“Kandungan Anda baik-baik saja, Nyonya. Janinnya berkembang dengan sangat baik dan sehat. Meski begitu, saya harap Anda tetap rutin mengonsumsi vitaminnya.”Penjelasan yang disampaikan Dokter Hana, wanita paruh baya yang sudah empat bulan ini menangani jadwal kontrol bulanannya.Nadya mengangguk dengan lengkungan simetri sabit. Ada kelegaan yang menguar di dalam lubuk hatinya yang paling dalam.“Baik, Dok. Saya akan mematuhi semua perintah Dokter demi kesehatan calon bayi saya,” sahut Nadya yang disambut senyum juga oleh Dokter Hana.“Dari yang saya lihat, Anda sepertinya sedang sangat bahagia. Dan jujur, itu cukup bagus untuk stabilitas kondisi janin Anda.” Dokter Hana menatap binar di manik mata Nadya.Jari telunjuk Nadya mengarah pada dirinya sendiri. “Apa begitu kelihatan, Dok?”Dokter Hana tertawa kecil lalu mengalihkan pandangan ke arah Devan yang saat ini tengah membelakangi ruang pemeriksaan karena sedang mene
Sikap Oscar yang tidak biasa membuat Lucetta curiga. Semua tau kalau pria itu sangat mencintai istrinya. Bahkan Lucetta pun merasakan cinta itu. semarah-marahnya Oscar, dia tidak pernah bertindak kasar pada Lucetta. Tapi kali ini Oscar sudah melakukannya. Semalaman dia benar-benar menyiksa istrinya tanpa dia sadari. Oscar pulang dalam keadaan bau alkohol kemudian langsung menarik Lucetta ke atas ranjang. Dia melakukannya dengan sangat kasar. Pagi ini, matahari sudah menerobos celah tirai kamar, tapi Oscar masih terlelap. Sangat lelap. Sampai tak mendengar bunyi isak tangis sejak tadi. Lucetta kesakitan beranjak dari ranjang kemudian menyeret kakinya untuk masuk ke kamar mandi kemudian berendam di bathtub berisi air hangat. “Cari tahu, apa yang Oscar lakukan semalam!” titah Lucetta saat menelfon salah satu orang kepercayaannya melalui telefon. Dia lalu meletakkan ponselnya di sisi bathtub kemudian melanjutkan membersihkan tubuhnya. “Aku yakin ada yang kamu sembunyikan, Oscar.” Luc
“Kecewa? Kecewa kalau ternyata Nadya berbohong?” tanya Arsen. Sebab temannya itu justru diam saja nampak sedang berfikir.“Bukan, hanya sedang menilai satu hal.” Dev memiringkan tubuhnya ke kanan jadi kini berhadapan pada Arsen. Membuat sang CEO Mahardika Group itu menaikkan satu alisnya melihat wajah Dev yang berubah jadi serius.“Kalau Nadya mengatakan sudah meninggal, berarti memang dia sudah tidak mengharapkan ayah bayi itu kembali,” ujar Dev.“Tsh! Kamu percaya diri sekali.”“Bukan percaya diri. Ini pemikiranku pasti benar. Buktinya dia pergi tanpa mengatakan kehamilannya pada pria itu. berarti dia memang tidak menginginkan pria itu mengakui bayinya.”Dev sampai merentangkan tangannya karena saking menhayati pemikirannya itu.“Jadi?” tanya Arsen.Bahu pria di depan Arsen terangkat. “Yaa ... jadi aku memiliki kesempatan.”Arsen menepuk bahu Dev dengan rasa bangga. Karena pria itu tak menyerah meski wanita yang dicintai sedang hamil anak pria lain.“Seandainya kamu datang lebih awa
“Bagaimana dia saat ini? Kamu mengikutinya setiap saat, kan?”Oscar nampak begitu fokus menelfon anak buahnya yang dia utus untuk menjaga Nadya di Indonesia. Dimasukkan tangan itu ke dalam saku, sedangkan tangan kanan masih menggenggam ponsel yang menempel di daun telinga.Sedangkan sorot tajamnya menatap jauh ke luar, menembus dinding kaca ruang yang ada di lantai 10 gedung pencakar langit miliknya.Bohong kalau Oscar membenci wanitanya. Dia memang sempat terbakar cemburu ketika melihat Nadya bersama seorang pria. Tapi setelah anak buahnya terus memberikan info, rupanya Nadya dan si pria tidak sedekat itu. Hanya sesekali pria itu menjemput Nadya di sekolah.“Jadi mereka memang tidak memiliki hubungan apapun?” tanya Oscar kembali memastikan.Setelah mendapat jawaban yang dia inginkan, bibir pria itu tersenyum kecil. Apalagi setelah panggilan berakhir, Oscar kembali mendapatkan kiriman foto Nadya.Dari kejauhan, wanita itu nampak sedang menyapu halaman rumah. Ada juga foto Nadya yang n
