Elvano membuka mata perlahan dan beringsut duduk. Namun, nyeri di bagian belakang kepala membuatnya mengerang kesakitan. Dia mengusap bagian yang sakit sambil menunduk dan memejamkan mata.“Apes, Van. Mereka kabur dan aku enggak berhasil mengejarnya.”Elvano mendongak dan menyipitkan mata merasakan nyeri yang masih terasa. Pria itu berdecih lirih saat melihat Zayn datang dan langsung berjongkok di hadapannya.“Kamu enggak apa-apa, kan? Perlu aku antar ke dokter?”Elvano menggeleng dan mencoba bangkit sebelum mengempaskan tubuhnya ke kursi bulat yang ada di ruangan itu. Pria dengan manik mata biru itu masih mencoba menetralisir sakit yang terasa mencengkeram erat.“Tunggu sebentar.”Elvano melirik Zayn yang beranjak ke lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol minuman kaleng sebelum menempelkan pada tengkuknya.“Aaargh, sakit, Zayn!”Zayn tergelak sebelum ikut mengempaskan tubuh di kursi samping Elvano. Pria dengan potongan rambut cepak itu mengedarkan pandangan dan tertuju kep
Aneska mengelap mulut setelah memuntahkan sarapan yang menyentuh lambungnya tadi pagi. Dia bersandar kepada dinding kamar mandi dengan wajah memucat sebelum mengusap perut yang terasa mual. Sedetik kemudian, dia kembali memuntahkan isi perutnya.“Nes, kamu kenapa? Kamu enggak apa-apa, kan?” tanya Maisa dengan nada khawatir sambil mengetuk pintu kamar mandi.Aneska kembali mengelap mulut sebelum membuka pintu dan mengulas senyum. “Aku enggak apa-apa, kok, Mbak. Aku cuma mual karena nyium bau roti yang baru matang.”“Beneran enggak apa-apa, Nes. Muka kamu pucat banget, lho. Kalau sakit, mendingan pulang saja sekarang.”“Aku enggak apa-apa, kok, Mbak.”“Oke, tapi kalau kamu merasa enggak enak badan, kasih tahu, ya?”Aneska mengangguk dan kembali mengulas senyum, kemudian keluar kamar mandi dan membawa nampan berisi roti baru matang ke depan dan menatanya di etalase. Sekuat tenaga dia menahan mual yang terasa mengaduk-aduk perutnya. Berulang kali dia menutup mulut hingga keringat di
Elvano menatap nanar sertifikat rumah atas nama Andi dan segepok uang yang ada di mejanya. Dia meraup wajah dan berulang kali menghela napas panjang. Hatinya berdenyut nyeri berkali-kali lipat melihat besarnya pengorbanan yang telah dilakukan oleh Aneska. Pria itu memejamkan mata sejenak sambil memijat pangkal hidungnya sebelum bangkit dari duduk dan berjalan ke sisi jendela kaca.“Kamu di mana sebenarnya, Nes? Jangan buat aku makin merasa bersalah karena sikapmu ini.”Elvano bergeming di depan jendela kaca sambil meliarkan pandangan untuk menatap hamparan gedung pencakar langit. Mendengar suara ponsel berdering, dia menoleh dan berjalan mendekati meja untuk melihat siapa yang sudah meneleponnya. Melihat nama Zayn yang terpampang di layar, pria dengan manik mata biru itu bergegas menjawab panggilan.“Zayn, apa ada kabar tentang A ... siapa ini? Kenapa HP Zayn ada pada kamu?” tanya Elvano dengan dahi berkerut dalam.“Apa Anda teman pasien? Maaf saat ini pasien sedang dalam kondisi
Suara tangis bayi langsung menggema memenuhi ruang tamu di kediaman Maisa. Sehari setelah melahirkan, Aneska memang diminta untuk sementara tinggal di rumah wanita itu. Gadis itu awalnya menolak, tetapi tak kuasa saat melihat wajah memelas Maisa.Maisa memang mendambakan hadirnya seorang anak di tengah rumah tangga bersama sang suami yang sudah terjalin selama bertahun-tahun lamanya, tetapi sampai sekarang keinginan itu belum terwujud. Sehingga saat Aneska melahirkan, batin Maisa meronta ingin ikut merawat bayi yang masih merah itu.“Jadi mau kamu kasih nama siapa, Nes?” tanya Maisa sambil menatap bayi lelaki yang terpejam dalam gendongannya.“Kemarin sempat cari nama dan ketemu, Mbak. Ehm, namanya Alsaki Shankara S ....”Maisa mengernyit heran mendengar ucapan Aneska yang menggantung. “Kenapa, Nes?”“Ah, enggak, Mbak. Namanya Alsaki Shankara.”“Bagus, Nes. Mbak boleh panggil dia Shanka?”Aneska mengangguk sambil tersenyum tipis mengiakan permintaan Maisa. Lelah yang mendera, p
