“Tidur yang nyenyak, Howard. Semoga kau tidak digigit nyamuk.”
Harger turun sebentar meninggalkan sang hakim di dalam kamar hanya untuk menyerahkan bantal dan selimut kepada Howard yang akan tidur di ruang tamu. Keadaan sudah separuh temaram. Howard sudah bersiap tidur dengan kain panjang membungkus separuh tubuh.“Jika ada nyamuk yang menggigitku, kaulah nyamuknya,” timpal Howard seraya mengatur posisi bantal lebih baik.“Kalaupun aku nyamuk. Aku tidak akan menggigit kulit tanganmu yang alot.” Harger membantah diliputi tawa yang menghilang perlahan. Waktunya untuk meninggalkan. Dia membiarkan seluruh lampu di satu ruang itu mati. Berjalan pelan menaiki undakan tangga, lalu masuk ke dalam kamar sendiri. Sang hakim sedang menunggu dengan tatapan yang cerdas menyadari satu langkah Harger menutup pintu kamar.Tidak ada suara apa pun, selain pintu lemari berdecit ketika Harger menyeka dua kusen bersamaan untuk terbuka. Dia mengeluarkan koper dari rak terbawah. Paling perHanya ada satu bagian terakhir yang tidak akan Harger biarkan tertinggal dari persiapan semalam. Alat test pack; masih tersimpan di laci nakas. Sesekali dia melirik pria yang masih bergumul dengan tidur lelap. Mata terpejam, secara naluri menyakinkan Harger untuk merenggut benda pipih itu, lalu memindahkan ke dalam – dalam lipatan baju di koper-nya. Satu tangan Harger bergerak melakukan tindakan mendorong; membiarkan laci menutup rapat, dan dia segera merangkak ke atas ranjang. Mengulurkan lengan sekadar menyentuh rahang yang terasa kasar itu.“Sudah pagi, Deu. Bangun.” Harger berbisik dekat – dekat di wajah sang hakim. Merasakan gerakan samar; pria itu mengerang untuk kembali tidur. Mengatur posisi tubuh membelakangi Harger. Kemudian menarik selimut menutup sampai sebatas leher.“Kau harus ingat keberangkatan kita jam sembilan pagi.”Dengan terpaksa Harger harus menderak maju, menyampirkan dirinya menyentuh lengan liat yang membentuk siku. Dengkuran kecil terdengar begitu nyenyak. K
Roma, Italia .......Harger melangkahkan kaki masuk untuk kali pertama setelah dia dengan penuh tekad meninggalkan rumah, yang salah satunya menyimpan momen – momen tak terduga. Rasanya masih sama, separuh hening dan ketenangan yang dimiliki di tempat ini masih sembunyi – sembunyi menawarkan hal paling berharga. Harger tidak tahu bagaimana dia akan memberi pendapat, tetapi satu bagian terpenting adalah tentang pemikiran terhadap kamarnya.“Kau masih memasang kamera itu atau sudah tidak?” Dia bertanya seraya berbalik badan. Sang hakim berjalan di belakang, dan kemudian langkah pria itu terhenti sekadar memberi jawaban tanpa suara, sebuah gelengan tipis yang membuat ekspresi wajah sang hakim sedikit berubah. Mungkin pria itu memikirkan kembali bagaimana Harger pernah menduga terlalu jauh. Ini cukup membuat situasi mendadak canggung. Harger menipiskan bibir sebelum akhirnya kembali melangkahkan kaki.Satu demi satu undakan tangga telah dia lalui, diliputi beb
Selesai.Harger mengamati sebuah kotak yang terbungkus rapi dengan takjub. Tambahan pita merah mengikat di bagian akhir memberi sedikit kesan misterius. Dia hanya perlu menunggu sang hakim pulang setelah pagi – pagi sekali pria itu berpamitan pergi untuk mengurus surat cuti di kantor pengadilan. Sambil mengira – ngira kapan dia akan mendengar suara mobil merambat di depan rumah. Harger berjalan ke dapur sekadar memastikan kue yang sedang dipanggang di oven telah mengembang, atau mungkin sudah matang sempurna. Sudut bibirnya melekuk tipis menghirup aroma yang mencuak ke udara ketika pintu oven diturunkan ke bawah. Warna cokelat keemasan merata konsisten di atas permukaan hingga di bagian pinggir ke bawah. Satu tindakan khusus segera Harger lakukan; mengeluarkan kue-nya, dan dia menunggu beberapa saat sampai suhu kue menjadi hangat, untuk kemudian dikeluarkan dari loyang. Setelah mengambil beberapa hal yang diperlukan. Harger menatap cake pandan polosan; tak berpikir bahwa dia akan
Satu hentakan mantap menimbulkan suara keras ketika Deu beranjak bangun, melangkahkan kaki ke arah dokter. Waktu – waktu sudah berlalu, Harger memang segera mendapat penanganan dengan cepat, dan ini yang Deu butuhkan untuk tahu bagaimana kondisi Harger setelah kehilangan begitu banyak darah.“Istriku baik – baik saja, Dokter?” tanya Deu nyaris parau. Sangat disayangkan bagaimana dokter menghela napas, lalu melepas kacamata sekadar menyeka keringat di sudut mata.“Kondisi pasien baik – baik saja, tetapi kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”“Tunggu ....” Kening Deu mengernyit berusaha tidak percaya. “Maksud, Dokter, aku tidak mengerti. Dia hamil?” lanjutnya memastikan. Sebuah anggukan secara pasti seakan membuat Deu hilang beberapa saat. Harger hamil, tetapi dia tidak pernah tahu tentang hal demikian. Sekarang bagaimana dengan pengetahuan gadis itu? Deu masih menatap lurus ke arah dokter.“Berapa usia kandungannya?”Dia bertanya, walau tak yakin terhadap alasa
