“Kanker darah?” beo Arsen terhadap laporan Darren, dokter yang bertanggung jawab untuk pasien Nadya. “Ya, masih tanda-tanda awal. Tenang saja, masih bisa diatasi. Selama pasien rutin kontrol serta menjalani pengobatan dengan benar,” ungkap Darren. Dia memberikan kertas hasil laborat dan diagnosa dokter pada Arsen. Menjelaskan mengenai dampak penderita kanker darah stadium awal. “Mulai hari ini pasien sudah bisa pulang. Namun jangan lupa, setiap minggu ada jadwal kontrol,” ujar Darren sebelum dokter itu memeriksa sebentar kemudian pergi dari sana. “Mas Arsen, aku sakit parah. Aku –“ “Dokter sudah menjelaskan semua, bukan? Kamu akan baik-baik saja. Sekarang istirahatlah sampai perawat datang untuk melepas infusmu. Barang-barangmu yang ada di rumah sudah dipindahkan ke apartemen. Nanti anak buahku yang akan mengantarmu.” Arsen berucap tanpa ekspresi. Dia sedang pusing memikirkan hubungannya dengan Allice. Tidak sempat untuk meladeni Nadya. *** "Sialan! Gara-gara pembunuh itu, Mas A
"Hai, Sayang. Bagaimana kabarmu?"Imelda menghampiri menantu kesayangannya itu sambil mengecup puncak kepala Allice dengan penuh kasih sayang.Mendapat perlakuan istimewa yang hampir setiap hari diterimanya dari sang ibu mertua, Allice tentu merasa bersyukur.Setidaknya, dia bisa menjadi lebih tenang karena ada dukungan dari Imelda. Ya, walaupun selama ini Arsen selalu mencari gara-gara dengannya.Tatapan Allice tertuju pada Imelda. "Aku baik-baik saja, Mom,” sahutnya memberikan senyuman.Namun sesaat helaan nafas lirih terdengar. "Tapi sejujurnya, aku sangat merindukan Brian dan Anna. Sudah seharian aku belum bertemu dan memeluk mereka. Rasanya benar-benar hampa," keluh Allice teringat kedua anaknya.Bahu Allice dielus pelan oleh Imelda, "Sabar ya, Nak. Kita tunggu kondisimu sembuh total dulu baru setelah itu kita bisa pulang dan bertemu Brian juga Anna.""Apa mereka nakal selama aku di sini, Mom? Aku khawatir kalau Brian dan Anna merepotkanmu juga Daddy," ungkap Allice dengan raut c
“Duh, gabut banget nih. Enaknya ngapain ya? Apa aku ajak Mas Arsen makan malam berdua aja ya?” Ide cemerlang itu tiba-tiba terlintas di kepala licik Nadya yang kini tengah berselonjor ria di empuknya ranjang. Jika boleh jujur, belum ada dua hari penuh menetap di apartment baru yang sebenarnya cukup mewah ini, tapi bagi Nadya tetap saja terasa membosankan.Tangan Nadya terulur, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Lantas, jemarinya bergerak menuju room chat seseorang yang disematkan dengan nama ‘Mas Calon Suami’.Ya siapa lagi kalau bukan Arsen?‘Mas, sibuk nggak? Aku lapar. Kangen makan di Satechan yang dulu kita sering mampir.’Satu menit, dua menit, tidak ada tanda-tanda pesan yang Nadya kirim akan dibalas Arsen. Jangankan mengetikkan jawaban, centang dua-nya pun masih abu-abu.“Ih, sebel deh! Mas Arsen kok jadi slow respon begini sih! Padahal dia paling gercep kalau aku chat,” gerutu Nadya dengan bibir tertekuk kesal.Karena tak sabaran, Nadya pun akhirnya memutuska
"Aku tidak akan membawa Nadya tinggal bersama kita lagi."Allice tidak sesiap itu untuk mendengar berita tak terduga dari bibir suaminya yang entah mengapa mendadak bisa berubah.Ah, maksudnya tidak seperti hari-hari sebelumnya ketika Arsen begitu keras kepala apabila sudah membicarakan tentang adik tersayangnya itu."Kamu bercanda kan?" Allice tak mau terbawa angin bahagia dulu.Arsen menautkan alisnya. "Apa wajahku terlihat sedang main-main?"Bahu Allice terangkat asal. Enggan menatap wajah Arsen lebih lama atau kesehatan jantungnya bisa dipertahankan.Berbeda dengan Allice yang sedikit masih tidak percaya, dua anaknya—Brian dan Anna justru kompak memekik senang mendengar hadiah Arsen untuk ibu mereka."Asikk! Akhirnya tante kunti itu pergi! Yeay! Istana kita aman, Kak!" seru Anna yang langsung ber-tos ria dengan Brian."Good job, Anna. Kita bisa bermain dengan tenang sekarang," sahut Brian yang langsung diangguki penuh semangat oleh Anna.Seirama dengan Brian dan Anna, ekspresi bah
