Share

8. Prestige Girl and Sarcastic Guy

Setelah di antar oleh Aaron di kamis malam minggu lalu adalah terakhir Ayana bertemu dengan pria arogan itu. Syukurlah karena ia bisa menjalani seminggu yang tenang meski masih harus bolak-balik mengkhawatirkan Mattew yang masih terus melakukan konseling dengan psikiaternya.

Ayana menarik sudut bibirnya setelah salah satu pasien yang di tanganinya keluar dari ruangan. Baru empat hari ia mulai bekerja di rumah sakit ini dan rasanya ia seperti bertemu dengan rumah baru yang terasa nyaman.

Waktu menunjukan pukul dua siang dan Ayana baru menyadari bahwa ia belum makan apapun dari pagi. Sudut matanya menatap ke jam dinding yang tergantung tidak jauh dari depan meja kerjanya.

“Hm, sebentar lagi shift nya selesai. Sepertinya makan roti sedikit saja cukup.” Ucap Ayana bermonolog pada dirinya sendiri, tangannya kembali menarik rekam medis pasien yang tadi diserahkan oleh perawat.

Ayana baru menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen yang di pegangnya ketika terdengar ribut dari luar ruangan.

Dengan naluri sebagai seorang dokter, Ayana kembali meletakan dokumen yang di pegangnya dan berlari keluar. Tepat didepan ruangannya seorang wanita muda kisaran tiga puluhan akhir nampak sedang mengeluhkan kinerja para perawat di rumah sakit. Sedangkan seorang pria yang tampak lebih tua dari wanita itu nampak duduk di atas kursi roda.

“Ada apa Bel?” Tanya Ayana pada Belle, salah satu perawat disitu.

“Dia pasien dokter Richard, dia baru keluar rumah sakit dua hari yang lalu, tapi istrinya kembali dan marah-marah katanya ada tindakan yang salah sehingga penyakit suaminya semakin parah.” Bisik Belle pada Ayana yang kemudian membawa tatapannya pada pria yang duduk di atas kursi roda itu.

“Lalu dimana dokter Richard? Kenapa kalian tidak membawanya pada dokter Richard?” Tanya Ayana sedikit khawatir, melihat wanita itu semakin membentak-bentak para perawat.

“Dokter Richard masih dalam perjalanan, shiftnya baru mulai jam empat sore.” Jawab Belle masih berbisik.

Ayana membasahi bibirnya dan saat ia membawa pandangannya ke area rumah sakit yang lebih luas, pandangan orang-orang yang berlalu lalang disana semakin banyak. Terutama para pasien dan kerabat mereka yang mungkin sedang berkunjung.

“Bilang yang lain untuk mengurus kerumunan, aku akan mencoba berbicara dengannya.” Perintah Ayana membuat Belle mengangguk paham lalu dan berlalu dari sana dengan seorang perawat lainnya.

“Nyonya, aku dengar suami anda adalah pasien dokter Richard, kalian bisa menunggu didepan ruangannya, ia masih dalam perjalanan kesini.” Ucap Ayana mulai menenangkan wanita yang masih tidak ingin tenang tersebut meski sudah berbicara dengan para perawat disana.

“Aku tidak ingin dokter Richard lagi, ganti dokter suami ku dengan dokter lain saja. Kami membayar mahal untuk rumah sakit ini, jika suami ku tidak ditangani dengan baik maka apa gunanya kami membayar mahal?” Wanita itu masih terus meloncatkan amarahnya yang kini tertuju pada Ayana.

“Baiklah, tapi anda dan suami anda perlu berkonsultasi kembali ke dokter Richard, ia perlu tahu sebelum merekomendasikan anda ke dokter lain.” Ucap Ayana lagi masih berusaha tenang.

Wanita tadi menatap Ayana dari dari ujung kepala kemudian berhenti pada name tag yang digunakan gadis itu.

“Dokter Ayana Giordano? Anda seorang dokter tapi ingin melihat suami ku mati disini hah? Kenapa anda tidak menanganinya sekarang saja? Lihat, tidak ada dokter yang mau menangani masalah ini. Kami harus menunggu sampai kapan?” Wanita itu membawa pandangannya dengan tangan kanan yang terangkat dan menunjuk asal.

“Tapi saya bukan spesialis dokter onkologi.” Ayana berusaha memberi penjelasan pada wanita tersebut. “Baiklah saya akan coba menghubungi dokter lain dibidang ini aarh…” Ayana belum menyelesaikan ucapannya ketika tangan wanita itu terangkat dan tanpa diduga-duga di tangannya sudah terdapat sebuah pisau lipat yang baru saja menggores bagian dalam permukaan tangan Ayana.