Rasanya masih begitu jauh untuk meraih kesadaran. Harger berjuang perlahan – lahan membiarkan kelopak matanya terbuka, mencari celah supaya siraman cahaya menumbuk ke dalam pupilnya. Beberapa kali dia mengerjap; menyesuaikan keadaan hingga akhirnya menemukan Howard berdiri dengan senyum tipis mendekati.“Di mana Deu?” Itu yang pertama ingin Harger tahu. Sang hakim paling terakhir melakukan kontak pemibicaraan bersamanya, seharusnya pria itu ada di sini; persis di mana Howard masih membiarkan kebutuhan untuk mencari jawaban yang tepat.“Don pergi.”Nada bicara Howard terdengar ragu. Sikapnya kentara seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang penting. Harger mendadak merasa haus. Akan tetapi dia tahu bukan tentang air yang diinginkan. “Ke mana?” tanyanya dengan suara tercekat. Hanya gelengan samar, iris biru Howard menatap Harger serius dan tidak biasa.“Aku tidak tahu, tapi Don sangat marah.”Tiba – tiba wajah Howard alih berpaling ke sisi lain. Pria itu sedang menghindari kontak mat
“Apa yang kau pikirkan, Deu? Mengapa menghindariku?”Harger mendengar suaranya sendiri begitu lirih. “Lihat aku.” Sekali lagi dia masih berusaha. Menunggu kapan iris gelap itu bergerak. Namun, keterdiaman sang hakim sudah cukup untuk menegaskan kalau mungkin pria itu tak ingin berbicara langsung dengannya.Ntah keberanian dari mana akhirnya Harger membiarkan udara berembus dari celah bibir. Dia meletakkan kening bersentuhan di ceruk leher sang hakim. Merasakan sensasi kulit yang hangat, dan hati – hati menggerakkan lengan untuk mendekap tubuh liat itu sekadar mencari kenyamanan.Saat tersebut, Harger pikir sang hakim tidak akan melakukan apa pun. Tidak akan membalas setiap sentuhan darinya, tetapi dia mendadak harus menegang ketika menerima rengkuhan lembut yang menarik tubuh mereka lebih rekat.“Hari ini aku sudah ingin memberitahumu tentang kehamilanku.” Terlalu buruk harus berdiam diri. Harger memutuskan segera bicara. Melawan golakan – golakan hebat dan beta
Harger terbangun, mendapati sang hakim sudah tidak di sampingnya. Samar, dia tahu bahwa satu hal, tidak beres sedang terjadi. Sesuatu di dalam perut bergolak. Rasanya begitu sakit, sebuah tembakan yang pelan – pelan semakin terjal menggerogoti saraf – saraf di tubuh Harger. Lengannya segera terulur nyaris memeluk diri sendiri. Dia meringkuk di atas blankar, lonjakan menyedihkan terasa pula di sekitar pinggul. Betapa mencekat, dan ini begitu tiba – tiba; tidak dapat Harger hentikan, selain dari pada menahan kontraksi yang begitu menusuk. Menunjukkan betapa perasaan ini segelap langit di luar jendela.Harusnya Harger masih bisa menekan dirinya dengan berusaha terpejam. Tetapi suara pintu terbuka seketika menjadi sebuah alasan dia mengatur posisi sebagaimana mestinya. Menelusuri setiap langkah sang hakim saat pria itu masuk. Harger bergerak gelisah, ragu – ragu coba berlagak dia sedang baik – baik saja di hadapan sang hakim. Pria yang membawa sekotak makanan baru saja meletakkan kantong
Howard muncul dengan canggung ketika Harger dan sang hakim tengah bersiap akan meninggalkan rumah sakit. Pagi ini diperbolehkan pulang; bersyukurlah Howard tidak terlambat satu menit lebih lama. Harger tersenyum melihat Howard membawa sesuatu di tangan.“Kemarilah, Big’H.”Sudah Harger putuskan akan memanggil Howard lewat sebutan demikian jika pria itu memberikan hadiah. Buah tangan, dia menganggap hal itu bagian dari bentuk pemberian manis yang Howard lakukan, meskipun kecanggungan semakin tinggi begitu sang hakim berpamitan lebih dulu pergi ke mobil.Tidak banyak yang bisa Harger katakan. Betapan pun dia ingin mencoba. Sikap dingin sang hakim terlalu membekukan, membuatnya telanjur merasa takut.“Kalian bertengkar gara – gara aku.” Howard mendekat, demikian hanya itu yang bisa Harger mulai sebagai percakapan. Telapak tangan pria itu tiba – tiba mendarat di puncak kepalanya.“Tidak usah dipikirkan. Aku mengenal Don. Bukan sekali ini saja dia tak ingin bicara denganku. Kita hanya per