Alea berlari-lari kecil untuk menyejajarkan langkahnya dengan Alzetta, yang saat ini berjarak tiga meter darinya. Alzetta menoleh sekilas kemudian memalingkan wajah. “Ada apa?” sinisnya. “Kamu tetangganya Kak Gala, kan?” tanya Alea saat sudah bersisian dengan Alzetta. Sebenarnya Alea tidak tahu persis apa yang membuat Alzetta berubah. Wanita itu tak pernah mau menjelaskan, hanya tiba-tiba bersikap dingin dan menghindar tanpa sebab yang jelas. “Kenapa?” ketus Alzetta. “Apa dia punya keluarga lain selain orang tua? Tante misalnya?” Alea mengutarakan isi kepala. Meskipun tahu Alzetta tak suka padanya, ia tetap ber
Kenzo menutup tirai sambil tersenyum tipis kala melihat perdebatan Aura dengan satpam di rumahnya. Dari kejauhan, ia bisa melihat wanita itu sangat kesal hingga berakhir meninggalkan kediamannya dengan langkah yang dihentak-hentakkan. “Kau sangat egois, Aura,” monolog Kenzo seraya berjalan menjauh. Waktu yang masih cukup pagi digunakan Kenzo untuk olahraga sejenak. Ia memutuskan lari pagi di sekitar komplek guna mendinginkan tubuh dan pikiran akibat Kenzie yang tak kunjung pulang. “Selamat pagi, Tuan. Anda mau kemana?” “Sekadar berkeliling komplek,” jawab Kenzo singkat. “Baiklah, aku akan ikut denganmu.” “Tidak perlu,” sela Kenzo. “Aku ingin mencari udara segar. Lagipula hanya sebentar,” sambungnya seraya berlalu. Mengenakan kaos putih polos dengan topi dan celana pendek serta sepatu hitam, membuat penampilan Kenzo saat ini terlihat sederhana, bahkan sama seperti masyarakat pada umumnya. Ya, dia memang sengaja berpenampilan begitu agar orang-orang tak mengenali siapa dirinya. S
“Psikopat!” Kenzo terus melangkah lebar, tak peduli pada makian dan umpatan-umpatan kasar yang dilayangkan Kenzie padanya. Netra hitam itu menatap lurus, mengabaikan bisik-bisik manusia yang menatap kagum sekaligus heran ke arahnya. Bahkan, ia sempat mendengar beberapa dari mereka merasa aneh, mengapa lelaki sesempurna Kenzo mau dengan gadis yang sangat biasa saja seperti Kenzie?Bukan hanya mereka, Kenzo sendiri pun heran. Tapi, persetan dengan semua itu, yang terpenting sekarang adalah Kenzie, ia akan membuat wanita itu mau kembali ke rumah dan melayani dirinya seperti dulu. Sebab, tanpa Kenzie hidupnya terasa hampa, hari-harinya tidak berwarna. Apakah yang begitu bisa disebut cinta? Entahlah, Kenzo belum bisa memastikan bagaimana perasaannya terhadap wanita tersebut. Satu yang pasti, dia tak suka jika melewati hari tanpa Kenzie. “Lepaskan aku! Kau tidak dengar, sejak tadi mereka semua berbisik tentang kita? Apa kau sengaja ingin mempermalukanku?” teriak Kenzie.
“Apa kau mencintaiku?” tanya Kenzie disela-sela ciuman mereka.Tanpa menghentikan aktivitas tersebut, Kenzo bergumam pelan, gumaman yang tak bisa Kenzie pahami. Namun, gumaman tersebut diikuti dengan gelengan singkat, yang artinya Kenzo sama sekali tak menaruh rasa pada Kenzie. Akan tetapi, bukannya menyudahi ciuman mereka, Kenzie malah semakin memperdalam lumatannya. Lidah keduanya saling membelit. Ia sadar, tak seharusnya dia bersikap seperti ini pada lelaki yang secara gamblang mengaku tak mencintainya. Tapi, entah mengapa, Kenzie merasa Kenzo berbohong. Lelaki itu seperti sengaja mendenial semua rasa yang bergejolak di dalam hatinya. “Benarkah?”Lagi-lagi, hanya gumaman jelas yang terdengar, disertai gigitan-gigitan kecil di bibir ranum Kenzie. “Lantas, mengapa kau bersikap seolah cemburu pada pria tadi? Dan, pent house ini terlalu berlebihan untuk diberikan pada wanita yang tak kau cintai,” cecar Kenzie. “Berhenti menanyaiku!” sungut Kenzo sembari menggendong tubuh Ken