Share

7. A Small Threat

Bunyi denting detik waktu yang terus bergema ditelinga Ayana malam ini menjadi sesuatu yang terasa menyebalkan untuknya sekarang.

Ia berdiri dengan gelisah didepan pintu pemeriksaan menunggu Mattew yang sedang menjalani konsultasi dengan psikiaternya dan juga bocah kecil yang ia bawa kemari tadi bersama Aaron.

Oh ya, berbicara mengenai Aaron, entah dimana pria itu. Ayana menyisir rambut tebalnya dengan jemari lentiknya sebelum kepalanya mulai bergerak mencari keberadaan Aaron. Bagaimanapun ia harus mengatakan terima kasih kepada pria itu.

“Apa dia sudah pulang?” Tanya Ayana mencoba menebak-nebak.

Kaki rampingnya terus melangkah menuju ujung lorong rumah sakit hingga sesuatu berhasil mengagetkannya.

“Awhh...” Lagi-lagi Ayana ingin mengutuki malam sial ini. Oh demi apapun entah mimpi buruk apa yang ia alami dimalam terakhir saat ia berada di Los Angeles.

Ayana menelan ludahnya buru-buru sebelum melepaskan tangan kekar Aaron dari pinggangnya. “Kau suka sekali jatuh di dekatku.” Sinis Aaron meledek membuat wajah Ayana memerah ditengah udara dingin malam ini.

Jelas-jelas kau yang muncul tiba-tiba.” Oh mulut tajam Ayana tentu saja tidak akan mau kalah.

“Lalu kenapa kau kesini? Kau tidak lihat lorong ini sangat sepi?” Tanya Aaron seolah-olah akan membuat Ayana takut.

Ayana memutar kedua bola matanya sebelum berbalik dan berjalan kembali menuju ruangan perawatan.

“Kau sudah boleh pulang.” Tandas Ayana, lupa akan niatnya untuk berterima kepada Aaron tadi.

Hening untuk beberapa saat. Lorong gelap itu semakin membuat bulu roman Ayana merinding meski pun ia sudah sering menghabiskan waktunya di rumah sakit. Tanpa sadar ia melangkahkan kakinya mendekati ruangan bocah kecil tadi.

Sudah beberapa detik berlalu namun masih juga tak ada jawaban dari Aaron.

Ayana melipat kedua tangannya, memejamkan matanya sekilas sebelum berbalik menatap Aaron. Pria itu sudah duduk disalah satu kursi didepan ruangan itu.

“Kau akan duduk disitu sepanjang malam?” Balas Ayana membuat Aaron mengangkat alisnya kesal.

“Pulanglah, kau sudah tidak punya urusan disini.” Usir Ayana lalu kembali menatap pada ruangan didalamnya.

Aaron mengangkat pergelangan tangannya dan menatap jam tangan mahal yang di pakainya sudah menunjukkan waktu setengah dua belas malam.

“Kelihatannya dia baik-baik saja, aku akan mengantar mu pulang.” Ucap Aaron yang sontak berdiri menjulang tinggi dibelakang Ayana membuat gadis itu nyaris berteriak.

“Aku perlu berbicara dengannya, selain itu aku perlu menemui Matthew setelah dia tenang.”

“Oh kau suka mengurus hidup orang lain.” Ucap Aaron membuat Ayana sontak menoleh dan menatapnya tajam.

Aaron tersenyum smirk menatap kekesalan pada mata Ayana, oh ia suka posisi mereka berdiri sekarang.

“Sebaiknya kau pulang jika tidak suka mengurus hidup orang lain, tuan Xavier.” Dorong Ayana berusaha menjauhkan Aaron dari dekatnya. Pesona pria itu mungkin akan segera membuatnya mencair.

“Aku harus mengantar mu pulang jika tidak Henry akan...”

“Apa kau tiba-tiba takut dengan kakakku?” Ayana membawa tatapan meledeknya pada Aaron. “Cih... Ini tidak seperti dirimu yang kemarin.” Sindir Ayana.