Ayana cukup kaget pada kejadian yang baru saja terjadi, begitu cepat hingga ia tidak cukup yakin apakah tangannya benar-benar terluka saat ini.

“Periksa suamiku sekarang jika tidak aku akan membuat keributan di rumah sakit ini!” Teriak wanita itu didepan wajah Ayana saat beberapa perawat pria disitu mendekat untuk melindungi Ayana. “Aku mohon dokter.” Ucap wanita itu dengan suara yang mulai gemetar, membuat Ayana yakin wanita itu hanya ingin menyelamatkan suaminya, sebenarnya ia pun penuh dengan ketakutan saat ia berteriak dan marah-marah.

“Aku sangat ingin membantu tapi,” Ayana membasahi bibirnya merasa iba melihat wanita itu dan suaminya.

“Apa kau ingin suami mu salah di diagnosis lagi?” Sebuah suara berat terdengar dari belakang Ayana membuat tidak hanya Ayana yang menoleh tapi orang-orang di sekitarnya juga. “Kau tidak dengar tadi yang dia katakan? Dia bukan dokter onkologi. Suami mu bisa salah dikasih obat.” Suara Aaron Xavier yang seksi dan berat berhasil membuat para perawat kembali tersenyum cerah saat menatapnya.

“Tapi jika…”

“Jika kau ingin suami mu mendapatkan pengobatan yang tepat maka kau harus sedikit bersabar, entah menunggu dokter spesialis suami mu saat ini atau dirujuk ke dokter lain.” Aaron memasukan kedua tangannya saat berbicara dengan wanita itu.

“Kau sudah menghabiskan waktu mu dengan marah-marah, jika kau mencari solusi lain dengan tenang, suami mu mungkin tidak akan sepucat sekarang.” Aaron berhasil membuat wanita tadi membisu, entah karena baru mengerti bahwa apa yang ia lakukan sejak tadi salah atau terpesona dengan ketampanan Aaron Xavier.

Setelah sekian menit dalam keheningan, akhirnya wanita itu baru mengangguk dan mengikuti arahan perawat yang membawanya ke ruangan tunggu spesialis onkologi.

Setelah kerumunan didepan ruangannya pergi, Ayana baru berbalik ingin masuk ke ruangannya tanpa ingin mengatakan sepatah katapun pada Aaron. Ah sial ia terlalu malu untuk berterima kasih pada pria itu. Lagi.

Demi Tuhan, ia baru bertemu Aaron minggu lalu dan ia sudah banyak berhutang terima kasih padanya.

“Apa kau lupa cara mengatakan terima kasih pada orang yang sudah menolongmu?” Tanya Aaron, yang hingga detik ini belum mendengarkan Ayana mengatakan terima kasih padanya.

Hei, apa gadis itu lupa sudah berapa kali ia menolongnya? Ya walaupun Ayana tidak meminta bantuannya, tapi tetap saja itu sudah aturan alam bukan.

Ayana menarik napasnya pelan, mencoba untuk membuka mulutnya berbicara dengan Aaron yang mengikutinya masuk ke dalam ruangan.

Namun tidak bisa, sesuatu dalam diri Ayana seolah menolak berterima kasih pada Aaron. Sejak awal Ayana tidak menyukai pria itu, jadi hal baik apapun yang dilakukan Aaron tidak pernah menyentuh hati kecilnya.

Langkah Ayana terhenti didepan sebuah lemari putih disudut ruangan, tangan kirinya yang tidak terluka menarik keluar kotak berukuran sedang dari dalam sana. Berniat untuk mengobati luka goresan di tangan kanannya.

“Duduklah,” Tanpa diduga Aaron menarik kotak yang dipegang Ayana tersebut lalu menarik gadis itu untuk duduk pada sofa berwarna grey yang berada tidak jauh dari meja kerjanya. Aaron pun ikut duduk disana. “Berikan tanganmu.” Tanpa menunggu ijin Ayana, Aaron sudah menarik tangan kanan gadis itu untuk di obati.

“Aku bisa sendiri.” Tandas Ayana menarik kembali tangannya.

“Akhirnya kau bisa bicara, aku pikir kau sangat terluka dengan ucapan wanita tadi.” Ledek Aaron yang sudah mengambil pembersih dari dalam kotak obat.

Iris mata Ayana bergerak mengikuti pergerakan Aaron, oh ia lebih takut disakiti pria di depannya ini.

“Aku lebih takut kau sakiti.” Tandas Ayana asal membuat Aaron mengangkat wajahnya dan menatap wajah cantik dokter muda di depannya itu.

“Kita belum memulai kenapa kau sudah takut tersakiti?”

***

To be continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status