Mala bergegas mengambil kantong plastik berisi beberapa perlengkapan bayi sebelum berlalu meninggalkan Elvano yang masih mematung di tempat.“Mala, tunggu!” seru Elvano setelah tersadar dari lamunan. Dia segera mendekati Mala dan berdiri di hadapannya. “Kalau boleh aku tahu kamu mau ke mana?”Mala mengernyit mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut pria di depannya. Dia menelisik Elvano dari atas hingga bawah sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaannya.“Aku mau pulang kampung, Mas. Mumpung libur semesteran juga. Ada apa, ya?”“Apa selama ini Anes masih menghubungimu, La?” Ada keraguan yang terpancar dari nada suara Elvano. Dia paham kalau seandainya Mala tahu keberadaan Aneska pun, tak mungkin memberi tahunya. Namun, tak bolehkah dia sedikit berharap kali ini. Sayangnya, Elvano harus menelan kecewa karena Mala menggeleng lemah.“Anes sudah tidak pernah menghubungiku, Mas. Nomornya juga sudah tidak aktif lagi. Maaf.”Elvano menghela napas panjang sebelum menyugar ram
Aneska bergeming mendengar penuturan Mala tentang pertemuan singkatnya di stasiun dengan Elvano. dari keterangan yang didapat, wanita itu tahu bagaimana kondisi suaminya. Dalam hatinya bertanya-tanya apa yang telah terjadi kepada pria itu.“Apa Mazaya mengabaikan Mas Elvan? Tapi enggak mungkin. Bukankah mereka saling mencintai? Harusnya mereka lebih bahagia karena aku telah pergi dari kehidupan Mas Elvan. Tapi apa yang sudah terjadi pada mereka? Ah, kenapa aku harus memikirkan mereka? Toh, mereka bukan urusanku lagi.”“Nes ....”Aneska tergagap saat mendengar suara Mala yang disertai tepukan di lengannya. Dia tersenyum tipis sebelum membuang pandangan. Meskipun mencoba abai, nyatanya cerita Mala tentang Elvano mengganggu pikirannya. Jika boleh jujur, cinta itu masih tertinggal di salah satu sudut hatinya.Lima bulan bukan waktu yang singkat untuk mengenal dan mendalami cinta. Awalnya Aneska berusaha untuk melayani Elvano sepenuh hati tanpa melibatkan perasaan karena sadar posisiny
“Tenang, Nes. Shanka cuma haus, mungkin kamu lama makanya dia nangis kejer.”Aneska menghela napas panjang karena lega semua pikiran buruknya tidak terbukti. Dia segera menerima Shanka dari tangan Maisa dan mendekapnya erat. Dia bahkan menyematkan kecupan di pipi bayi itu.Untuk sesaat, tangis bayi itu mereda. Aneska segera membuka kancing baju dan memberikan ASI kepada Shanka yang disambut dengan suka cita. Tampak bayi itu mengisap rakus sumber kehidupannya. Sisa isak tangisnya masih sesekali terdengar, membuat Aneska diperam lara. Dia langsung meraih tangan mungil sang anak dan menciumnya.“Maafin Bunda, Nak. Bunda niatnya cuma sebentar, ternyata mendadak mulas tadi perutnya.”“Lain kali bilang sama Mbak kalau Shanka mau kamu tinggal, Nes. Takutnya kayak gini lagi.”“Aku enggak enak, Mbak. Takut ganggu waktu istirahat Mbak.”Maisa menggeleng lemah sambil mengusap lengan Aneska. Lalu, tangannya beralih mengusap lembut kepala Shanka.“Mbak enggak akan merasa terganggu selama it
Aneska segera berbalik dan berjalan dengan tergesa-gesa sambil menunduk, hingga tanpa sadar menabrak seseorang.“Eh, maaf. Saya enggak sengaja.”Aneska masih menunduk sambil mengusap lengannya karena gugup, kemudian segera melewati orang itu dengan setengah berlari. Namun, langkahnya terhenti saat ada orang yang mencekal lengannya.“Anes?”Aneska tersentak mendengar namanya dipanggil. Dia ragu mendongak, kemudian sepasang mata dengan manik mata berwarna cokelat sedang menyorotnya tajam. Namun, belum sempat membuka suara, orang itu segera menarik Aneska menjauhi kerumunan. “Lepaskan saya! Anda sepertinya salah orang! Tolong lepaskan saya!”Orang itu tak menggubris dan terus menyeret Aneska yang meronta dalam cekalannya. Lalu, di sinilah dia berada, di samping sebuah mobil berwarna putih bersama seorang pria yang terus menatapnya lekat sambil bersedekap.“Ke mana saja kamu, Nes?”“Maaf Anda sepertinya salah orang, Pak.”“Mana mungkin aku salah mengenali kamu, Nes.”Aneska seg