“Apa lagi?” Arsen tidak suka menatap Darren. Darren lalu menunjuk ke arah depan mini market dekat sana. “Ada kesukaanmu, Allice. Kamu tidak ingin main?” Sepasang suami istri itu pun sama-sama memandang ke arah yang Darren tunjuk. Rupaya ada tiga mesin capit berjejer di depan mini market. “Ck! Kamu pikir Allice anak kecil?” Arsen tersenyum mengejek. Namun siapa sangka Allice berkata lain, hingga membuat senyuman mengejek Arsen menghilang. “Aku ingin main sebentar.” Allice tersenyum senang melihat deretan mesin capit. Inner child-nya seketika muncul melihat permainan yang dulu sering Allice dan Darren mainkan. Bukan karena ingin mengenang masa lalu. Tapi kalau sudah bermain mesin capit dia akan konsentrasi membuat masalah terlupakan sejenak. Lalu saat mendapat barang yang diinginkan, terasa begitu gembira. Setelahnya beban yang ada di pundak mulai ringan. Darren tau itu. Dan dia gunakan untuk menahan Allice lebih lama bermain dengannya. “Allice, kamu tidak boleh berlama-lama dil
Pagi hari, Allice bangun di jam biasa. Mata ngantuknya menatap sisi ranjang. Kosong. Bahkan terakhir Allice memilih untuk tidur, Arsen masih belum juga pulang.“Dia tak pulang?” pikirnya.Allice mengucek matanya yang masih belum segar. Saat beranjak, Eleana melihat sesuatu yang aneh dalam pelukannya.“Lho, bonekaku?”Dia sangat terkesiap. Bahkan Allice sampai menjauhkan boneka kelinci yang kini berubah bentuk.“Kenapa jadi bentuknya besar begini?” Allice melihat ke kanan dan kiri. Mungkin boneka yang Darren dapat dari mesin capit ada di tempat lain. Tapi tak ada.Hanya ada boneka berukuran setengah tubuh Allice. Dengan bentuk kelinci dan warna yang sama persis seperti versi kecil sebelumnya.Allice akhirnya mengecek boneka itu. Membolak balikkan mungkin dia menemukan jawaban. Tapi tak ada.“Arsen? Pasti dia yang mengganti bonekanya.”Allice beranjak dari ranjang. Kondisinya pagi ini sudah membaik. Jadi dia bisa bergerak cepat memeluk boneka besar itu keluar kamar.Tujuan dia adalah Bi
Allice mengarahkan kamera ponsel Arsen ke arah wajah si pemilik sebagai face unlock. Baru kemudian wanita itu membuka room chat.“Bisa-bisanya dia terus seperti ini,” gerutu Allice lirih membaca kata demi kata pesan itu.Nadya, nama itu terpampang disana. Wanita itu mengirim satu bubble dengan isi pesan yang sangat panjang. Ditambah satu foto tisue yang terdapat noda darah.Pada intinya, Nadya mencari simpatik Arsen. Dia mengatakan pusing, hidungnya kembali mimisan dan menginginkan Arsen datang ke apartemen.‘Nadya terkena kanker darah?’ bisik Allice dalam hati ketika membaca semua curhatan Nadya.Dia pun teringat penyakit yang Safira alami hingga sampai pada stadium akhir dan meninggal. Tidak dipungkiri, faktor genetik menjadi pemicu Nadya untuk mendapatkan penyakit yang sama.Allice memandang wajah Arsen yang masih tertidur. Apa sebergantung itu Nadya pada Arsen? Hingga perkara pusing saja harus laporan pada Arsen.Karena penasaran, Allice menggulit ke atas pesan yang Nadya kirim. B
Arsen berusaha untuk melaksanakan apa yang dia janjikan pada Allice. Yaitu menjauhi Nadya. Oleh karenanya, dia bukan membalas pesan Nadya ketika gadis itu terus merengek sakit. Melainkan Darren.Dia sudah membayar biaya untuk menjadikan Darren sebagai dokter pribadi Nadya. Dimana sang dokter bisa datang ke apartemen untuk memeriksa pasien ketika tidak jadwal Darren praktek di rumah sakit.Di dalam apartemen, Nadya sungguh merasa bosan. Dia sudah ingin ke kantor. Setidaknya dia bisa bertemu dengan Arsen dan memiliki kegiatan.Namun, Arsen hanya memberikan tugas supaya Nadya bisa Work from Home.Nadya menghela nafasnya merenggangkan jemarinya yang kaku karena sejak tadi berkutat di depan laptop. Dia lirik ponsel yang tergeletak di samping. Tak ada balasan apapun dari Arsen.Padahal dia sudah mengirim ulang foto hidungnya yang mimisan. Tapi masih diabaikan.Hingga detik berikutnya, bel apartemen berbunyi. Seketika senyuman Nadya mengembang sempurna.“Mas Arsen?”Gadis itu beranjak dari k