Sungguh Shaka tidak bisa berkonsentrasi hari itu di kantor. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang adegan panasnya semalam dengan Kinan. Yang terjadi melebihi ekspektasinya. Sensasinya itu membuatnya melambung. saat dia sedang asyik berkutat dengan bayangan tubuh polos Kinan dalam benaknya, dia dikagetkan dengan ketukan pintu disertai dengan suara seorang wanita yang sedang mengomel. "Pak Shaka, ini ada yang mau ketemu." Rini yang muncul dari balik pintu. Di belakangnya menyusul seorang wanita bertubuh ramping yang membuat kening Shaka mengerut. "Shaka, ini sekretaris kamu kurang ajar banget ya sama aku. Tadi dia nggak ngebolehin aku nemuin kamu." Nikita mengadu sambil melirik sinis pada Rini."Ya kan anda belum ada janji sama Pak Shaka." Rini pun membela dirinya. "Heh! Aku nggak perlu janji ya kalau mau ketemu Shaka. Kamu tahu aku siapa nggak, sih?" Shaka segera menghentikan pertengkaran dua wanita itu. Dia menyuruh Rini meninggalkan ruangan dan mempersilahakan Nikita duduk. Wanita c
Rima sudah pulang ke Surabaya. Kinan pun bisa bernapas lega. Namun, ancaman wanita itu begitu membekas di hatinya. Sementara ada Nikita yang sepertinya mulai getol mendekati Shaka. Sudah beberapa kali wanita itu datang mencari Shaka, dan tatapan sinis Nikita padanya sungguh mengintimidasi. Kinan merasa bingung. Di saat perasaannya pada Shaka semakin bertumbuh, rintangan pun semakin besar.Malam itu Kinan susah tidur. Waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam dan Shaka belum juga pulang. Karena pikirannya yang sedang kalut, dia jadi berpikiran macam-macam. Jangan-jangan Shaka sedang bersama Nikita. Mereka akan menghabiskan waktu bersama malam ini. Memikirkan hal itu membuat dada Kinan nyeri. Namun apa haknya untuk cemburu. Kinan bergelung di bawah selimut, berusaha menampik pikiran-pikiran yang membuat kepalanya terasa berat. Namun, semakin dia berusaha membuang pikiran-pikiran buruk itu, semakin dia diserang bertubi-tubi.Langkah kaki Kinan memasuki keramaian di antara pengunjung mal
"Nanti malam ikut aku acara gathering." Shaka membuka obrolan pagi saat dia dan Kinan menikmati sarapan. Tentu saja Kinan terkejut mendengarnya. Seketika terpikir di benaknya ancaman Rima. "Tapi, Mas ... aku ....""Nggak ada tapi. Sebagai istri kamu harus mendampingi aku bertemu dengan rekan-rekan bisnisku."Wajah Kinan cemberut. Dia dalam dilema besar. Bagaimana kalau nanti Shaka memperkenalkan dirinya sebagai istri Shaka pada rekan-rekan bisnisnya. Lagi pula, dia merasa minder jika harus berada di antara perkumpulan para pengusaha kaya. "Mas ... tapi aku minta sesuatu, boleh?" tanyanya bernegosiasi."Apa?" "Pokoknya Mas Shaka jangan kenalin aku sebagai istri Mas dulu, ya. Aku belum siap."Shaka mengerutkan kening. "Justru aku mau memperkenalkan kamu sebagai istriku.""Jangan dulu, Mas. Ya, ya, please!" pinta Kinan memelas."Memangnya kenapa?" "Pokoknya jangan dulu. Pokoknya aku belum siap. Kalau Mas nekat, aku nggak mau ikut."Shaka menghela napasnya berat. Namun dia tidak bisa m
Kinan mematut diri di depan cermin sambil sedikit memutar badan untuk memastikan gaun yang dipakainya sudah pas di badan. Gaun warna coklat tua yang sederhana. Dia tidak jadi membelinya di butik merk ternama itu karena sudah terlanjur sakit hati dengan ucapan Nikita yang menohok jantungnya. Wajah ayunya hanya dipoles riasan ala kadarnya. Kinan tidak pandai merias wajah, karena memang dulu tidak mampu membeli peralatan make up lengkap. Rambut juga dia ikat ekor kuda saja. Ah, sebenarnya kalau boleh memilih, mendingan dia tidak usah ikut ke acaranya Shaka. Shaka yang baru saja keluar dari kamar mandi tersenyum memperhatikan Kinan di depan cermin. "Udah dandannya?" tanyanya seraya menghampiri istri kecilnya itu. "Udah. Gini aja, kan?" Kinan meminta pendapat Shaka tentang penampilannya."Cukup, sih." Shaka memeriksa gaun yang dikenakan Kinan. "Kamu beli di mana gaunnya?" "Di butik.""Kok nggak ada merknya? Berapa nih harganya?" tanya Shaka. Pasalnya, dia mentransfer sejumlah uang yang
