Harshil menggenggam tangan Inara, menyadari beberapa pasang mata menoleh ke arahnya."Kita bicarakan ini setelah sampai di rumah," ucapnya setengah berbisik.Inara hanya mengangguk. Dia melihat Savrina yang tengah digendong oleh seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahunan."Dia pengasuh untuk Savrina, Ettan yang mencarikan baby sitter untuknya, untuk membantumu mengasuh Savrina."Tanpa diminta, Harshil menjelaskan semuanya. Inara hanya mengangguk lagi, sekarang dia tak mau membantah apapun lagi. Ucapan Harshil mungkin itu yang terbaik untuknya. "Kita pulang ke apartemen, Tuan?" tanya Ettan memastikan."Langsung ke rumah saja. Jangan ke apartemen dulu untuk sementara waktu.""Baik, Tuan."Mobil yang dikendarai Ettan melaju dengan kecepatan sedang. Savrina dan babysitternya duduk di depan. Sementara Harshil dan Inara duduk di belakang. Inara menyandarkan kepalanya ke pundak sang suami. Dia masih merasa lemas tak bertenaga. Harshil merangkul pundaknya. Sesekali mengecup puncak ke
Pramudya mendekat ke arah Harshil dan berbisik, "jaga baik-baik istri kecilmu itu, Harshil! Kita tidak tahu, bahaya apalagi yang akan menimpanya."Dia menepuk pundak Harshil beberapa kali sembari tersenyum sinis. Pria paruh baya itu melangkah pergi, membawa kopernya usai memunguti baju yang berceceran.Ingin rasanya Harshil memukul pria itu, tapi tak pantas. Secara tersirat pamannya itu mengancam Inara.Harshil mengembuskan nafas kasar, saat berbalik seorang pelayan hendak mengantarkan bubur dan sayur soupnya ke kamar Inara."Bi, biar aku aja," tukas Harshil. Mendengar ancaman dari Pram, dia jadi tak tega meninggalkan Inara sendirian di kamarnya."Tapi--""Tidak apa-apa, dia istriku.""Baik, Tuan."Harshil melangkah sambil membawa makanan itu ke dalam kamarnya. Inara masih tertidur, bahkan dia tak sadar ketika seseorang membuka pintu kamar."Inara ..." panggil Harshil lembut. Ia meletakkan makanan di atas meja. Dia duduk di samping sang istri, mengelus pipinya dengan pelan. "Sayang,
Pagi-pagi sekali, Harshil sudah menerima beberapa panggilan telepon dari para wartawan. Ada yang sengaja menyebarkan kembali berita tentang pernikahan kontraknya dengan Inara, serta beberapa foto skandalnya dulu ikut mencuat. Harshil sering datang ke klub malam. Foto dirinya dengan beberapa wanita tercyduk oleh kamera. Padahal itu tak seperti yang dipikirkan oleh netizen, dia memang berkumpul di club bersama teman-temannya, tapi beberapa wanita penggoda langsung mengerubunginya. Dan beberapa foto sempat dipotret oleh orang yang tak bertanggung jawab.Inara ikut membaca berita di artikel koran hingga artikel di internet, entah kenapa hatinya ikut kecewa. Ada sesuatu yang mengganjal di hati tapi tak bisa diungkapkan.Harshil menggebrak meja dengan koran itu, membuat Inara berjingkut kaget melihat kemarahan dalam diri Harshil. Ini pertama kalinya Harshil mengekpresikan kemarahan yang begitu besar."Halo, Ettan. Kumpulkan para wartawan, aku akan mengklarifikasinya secara live," titah Hars
"Putri, Diandra, sebelum kalian mencela Inara, sebaiknya introspeksi diri dulu deh. Apa kalian begitu sempurna sampai menilai orang lain begitu buruk? Setiap manusia itu punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri jadi jangan asal menghakimi!" "Harshil, kau!!" pekik Putri kesal.Tak memedulikan teriakan mereka, Harshil membawa istrinya masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu agar tak ada siapapun yang masuk. Inara duduk di bibir ranjang, sedangkan Harshil berjongkok di hadapannya. Menciumi tangan Inara dengan lembut."Apa ada yang ingin kau katakan padaku? Aku sudah mencurahkan semua isi hatiku di kantor, apa kau kurang puas?" tanya Harshil dengan nada lembut.Inara hanya tersenyum menatapnya dengan lekat."Terima kasih ya, Mas. Kau membuatku merasa sangat berarti.""Ya, kau memang sangat berarti untuk hidupku, Inara.""Ya sudah, Mas. Sekarang mandi, nanti kita sholat berjamaah ya."Harshil tersenyum, kemudian bangkit berdiri. "Oke Sayang, kamu sudah sembuh? Obatnya rutin diminum ka
