Keesokan harinya Sebelum ke Surabaya, aku sempatkan untuk sarapan pagi dengan keluarga. Ada suasana yang berbeda, Rani tidak lagi berada diantara kami. Hanya ada isteriku dan Priska, aku baru merasa kehilangan Rani. “Sri.. kalau kamu rindu dengan Rani, kamu bisa nginap di rumahnya selama mas di Surabaya.” Aku tatap wajah isteriku yang begitu murung. “Nanti saja mas.. Priska gak mungkin aku tinggal sendiri di rumah.”“Kalau Mama kangen sama kak Rani, aku temani Mama ke sana.” Priska menimpali. Sejak menikah, Rani memang memilih untuk tinggal di rumah yang sudah disiapkan Radith. Dia ingin hidup mandiri, ingin merasakan hidup berumah tangga tanpa dicampur orang tua. Pernikahan Rani dan Radith memang hanya dilakukan antar keluarga, tanpa ada resepsi. Itu memang sudah menjadi kesepakatan antara aku dengan besanku. Untuk menghindari stigma negatif terhadap Rani dan Radith. Kegagalan mengawasi Rani, membuat isteriku lebih hati-hati dalam menjaga Priska. Sri tidak ingin hal yang sama t
Aku melihat kalau Ita tidak begitu nyaman saat berbicara denganku. Setelah aku memberitahukan nomor kamarku, Ita tergesa-gesa segera pamit. Aku hanya bisa menyaksikan kepergiannya dengan menyisakan banyak pertanyaan dibenakku. Setelah urusanku di resepsionis selesai, aku segera menuju ke lift untuk naik ke lantai 7. Sampai di lantai 7 aku menyusuri koridor hotel mencari kamar 707. Sebelum masuk ke kamar, seorang gadis keluar dari kamar 706 dan melintas di depan kamarku. Aku tidak terlalu menghiraukannya, karena pikiranku masih tertuju pada Ita dan Kalina. Aku membuka ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk sembari mengaso di tempat tidur. Salah satu pesan masuk dari Kalina, [Om Danu.. kalau tidak keberatan, boleh aku tahu nomor di Hotel mana om menginap? Jangan lupa kasih tahu nomor kamarnya, ya?] itulah pesan dari Kalina. “Waduh! Godaan apa lagi nih?” tanyaku dalam hati. Apa iya setiap pertemuan dengan seorang gadis selalu berakhir di atas Ranjang? Pertanyaan seperti itu mengha
Sebelum membuka pintu hatiku berdebar, aku menebak-nebak apakah Kalina atau Ita yang datang. Perlahan-lahan aku buka pintu kamar, ternyata yang berdiri dihadapanku bukanlah Kalina atau pun Ita. Tapi, seorang gadis belia yang cantik, molek dengan dandanan yang juga modis. “Adik cari siapa?” tanyaku “Hhhmm.. maaf om, kayaknya aku salah kamar.” Jawab gadis itu. Aku masih mencoba menahannya dengan sebuah pertanyaan, “Emang kamu cari kamar nomor berapa?”“Nomor kamarnya sih benar, om. Tapi, orangnya bukan om.”Aku merasa aneh dengan jawaban gadis itu, kok bisa nomor kamarnya sama. Tapi, orang yang dicarinya malah beda. Aku dan gadis itu terus bicara di depan kamar. “Coba telepon dulu deh, kok bisa salah kamar?”Gadis itu mencoba mendial ponselnya, namun rupanya tidak tersambung. “Masuk dulu aja yuk! Gak apa-apa kok, om juga hanya sendiri di kamar.”“Gak usah om.. di luar aja.”“Kenapa? Takut ya sama Om? Jangan khawatir, om tidak akan tutup pintunya.” aku berusaha untuk meyakini dia.
Flora yang merasa kurang nyaman atas kedatangan Ita, berdiri dari duduknya dan pamit untuk meninggalkan kamar ku. “Yaudah, om.. aku pamit dulu ya.” Flora menyalami aku dan Ita sembari berlalu dari kamarku. “Okey, Flo.. nanti kasih tahu saja sama Peter, kalau kamu sudah ketemu om.” Aku katakan itu saat Flora keluar dari kamarku. Ita masih tercengang melihat situasi yang ada di kamar itu, dia tanya padaku, “Itu siapa, om? Tamu dari kantor?”“Iya Ita, dia diutus untuk menyambut kedatangan om di Surabaya.”Aku menutup pintu kamar dan mengajak Ita berbicara di tempat tidur. “Kamu sudah berapa hari nginap di hotel ini?”“Baru dua hari, om.. rencananya satu minggu di hotel ini. Kebetulan calon suamiku lagi ada proyek di Surabaya.”Ita menceritakan kalau dia sehari-hari hanya di kamar saat calon suaminya bertemu klien. Dia merasa sangat menderita menghadapi keadaan seperti itu.“Tapi, om lihat kamu begitu sehat sekarang ini? Tubuh kamu semakin sintal?”“Memang sih, om.. Gimana gak sehat?
