Peony menatap dengan takut-takut mansion mewah bergaya Eropa klasik yang besarnya tidak main-main. Memiliki taman serta halaman yang luas. Sebuah air mancur besar menempel di sisi bangunan mansion. Lampu warna-warni menghiasi air mancur tersebut. Menambah kesan yang indah pada malam ini. Mansion ini adalah mansion keluarga Leight yang sebelumnya hanya dapat Peony lihat melalui media. Ia tidak menyangka bisa melihatnya secara langsung. “Ayo.” Peony terkejut saat tangannya ditarik, lalu digenggam erat oleh Kheil. Mereka melangkah memasuki mansion. Peony tersipu saat disambut delapan pelayan di depan pintu mansion. Memberi hormat pada Kheil juga dirinya setelah sebelumnya sepertinya mereka semua terkejut atas kedatangan Kheil. Jantung Peony berdebar kencang. Ia merasa seperti Cinderella yang memasuki area pesta sang Prince Charming. “Tanganmu dingin. Apakah kau gugup karena ingin bertemu calon mertua?” goda Kheil. Peony hanya membalas dengan mendelik galak. Hal itu mampu membuat Khe
“Ssttt… aku tidak bermaksud seperti itu.” Kheil menarik Peony sampai mereka berhadapan. Pria itu mengangkat tubuh Peony sampai hidung mereka nyaris bersentuhan. Tangannya memerangkap pinggang Peony sangat erat. “Lepaskan!” Peony memberontak dengan wajah memerah antara kesal dan tersipu. Ia memilih tak menatap Kheil. “Kau sangat cantik.” Peony tertegun. Jantungnya berdetak kencang. Baru kali ini Kheil memujinya. “Kau sangat menarik dan menggoda bahkan tanpa harus repot-repot membuat dirimu terlihat seperti itu.” Oh no! Kaki Peony lemas seperti jelly! Kheil si datar kenapa berubah jadi pria perayu??? Apakah sepuluh tahun telah mengubah Kheil menjadi seperti ini? Peony menggigit bibir kesal. Tiba-tiba mengingat banyaknya wanita yang digosipkan dengan pria itu sebelumnya. Apakah para wanita itu juga mendapat rayuan manis seperti ini?! Cup! Peony terkesiap merasakan pipinya dikecup kencang. Ia menatap Kheil yang kini tersenyum tipis. Membuat Peony merinding. Pria itu kenapa semakin
“Sampaikan salamku pada Nyonya Hart.” Kheil mendekatkan wajahnya untuk mengecup pipi Peony. Namun dengan segera Peony menghindar. Suasana hatinya masih berantakan setelah pertemuan dengan Nicholas tadi. Bahkan saat makan malam tadi di sebuah restoran mewah dengan Kheil—Yang tentu saja mereka berada di ruang VIP agar tidak terendus media—, Peony tidak menikmati makanan itu dengan baik. Ketika Kheil bertanya, Peony hanya membalas ia makan siang terlalu sore di kantor, sehingga membuat perutnya masih kenyang. Kheil tidak curiga sedikitpun. Atau mungkin pria itu terlalu tidak peka. Entahlah. Peony malas memikirkannya. Kheil menjauhkan diri setelah mendapat penolakan. Wajahnya terlihat dingin. “Kenapa kau menghindar?” tanya Kheil tak suka. “Aku lelah dan ingin segera tidur.” Helaan napas panjang keluar dari mulut Kheil. Pria itu mengusap lembut puncak kepala Peony. Kali ini tidak ada penolakan karena Peony terlalu lelah. Lelah hati tepatnya. “Istirahatlah.” Peony tak membalas. Ia sege
“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, dan saksi, maka aku Kheil Abraham Leight, dengan niat suci dan ikhlas hati telah memilihmu Peony Madeline Hart menjadi istriku. Aku berjanji akan selalu setia kepadamu, dalam untung maupun malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Aku akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidupku. Sesuai hukum Allah yang kudus, inilah janji setiaku.” Tubuh Peony menegang setelah mendengar janji suci yang Kheil keluarkan. Matanya memanas. Kedua kakinya lemas. Setiap kata yang Kheil keluarkan terdengar indah. Peony tahu jika janji yang diucapkan Kheil hanya semata karena ‘menginginkan’nya dan komitmen, bukan cinta. Tapi ini benar-benar indah. Impiannya memiliki Kheil akan terwujud dengan nyata hari ini. Mereka jarang bertemu setelah malam itu, malam di mana Kheil menghubungi pengacaranya untuk melegalkan surat perjanjian pra nikah mereka. Pria itu gila. Kheil mengatakan jika ia harus melakukannya