"Hei, tunggu! Kembalikan Savrina padaku!" teriak Inara.Wanita itu mencoba bangkit berdiri. Dari kejauhan Teddy langsung berlari ke arahnya."Astaga, Nona tidak apa-apa?" tanya Teddy cemas."Dia bawa lari Savrina, tolong bawa Savrina kembali," tunjuk Inara ke arah lelaki berjaket hitam dan memakai masker itu. Larinya benar-benar secepat kilat. Baru beberapa jeda saja dia sudah menghilang dari pandangannya.Gegas, Teddy langsung berlari mengejar lelaki itu. "Inara, kamu kenapa?" tanya Lila sesaat setelah kembali. "Lila, Savrina diculik," sahut Inara dengan nada sangat sedih."Apa? Diculik?"Inara mengangguk lemah. Hatinya dilanda rasa cemas yang begitu dalam. Ia takut terjadi sesuatu dengan Savrina, bayi mungilnya. Matanya terasa begitu panas, lelehan kristal bening itu tak mampu lagi ia tahan.Sementara Lila pun terdiam seperti patung. Tak mampu berbicara. Bi Mirna, babysitter Savrina berlari tergopoh-gopoh seraya membawa botol susu. Wanita itu memandang bingung majikannya."Nona,
"Tidak, kau tetap di sini. Bisa bahaya kalau kau ikut.""Tapi ...""Inara, aku tahu kamu mengkhawatirkan Savrina. Kamu yang sabar ya, aku sedang mengusahakan agar Savrina kembali dalam keadaan baik-baik saja," ucapnya lagi menenangkan sang istri.Inara mengangguk lemah. Beranjak berdiri dari pangkuan sang suami. Tapi, Harshil kembali menariknya dalam pangkuan."Ada apa lagi, Mas?""Berikan aku ciumanmu biar aku lebih semangat lagi."Mata Inara membulat. "Dasar mesum!" Harshil hanya tertawa kecil. Sebenarnya ia hanya iseng saja, biar tidak terlalu tegang memikirkan masalah yang dia hadapi. Inara melakukan permintaan sang suami. Mencium kedua pipinya dan keningnya bergantian."Udah.""Yang ini belum," pungkas Harshil seraya menunjuk bibirnya. Walau agak kesal karena merasa dikerjai, Inara tetap melakukannya, mengecup bibir Harshil sekilas. Namun Harshil justru memagut bibir Inara dalam ciuman yang mesra.Dering ponsel mengagetkan mereka. Sejenak, pandangan mereka saling bertaut. Semb
"Cepat kabur! Mereka pakai obat bius. Lapor sama ketua!" Mereka berlarian ke arah yang berlawanan. Suara sirine mobil polisi makin membuat mereka kalang kabut. Petugas polisi datang dan langsung meringkus para preman yang terjatuh."Teddy bagaimana dengan si bos?" tanya Alex dalam panggilan teleponnya."Aman, kami sudah sampai jalan utama.""Oke."Alex mematikan ponselnya, kemudian menghampiri Vano yang tengah ditanyai oleh polisi. Setelah membuat keterangan, keduanya bergegas pulang. Mereka akan dimintai keterangan lagi saat proses penyidikan. Petugas polisi memeriksa ke dalam puing bangunan itu, tapi tak ditemukan siapapun. Akhirnya mereka langsung pergi membawa para preman yang tergeletak ke dalam mobil tahanan.Sementara para preman yang lain bersembunyi di balik semak-semak saat sudah jauh dari lokasi. Mereka semua akhirnya pulang ke markas, tempat bosnya berada.Leo masih memata-matai dari atas pohon yang rimbun. Sebuah gudang kosong yang sudah tak terpakai.Dia mengirimkan pes
Lila masih menangis di kamarnya, ia mengurung diri dalam kamar. Entah kenapa hatinya sungguh merasa kehilangan bayi itu. Bahkan keluarga yang lain tampak keheranan dengan tingkah Lila yang begitu aneh."Heran deh, di sini ada dua orang wanita yang tampak shock kehilangan Savrina!" celetuk Putri seraya menatap Lila tajam. Kedua mata Lila tampak begitu sembab karena terlalu banyak menangis."Kamu dan juga Inara. Inara wajarlah ya merasa kehilangan Savrina, dia kan ibu angkatnya. Tapi kamu? Kamu sebenarnya kenapa Lila? Diputusin pacar gak gitu juga kali!" imbuhnya lagi."Aku cuma sedih aja kok! Savrina kan bayi yang lucu!" timpal Lila berkilah."Sudah, sudah, jangan berdebat! Ayo dimakan. Mumpung kita lagi kumpul bersama," lerai Sandra menengahi perdebatan putri-putrinya."Namanya juga ada yang meninggal, pasti kita semua merasa kehilangan kan?" Tak lama, Henry dan Rosa ikut datang ke meja makan."Oh ada si udik! Ma, kita makan di kamar saja, bilangin sama Bibi untuk bawa makanan ke kam