Begitu pintu terbuka, dihadapanku berdiri seorang lelaki berusia muda dengan tubuh tegap dan atletis. Hatiku semakin berdebar, aku merasa sedang berhadapan dengan sebuah masalah.“Maaf.. bung siapa? Mau cari siapa?” tanyaku.Lelaki itu melongok-longok ke dalam kamar seakan mencari seseorang. Tanpa mengindahkan pertanyaanku, lelaki itu seketika berteriak,“Ita!! Keluar kamu!!”“Sebaiknya bung masuk saja, tidak elok berteriak di depan kamar.” aku membuka pintu kamar lebih lebar untuk mempersilahkannya masuk.“Tidak penting!!” lelaki itu menolak tawaranku dengan tatapan tajam.Ita dengan penuh ketakutan menghampiri laki-laki itu, tanpa bicara sepatah kata pun dia berlalu begitu saja dengan lelaki itu. Aku hanya bisa memandang kepergian Ita dengan perasaan sedih. Lelaki itu menyeret Ita dengan sekuat tenaganya.Seorang karyawan hotel yang berpapasan dengan lelaki itu memberikan hormat sambil menundukkan kepala. Aku penasaran siapa lelaki itu? Kok karyawan hotel sangat menghormatinya. Saat
Sosok Kalina berdiri dihadapanku, aku hampir tidak percaya,“Kaget ya, om? Aku sengaja tidak kasih tahu kalau aku mau datang.” ujar Kalina.“Ya kagetlah.. kamu datang tiba-tiba gitu. Yuk! Masuk Kalina..”Setelah aku tutup pintu kamar, aku ceritakan pada Kalina bahwa aku mau pindah hotel.“Kenapa om? Kok pindah hotel? Inikan hotel yang terbaik di Surabaya?”“Panjang ceritanya, Kal.. nanti om akan ceritakan semuanya.”“Terus.. om mau pindah ke hotel mana? Mau gak aku carikan?”“Gak usah, Kal, kebetulan pihak kantor yang sudah urus semuanya. Kita tunggu aja kabar dari kantor.”Sembari menunggu kabar dari kantor, aku bercengkrama dengan Kalina. Meskipun pikiranku masih terngiang-ngiang dengan kata-kata yang kurang ‘genah’ dari calon suami Ita yang sangat angkuh.Tidak ada tanda-tanda kalau Kalina ingin memanfaatkan waktu untuk bercinta. Kalina sangat pasif dan gestur tubuhnya pun tidak memberikan isyarat apa-apa.Setelah pihak kantor cabang di Surabaya memberitahukan aku harus pindah ke h
Kalina yang ada disampingku terlihat mulai gelisah, karena Jatimin terlalu lama mengajakku bicara. Satu sisi aku prihatin dengan apa yang dialami Jatimin, disisi lain aku pun tidak ingin Kalina kecewa.Aku akhir pembicaraan dengan Jatimin, “Jat.. maaf saya harus menyelesaikan pekerjaan dulu ya. Lakukan aja yang terbaik untuk Noni.”Aku tidak peduli Jatimin suka atau tidak aku menyelesaikan pembicaraan tersebut. Sebagai orang yang baru aku kenal, Kalina haruslah aku hargai.Aku minta maaf pada Kalina, “Kalina.. maaf ya, obrolannya tadi terlalu panjang.” Aku katakan itu sembari memeluk Kalina.Kalina hanya menatapku penuh harap, dari tatapannya aku bisa merasakan kalau Kalina sangat mengharapkan agar aku berinisiatif untuk memenuhi hasratnya.Aku menanggalkan pakaianku satu persatu tanpa ada yang tersisa. Di bawah selimut aku tahu kalau Kalina pun tanpa dibalut sehelai pakaian pun.Kalina tidak seperti gadis-gadis lain yang pernah aku kencani, dia begitu dingin meskipun aku sudah mencum
Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa aku sudah masuk hari ke 4 di Surabaya. Saat aku sedang di kantor cabang Surabaya, Widarti telepon dan memberitahukan kalau Noni sedang di rawat di Rumah Sakit,“Mas Danu.. kami sangat mencemaskan keadaan Noni, saat ini Noni sedang di ruang ICU. Kami ingin mas ada di sisi Noni saat ini.” ujar Widarti di seberang telepon.Aku terperangah mendengar kabar tentang Noni, aku tidak menyangka kalau penyakitnya kembali kambuh. Aku kembali terbayang wajah Noni saat pertama kali melihatnya di rumah sakit.“Baik, Wid.. aku akan segera ke Bandung.” Cuma itu yang aku katakan pada Widarti.Setelah selesai bicara dengan Widarti, aku segera hubungi pak Anggoro untuk minta izin menjenguk Noni. Aku menceritakan segala situasi pekerjaan di Surabaya, dan aku jelaskan juga tentang kondisi kesehatan Noni.Begitu dapat izin dari pak Anggoro, aku segera tinggalkan Surabaya. Aku telepon Kalina agar dia tidak mencariku di hotel,“Hallo, Kal.. om hari ini harus ke Bandung