Siang ini begitu terik. Nadya berjalan dari sekolah kelas atas itu menuju ke halte terdekat. Sesekali dia mengusap dahinya yang basah karena keringat.Lama. Tumben. Belum ada bus yang lewat. Padahal kepalanya sedang pusing sejak kemarin. Tubuhnya juga merasa sedikit kurang sehat. Sampai akhirnya sebuah klakson berbunyi. Itu bukan berasal dari bus. Tapi dari kendaraan mewah yang berhenti tepat di depan halte.Bibir Nadya tersenyum tipis. Dia sudah hafal siapa pemilik mobil berwarna hitam itu.“Ibu hamil, bisa-bisanya masih di sini?” Devan, pria itu berlari mendekat setelah keluar dari mobilnya.“Ya, busnya belum lewat. Kamu sendiri ngapain? Ini masih jam kantor,” sahut Nadya.“Kantorku sendiri. Bebas ngapain aja. Termasuk antar kamu pulang.”“Hish, tidak usah. Bentar lagi juga busnya datang.”Devan menggerakkan jarinya di depan Nadya sebagai arti, tidak tidak tidak.“Kamu tahu sendiri kalau naik bus itu risikonya besar untuk kamu yang sedang hamil gede, apalagi cuaca hari ini sangat pa
“Bunuh semuanya! Aku tidak mau ada penghalang dari pihak manapun! Oscar adalah milikku. Selamanya milikku!” Perintah Lucetta pada anak buahnya terdengar begitu tegas di telefon. Dia meminta semua mata-mata Oscar yang ada di Indonesia dilenyapkan. Jangan sampai Oscar mengetahui kalau dia mengunjungi negara ini. Siang itu, Lucetta menunggu di depan rumah duduk di kursi sisi pintu di mana di depannya ada pot. Jadi dari jalan dia tidak terlalu nampak. Dia juga meminta anak buahnya tidak mengganggunya biar dia yang mengurus sendiri. Cukup lama menunggu, akhirnya Nadya pulang. Bibirnya tersenyum miring meremehkan ketika melihat Nadya pulang bersama seorang pria. “Dia benar-benar pel*cur. Sudah hamil anak dari suami orang, masih saja mendekati pria lainnya. Aku yakin kalau pria itu juga sudah memiliki istri,” sinis Lucetta lirih. Seperti yang direncanakan, Lucetta berhasil membuat Nadya terkejut lalu membawanya masuk. Di sinilah mereka berada, ruangan luas yang biasanya sebagai tempat ol
Suara ponsel dari arah lain membuat seseorang melihat ke dashboard mobil. Itu bukan suara dari ponsel miliknya. “Loh? Ini ketinggalan?” Dev akhirnya menemukan ponsel yang tergeletak di kursi samping kemudi. Padahal Dev sudah setengah perjalanan. Tapi dia baru menyadari kalau ponsel Nadya tertinggal di mobil. Netranya melihat ke kanan kiri. Dia sedikit bimbang antara melanjutkan ke kantor karena ada meeting 30 menit lagi. “Tapi bagaimana kalau ada pesanan catering?” tanyanya bermonolog. Tak hanya sekali, namun ponsel kembali berbunyi ketiga kalinya. Oke, Dev memutusnya putar balik. Dia lebih dulu menelfon asistennya atas keterlambatannya ke kantor kemudian membawa mobilnya cepat menuju rumah Nadya. Mobil berhenti di depan rumah seperti biasa. Ketika dia hendak mengetuk pintu, Dev mendengar keributan dari dalam rumah. “Ada apa di dalam?” Tanpa ragu, dia langsung masuk ke dalam rumah. Saat dia memasuki ruang keluarga, kejutan besar terpampang di depan matanya. Dia melihat seorang
Walau lelah, Allice tetap membantu bibi menyiapkan makan malam. Baginya, melayani anak dan suami merupakan asupan energi baginya. Terlebih kalau mereka menyukai apa yang Allice persembahkan pada mereka, termasuk masakan yang disediakan. “Mama!” Anna, si kecil dengan dress rumahan berpita itu datang lebih dulu. “Sayang, Brian sama papa mana?” tanya Allice sembari mengisi empat gelas kosong di meja dengan air putih. “Kak Brian masih nanggung main lego katanya. Paling juga bentar lagi papa gotong ke sini.” Anna sudah nampak lebih tinggi sekarang. Dia duduk dengan mudah di kursi langganannya. Yaitu sebelah kanan kursi tengah milik Arsen. "Mama, tadi Jasmine bilang dia bakal punya adik lho!” ucap Anna dengan wajah ceria, sambil membiarkan Allice mengisi piring dengan nasi dan lauknya. “Oh, ya? Adik kandung? Maksudnya Tante Astri atau adik dari Uncle Hexa?” Allice jadi menghentikan gerakannya menunggu jawaban Anna. Pasalnya Hexa dan Dhea belum menceritakan apapun padanya. “Dari Uncle