"Ya Tuhan, aku frustrasi!" Peony mendesah lelah. Gaun pengantinnya belum bisa terbuka sama sekali. Tangan dan lehernya pegal. Kaitan yang berada di atas resleting gaun indah ini lah yang menjadi kendala. Peony sudah lelah menggapai-gapai, mencoba membuka, tapi kaitannya terlalu rapat. Mungkin salah satu alasannya, karena gaun ini memiliki kerah tinggi. “Seharusnya tadi aku terima saja tawaran Kheil membantuku membuka gaun ini!” erang Peony penuh sesal. Karena terlalu malu dan gengsi, Peony menolak mentah-mentah tawaran pria itu. Peony juga takut akan terjadi hal yang sebenarnya belum siap ia lakukan jika ia menerima tawaran Kheil. Jangan-jangan Kheil akan langsung ‘menyerang’nya? Apalagi Kheil tadi menyinggung tentang ‘bagaimana mereka melewati malam ini’. Blush… Peony menangkup kedua pipinya yang tiba-tiba saja memanas. Menatap diri di depan cermin wastafel. Tak lama, ia menatap sekeliling kamar mandi dari pantulan cermin. Memperhatikan sejenak tempat ini cukup membuat kekesalanny
Peony merasakan tangan Kheil berhenti bergerak. Pria itu menumpukan dagu tegasnya pada puncak kepala Peony. “Kau pasti berpikir negatif lagi, hm?” Kheil meremas lembut pinggang Peony. “Aku ingin memiliki anak bukan karena kewajiban itu, Summer… Aku tidak sabar memiliki Summer junior yang menggemaskan sepertimu.” Kheil mengecup kuat pipi Peony yang merona karena ucapan manisnya. Pria itu terkekeh. Mungkin karena melihat pipi tomat Peony. Kheil kembali menumpukan dagu pada puncak kepala Peony. Memeluk erat perut sang istri. "Bukankah aku sudah menghilangkan point nomor lima? Jika pun pada akhirnya kita tidak memiliki anak, biarkan Nicholas yang membuat anak dengan wanita-nya,” seru Kheil jenaka. Peony refleks menengadah sampai tatapannya dan Kheil bertemu. Pria itu tersenyum lembut pada Peony, lalu mengecup singkat ujung hidungnya. “Memiliki anak adalah bonus. Menikah sesungguhnya yang aku maksud, tentu saja menjalani hari-hari yang benar sebagai sepasang suami istri. Contohnya... ma
“Hai…” Peony yang baru saja membuka mata, hanya dapat mematung saat seorang pria tampan menatapnya dalam sambil menyapa. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanya pria itu kembali. Suara berat dan seraknya terdengar bersahabat di telinga. Bahkan sangat bersahabat karena terlalu lembut. Wajah bangun tidurnya tak menghilangkan setitikpun ketampanan yang dimiliki pria itu. Dia adalah Kheil… suami Peony… Wajah Peony memanas mengingat jika ia dan Kheil telah resmi menikah. Mereka saling mengucap janji suci, lalu menandatangi dokumen-dokumen pernikahan. Bahkan yang terakhir, telah menyempurnakan pernikahan mereka sampai ia tertidur pulas. Tubuh Peony menegang merasakan usapan lembut di pinggangnya. “Masih mengantuk?” Peony menggeleng kencang menutupi kegugupan yang timbul karena perhatian pria itu. “J-jam berapa sekarang?” Peony bergerak salah tingkah sambil membenahi selimut yang ada di tubuhnya. Ia membalikkan tubuh memunggungi sang suami, pura-pura mencari jam yang mungkin saja ada di
Peony memperhatikan pemandangan jalan yang dilaluinya dari kaca mobil yang membawanya saat ini. Matanya berkaca-kaca. Peony muram mengingat sang ibu baru saja diantar pulang olehnya. Seandainya saja Casandra mau ikut pindah ke kota, Peony akan sangat senang. Sayangnya sang ibu sudah sangat nyaman di desa itu dan Peony tidak boleh egois. Peony menghela napas panjang. Perasaan berat menggelayuti diri ketika harus kembali melepas Casandra. Hal ini selalu ia rasakan setiap kali mereka berpisah setelah pertemuan. Moodnya akan buruk untuk beberapa hari karena kerinduan yang padahal berpisah saja belum dalam hitungan jam. Seperti sekarang. Ini lah yang sebenarnya sering membuat Casandra mengomel dan tak ingin sering-sering Peony pulang atau dia yang berkunjung ke tempat Peony. Casandra paling tidak suka jika Peony bersedih. Seperti halnya perasaan ibu-ibu kebanyakan. “Kau menangis?” Peony terkejut mendengar suara sang suami. Pria itu duduk di sampingnya karena Kheil juga turut serta mengan