Alana mencoba merenungkan semuanya. Di malam Braden berbicara dengannya dia tidak bisa berhenti menangis sampai hampir pagi. Karena matanya yang bengkak dan merah dia berusaha menghindari semua orang di rumah.Dia tidak ingin mereka bertanya-tanya. Dia tidak sarapan, lagi pula dia memang sedang tidak berselera untuk makan. Dia juga tidak bertemu Braden, dan dia bersyukur untuk itu.Di kampus, sepanjang jalan semua orang memandanginya. Sangat kentara kalau dia baru menangis. Alana mengeluarkan kacamata baca dari dalam tas dan mengenakannya. Setidaknya benda itu akan menyamarkan bekas air mata, pikirnya.Karena jadwal kelas pertamanya masih satu jam lagi, Alana memutuskan untuk duduk di bangku taman kampus. Dia memilih area yang tersembunyi, sebuah bangku yang tertutup pohon besar serta tanaman tinggi. Matanya sakit, begitu juga kepalanya. Terlebih lagi hatinya. Dia sudah merasa cukup menangis, tetapi rasa sakit itu masih ada. Dia harus segera pergi dari rumah itu, tetapi dia bingung
Selama berhari-hari Alana menunggu jawaban dari papanya. Namun pria itu tidak kunjung memberikan jawaban. Hal itu membuat Alana makin gelisah, terutama saat dia bertemu dengan Braden.“Papa akan pertimbangkan dulu,” jawab pria itu mengelak, yang lalu akan diikuti dengan rengekan manja putrinya.Alana merasa aktingnya makin bagus. Dia belajar merengek seperti anak manja yang menginginkan mainan. Hal itu membuat papanya jengkel namun juga tidak berdaya.“Kalau kamu pergi, bagaimana dengan Tante?” Tanya Sherly yang mendatanginya sesaat setelah Alana berbicara dengan papanya untuk pertama kali.Mereka duduk di tempat tidur Alana dengan Sherly yang merangkul bahunya. Mata wanita itu terlihat berkaca-kaca. Melihat itu Alana jadi makin sedih.“Apa kamu tidak betah tinggal dengan Tante?” Sherly bertanya dengan suara yang makin serak menahan air mata.Dia ingin menjawab betapa dia ingin tetap tinggal di sana dan menjadi bagian dari keluarga itu, namun nyatanya dia tidak bisa. Alana merasakan s
Sejak pulang dari apartemen Alana langsung bersiap-siap. Dia mengemas baju-baju serta barang-barangnya yang tidak seberapa banyak. Ayahnya melarang Alana membawa banyak barang, untuk melihat sampai seberapa lama gadis itu akan bertahan tinggal sendirian.“Bawa barang seperlunya saja. Kita akan lihat sampai satu minggu ke depan. Kalau sekiranya kamu betah, kamu bisa ambil lebih banyak barang. Dan kalau kamu tidak betah, kamu bisa kembali ke rumah dengan barang-barangmu masih di sini.” Kata Steve yang menyangsikan putrinya.Yang dia tidak tahu, betah atau tidak betah, Alana akan tetap tinggal di sana. Alana bertekad tidak akan kembali tinggal di rumah papanya, apa pun yang terjadi.Jadi sejak pagi semua orang sibuk membantu Alana, kecuali Braden tentunya. Tidak seperti biasa pemuda itu ada di rumah pada hari minggu pagi. Dia bahkan bangun pagi seakan ingin memastikan Alana benar-benar pergi sesuai keinginannya.Sebuah mobil pick up berwarna silver dengan logo perusahaan keluarga mereka
Braden memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidurnya tidak nyenyak, semalaman dia hanya berguling-guling gelisah di tempat tidur. Dia tidak tahu mengapa. Dia merasa resah.Sehari sebelumnya dia merasa sangat senang karena Alana, saudara tirinya, sudah pergi. Dia menikmati kesendiriannya di rumah, karena semua orang pergi untuk membantu kepindahan gadis itu. Dia tidak keberatan mereka semua pergi.Dia mengabaikan rasa gelisah yang pada saat itu mulai muncul. Dia juga mengabaikan ajakan teman-temannya untuk nongkrong dan lebih memilih untuk tidur. Saat dia bangun menjelang sore, ada perasaan aneh menyelimuti hatinya.Rasa hampa yang dirasakannya makin kuat. Sore itu juga rumah terasa jauh lebih sepi daripada biasanya. Tidak terdengar suara aktivitas apa pun. Dia bangun dan menyadari semua orang belum pulang.Dia hanya mendapati dua asisten rumah tangga mereka di dapur yang sedang membersihkan sayuran dengan hening. Padahal biasanya mereka akan bekerja dengan mulut yang terus berbicara, me