"Berapa satu malam?" tanya pria paruh baya berbadan tambun itu membuat Kinan terperangah. Apa pria itu berpikir kalau dirinya gadis panggilan para bos kaya? Seketika hati Kinan terasa sedih dan juga marah. "Kok nggak dijawab sih, om bisa kasih apa saja yang kamu minta loh," ucap pria itu lagi. Mata Kinan terasa pegal menahan air mata. Telapak tangannya mengepal erat menahan rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. "Maaf, Om ... saya bukan perempuan panggilan."Pria itu terkekeh. "Masa? Udah ngaku aja, sama om itu santai.""Saya tidak seperti yang om kira!" Kinan memekik tertahan. Air matanya sudah tak mampu lagi dia bendung. Pria itu berusaha menyentuh tangannya, tapi segera ditepis oleh Kinan. Gadis itu menyambar tasnya lalu beranjak dari kursinya dan menghambur keluar.Shaka yang melihat Kinan berlari keluar sambil menangis tentu saja terkejut. Segera saja dia kejar istrinya itu keluar dari aula. Beberapa pasang mata termasuk Nikita menatap keheranan pada Shaka. Di luar Kinan sudah
Nikita menatap sinis ke arah Kinan. Kebenciannya pada gadis itu semakin menjadi-jadi. Shaka rela membuat keributan demi seorang gadis rendahan yang tidak selevel dengannya. Shaka di dalam aula pasti sedang menghajar pria tambun itu habis-habisan. "Kamu apain Shaka sampai dia rela membela kamu seperti ini?" Nikita mulai mengintimidasi Kinan. "Saya nggak ngapa-ngapain." Kinan mencoba membela diri."Kamu itu gold digger. Cewek muda yang suka mengeruk harta pria-pria kaya." "Mbak jangan sembarangan menuduh saya."Nikita mendecak. "Nggak usah membela diri. Kamu memang kayak gitu," ujarnya."Terserah Mbak mau ngomong apa tentang saya." Kinan memilih untuk mengabaikan ucapan Nikita. Malam ini cukup bagi Kinan merasakan sakit hati. Dia merasa begitu lelah. "Kamu boleh merasa di atas angin sekarang ya. Tapi nggak akan lama. Karena aku nggak akan tinggal diam membiarkan kamu merongrong harta keluarga Adiwiguna."Kinan melempar pandangannya ke arah lain. Melawan perempuan itu sama saja mengh
Nyonya Rose harus dilarikan ke rumah sakit malam itu karena mengalami collapse. Wanita tua itu dirawat di ICU karena koma. Akhirnya, setiap hari setelah pulang kuliah, dia menunggui wanita yang sudah dia anggap sebagai neneknya sendiri itu dan malam hari dia baru pulang. Namun hari itu, saat dia pulang, dia melintasi ruangan kerja Shaka dan tidak sengaja mendengar sesuatu yang membuat jantungnya berdebar kencang. Di dalam ruangan itu ada Rima dan Shaka. Mereka sedang terlibat pembicaraan serius. Kinan menempelkan punggung di dinding sambil mendengarkan pembicaraan mereka. "Tidak ada pilihan lain, Shaka. Perusahaan keluarga ini sedang dalam bahaya runtuh kalau tidak segera diselamatkan. Dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan bantuan papanya Nikita.""Tapi kenapa harus dengan jalan itu? Apa tidak ada cara lain, Ma? Aku bisa mengusahakan investor lain." Rima menggeleng. "Kalau memang ada investor lain, silahkan saja, Shaka." "Beri aku waktu untuk menyelesaikan mas
Kinan duduk di atas jok sofa, matanya terus memandang lurus ke depan. Hatinya tak bisa menghentikan laju detak yang semakin cepat. Tadi sore, dia telah menyaksikan Shaka, suaminya, di mal bersama mantan pacarnya, Nikita. Perasaan campur aduk melanda dirinya. Kinan berusaha keras untuk tegar dan tidak membahas hal itu dengan Shaka malam ini.Mereka duduk bersebelahan seperti biasa di ruang tamu mereka yang nyaman. Kinan merasakan kehadiran Shaka, tapi hanya diam membisu dan memilih tidak menatapnya. Sikap Kinan yang dingin itu begitu mencolok. Namun, Shaka tampaknya acuh tak acuh dengan respons Kinan tersebut."Malam ini ada apa, Kinan?" tanya Shaka dengan raut wajah polosnya, seolah-olah tak menyadarinya.Kinan menatapnya sejenak, mencoba menumpahkan perasaannya tapi kalimat itu terjebak di tenggorokannya. Dia menggeleng pelan dan memilih untuk tetap diam. Dalam hatinya, Kinan berharap Shaka akan menyadari bahwa sesuatu bukanlah hal yang biasa-biasa saja.Shaka lalu melanjutkan kegiat