“Dengar gadis kecil, aku tidak pernah takut pada siapapun!” Aaron menarik tangan Ayana dan sedikit menekannya, memberikan gadis itu sedikit intimidasi.

“Kalau begitu pulanglah!” Jawab Ayana tanpa ketakutan.

“Bagaimana kau akan pulang?”

“Kekasihku akan menjemputku, jadi sebaiknya kau menghilang dari sini.” Ucap Ayana berhasil membuat Aaron cukup kaget.

Oh baiklah, gadis ini lagi-lagi menolaknya. Dan ia punya seorang kekasih. Oh damn, Aaron suka ini. Sebuah tantangan.

“Kekasih yang baik.” Aaron tertawa tanpa melepaskan tangannya, ia justru menarik Ayana semakin dekat padanya.

“Bagaimana jika ia bertemu dengan ku?” Tanya Aaron dengan wajah begitu dekat dengan Ayana. “Apa dia tahu kemarin kau tidur dengan ku?” Tandas Aaron membuat bola mata Ayana membulat.

“Kau mengancamku?!” Bisik Ayana tertekan.

Aaron menggeleng kecil sebelum tersenyum. “Karena itu jangan biarkan ia bertemu dengan ku, aku akan mengantar mu pulang.”

Ayana menelan salivanya kesal, ia terdiam beberapa detik demi memikirkan sebuah ide.

“Tapi tidak sekarang, aku perlu memastikan Matthew dan anak itu baik-baik saja.” Ayana berusaha membuat penawaran, ia yakin Aaron tidak mungkin berbaik hati menunggunya disini selarut ini.

“Baiklah, waktumu dua puluh menit, sebelum sepatu Cinderella mu berubah, aku perlu mengantar mu pulang. Aku juga perlu tidur.”

“Oh demi Tuhan siapa yang menyuruhmu kesini!” Ketus Ayana sebelum tangannya terlepas dari tangan Aaron. “Tunggu sebentar.”

Sambil menggerutu Ayana berjalan cepat menuju ruangan dimana anak kecil tadi dirawat. Tepat selangkah ia akan sampai didepan pintu ketika seorang dokter muda yang tadi merawat anak itu keluar dari sana.

“Ah, kau disini dokter... Ayana.” Ucap dokter tampan tersebut membuat Ayana mengulas senyumnya.

“Bagaimana keadaannya?” Iris mata Ayana menuju sosok kecil yang tengah terbaring.

“Dia baik-baik saja, pingsan akibat udara dingin dan sedikit kelelahan. Lihat tubuh kecilnya. Aku sudah memberikannya vitamin. Biarkan dia istirahat disini malam ini, besok dia sudah bisa pulang.”

Ayana mengangguk paham sembari menghela napasnya lega. “Terima kasih, dokter.”

“Oh ya, kau sudah hubungi keluarganya?” Tanya dokter muda bernama Tom tersebut.

Sekian detik kemudian Ayana baru tersadar, oh ya Tuhan sejak tadi ia tidak berpikir untuk menghubungi keluarga anak itu.

“Aku lupa...” Desis Ayana. “Aku akan berbicara padanya dulu.” Ucap Ayana lalu melangkah masuk ketika Tom menganggukan kepala.

***

Ayana menyisir rambut panjangnya saat berjalan mengikuti Aaron menuju mobil pria itu. Sekarang ia membenci dirinya yang duduk semobil dengan Aaron. Baru dua hari mereka bertemu dan Ayana sudah membenci seluruh hal tentang Aaron, meskipun ia tidak mengetahui kepribadian Aaron seutuhnya.

Ayana mendesah untuk kesekian kalinya, membuat Aaron nyaris menertawakannya. “Sepertinya terlalu berat duduk disebelah ku.” Tandas Aaron masa bodoh.

Ayana kembali mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum membalas tatapan Aaron yang menatap tajam padanya. Oh tatapan pria ini layak diberikan bintang satu, sangat tidak ramah.