Dengan gontai Alana menekan tombol kode masuk ke apartemennya. Lalu melangkah masuk ke dalam apartemen yang suram dan remang-remang. Hari sudah mulai senja, dan karena apartemen itu menghadap ke arah timur, maka tempat itu hanya mendapat sedikit cahaya matahari sore.Alana menyalakan lampu dan seketika ruangan menjadi terang. Namun tetap saja hal itu tidak bisa menghilangkan kesuraman dalam hatinya. Alana melempar tasnya ke sofa dan menghampiri jendela. Mengamati langit yang kini berwarna jingga.Dia menempelkan dahinya ke permukaan kaca yang dingin lalu memejamkan mata. Hening dan sepi, tidak ada suara apa pun kecuali detak jarum jam dan helaan napasnya. Keheningan di sekelilingnya membawa ingatan Alana ke masa lalu. Saat dia harus melalui hari-hari yang suram seperti itu di rumah mamanya.Mamanya bekerja dari pagi hingga malam, bahkan terkadang hingga cukup larut. Asisten rumah tangga mereka hanya bekerja dari pagi hingga sore hari saja. Setelah itu dia akan p
Sudah hampir satu minggu Alana tinggal di terpisah dari keluarga papanya. Tidak ada yang istimewa pada rutinitas hariannya yang mebosankan dan sepi. Sekali Sherly datang membawa banyak makanan dan barang-barang yang dia bilang pasti akan dibutuhkan Alana.Adrian dan Steve juga beberapa kali datang setelah mereka pulang kerja dengan membawa makan malam. Kunjungan mereka selalu membuat Alana tersentuh. Pada kunjungan terakhir, Adrian bahkan membawakannya seikat mawar merah yang merupakan bunga favorit Alana.Gadis itu kemudian menaruhnya ke dalam dua wadah terpisah. Lima tangkai dia taruh dalam sebuah botol kaca bekas minuman dan diletakkannya di sudut mezanine di dekat tempat tidurnya. Lima lagi dia letakkan dalam teko plastik dan dia taruh di dekat wastafel dapur. Dia harus cukup puas dengan vas dadakan yang bisa dia temukan itu.Mereka memaksa Alana untuk pulang saat akhir pekan, namun Alana tidak yakin. Wajah Braden yang memandanginya dengan penuh kebencian ma
Alana senang karena benar-benar memiliki alasan untuk tidak pulang. Tadinya dia sudah memikirkan beberapa alasan, meski dia diliputi rasa bersalah karena harus berbohong. Steve dan Adrian bahkan sudah bersiap menjemputnya dan membawa gadis itu kembali ke rumah.Tok tok tok.“Lana ... “Dengan tergesa Alana membuka pintu dan menyambut Fero yang menyandang sebuah tas kanvas besar berwarna hijau army di bahu kirinya. Di tangan kanannya ada sebuah kotak kardus yang dijinjingnya dengan ditumpukan pada pinggang.“Hai, masuklah.” Alana menyingkir sambil menahan pintu mempersilakan pemuda itu masuk.Fero menaruh bawaannya di lantai tengah ruangan dan dengan cekatan mengeluarkan semua isinya. Kuas berbagai ukuran, paint roller, dan cat berbagai warna yang dikemas dalam berbagai tabung plastik dan kaleng.“Kau sudah menyiapkan tangganya?” tanya Fero pada Alana yang berjongkok di sebelahnya, mengamati bawaannya denga
Malam itu Alana memejamkan mata dengan bahagia. Sebagian mural tampak dari tempatnya berbaring di tempat tidur. Gambar pucuk-pucuk pohon itu memendarkan cahaya kehijauan dalam kegelapan.Sebelumnya Alana memiliki permintaan khusus ketika Fero menawarinya sebuah mural. “Aku takut gelap. Bisakah Kakak buat gambarnya bisa menyala dalam gelap?”Maka pemuda itu melapisi gambar dengan cat khusus yang bisa menyala dalam kegelapan. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Ketika lampu dipadamkan, seketika ruangan dipenuhi nyala samar dari pohon yang berpendar sehingga menghasilkan suasana magis.Alana memeluk bonekanya dengan erat. Dia mengelus bulunya yang lembut dan memejamkan mata. Bayangan Adrian yang tengah tersenyum memenuhi benaknya. Dan dia menyebutnya ‘Alanaku’. Gadis itu makin membenamkan kepalanya pada ceruk badan boneka yang lebar dan tersenyum.Sebelumnya Alana sengaja tidak membawa boneka tersebut. Karena dia bertekad untuk menjaga j