Ayana mencoba untuk tidak lagi mendesah kesal, namun lagi-lagi ia tidak bisa menahan dirinya sendiri. Entah kesialan apa yang ia bawa dari Los Angeles hingga mendapatkan penyambutan seperti ini di London.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah membelakangi Aaron dan menatap keluar jendela. Menciptakan keheningan panjang disana.

“Aku baru tahu kau seorang dokter.” Ucap Aaron memecah keheningan didalam mobil saat mereka berhenti dilampu merah..

Ayana membawa pandangannya dari luar jendela dan menatap Aaron yang memandang lurus ke depan.

Ayana berpikir untuk beberapa menit mencari jawaban untuk... Tidak bukan jawaban, Aaron tidak sedang melayangkan sebuah pertanyaan.

“Kau dekat dengan Henry dan pernah menjalin hubungan dengan Hana tapi tidak tahu.” Sinis Ayana.

“Mereka tidak pernah bercerita tentang mu.” Tandas Aaron yang berhasil membuat Ayana membisu, cukup terkejut dengan fakta tersebut. “Kau mungkin kurang penting bagi mereka. Makanya aku kaget kau mau mengorbankan diri untuk menyelamatkan Henry.” Ucap Aaron dengan senyum smirknya, satu tembakan telak untuk Ayana.

Ayana mengakui ia tidak begitu banyak mengenal teman-teman bisnis Henry ataupun Hana, tapi Henry sering mengajaknya ke beberapa pertemuan bisnis dengan beberapa rekannya. Hana? Ya, Ayana baru sadar ia tidak begitu tahu lingkungan pertemanan Hana seperti apa. Satu-satunya yang selalu diceritakan kakak perempuannya itu adalah Aaron, pria yang ia cintai.

Kemarin adalah pertemuan pertamanya dengan Aaron, tanpa disengaja. Kejadian yang mengerikan baginya. Aaron seolah menjadi teman sekaligus musuh bagi Henry.

“Kenapa kau diam?” Tanya Aaron kemudian, saat ia menoleh Ayana hanya menatapnya tak berarti.

“Aku hanya tidak menyukai bisnis karena itu kami punya lingkungan pergaulan yang berbeda. Aku juga hanya menceritakan tentang mereka pada beberapa teman dekatku.” Ucap Ayana asal, padahal kenyataannya mulut cerewetnya selalu menceritakan tentang kedua kakak angkatnya yang baik hati pada semua orang.

Aaron mengangkat pundaknya seolah tidak peduli dengan itu. “Kau bekerja di Los Angeles?” Tanya nya lagi.

Ayana menggeleng pelan. “Sudah tidak, aku memutuskan berhenti setelah bekerja dua tahun disana.” Ucap Ayana di ikuti senyum kecilnya memikirkan alasannya kembali ke London karena Felix.

“Ah bagus, jadi kau akan mulai bekerja di London?” Tanya Aaron lagi.

Senyum diwajah Ayana mengerut saat ia menatap kesal pada Aaron. Oh sial, kenapa ia jadi mengobrol bebas dengan pria brengsek yang semalam baru saja mencelakainya? “Sepertinya aku tidak perlu bilang padamu.”

“Aku baru tahu ada dokter segalak dirimu.” Ledek Aaron membuat Ayana kembali melotot padanya.

“Aku tidak pernah segalak ini hingga aku bertemu denganmu tuan Xavier. Orang sepertimu tidak pantas mendapatkan kebaikan ku.”

“Kau tidak takut aku melakukan sesuatu padamu disini? Teruslah meledek ku dan aku akan menghentikan mobil ini disini lalu...” Ucapan Aaron terhenti saat jari telunjuk Ayana menempel sempurna di bibirnya. Oh sial, Aaron pikir tiba-tiba ada ribuan kupu-kupu dalam perutnya.

“Aku tidak akan berbicara lagi. Kau bisa mengemudi dengan tenang, aku ingin cepat sampai rumah.” Ucap Ayana membuat Aaron menatap gemas padanya.

***

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status