"Apaan si, Mbak!" Dian melempar bantal padaku yang tengah rebahan. Kutangkis dengan satu tangan takut kena pada Faza dan akhirnya bangun. Dian membanting badanya sendiri pada tempat tidur, aku kaget dan kesal karena tingkah Dian membuat Faza kembali terbangun karena getaran di atas kasur. "Ih! Apa-apaan si kamu, Yan," dengusku kesal. Dia tak mendengarkan kata-kataku justru asik menatap keatas langit-langit. "Masa sih, aku jatuh cinta sama si Santo itu?" gerutunya. Aku malah mengkerutkan kening. Ternyata ucapanku di anggap serius. "Dia memang perjaka, belum menikah di umurnya yang sudah tiga puluh tahun." Lagi Dian mengedumel sendiri. Aku justru kaget mendengar semua penuturannya. "Dia tinggal bersama ibunya dengan sebuah rumah yang ia bangun sendiri dari hasil kerja bersama Om Beni." Wah! Sedetail itu Dian sudah tahu tentang Santo. Aku sendiri tak tahu menahu tentang Santo sejauh itu. "Kamu tahu Santo sudah sejauh itu?" aku mengeser tubuhku menatap Dian yang berada di samping
PoV MertuaNamaku Anti, ibu dari tiga orang anak. Suamiku meninggal dua tahun yang lalu. Untuk menyambung hidup aku putuskan untuk berjualan aneka makanan dan jajanan yang kujajakan keliling. Beruntung Anak pertamaku laki-laki dan sudah bekerja sebagai Satpam di sebuah sekolah Menengah Atas yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Aku ingin dia tak segera menikah, karena masih ada dua adiknya Shinta dan Dea yang masing-masing baru menginjak SMA dan SMP. Namun namanya lajang tak aku tentang ketika dia berpacaran dengan anak seumuran adiknya, teman satu kelas Shinta. Namanya Dian. "Bu, Mas Akbar sudah jadian sama temanku loh," Shinta mengadu padaku. "Iya? Anak mana?" tanyaku penasaran. "Itu loh, Bu, yang pernah aku ajak main kesini." Aku berusaha mengingat ingat teman Shinta yang pernah kesini. Memang beberapa kali Shinta pulang membawa temannya. "Yang namanya Dian, Bu!""Oh, yang sering main kesini itu, teman karibmu itu, Kok bisa?" "Ya ngga tahu, jadiannya aja pas aku ngga
"Iya, Bu. Alhamdulillah kabar kami baik-baik saja, ada apa ya, Bu?" tanyaku penasaran kenapa tiba-tiba Ibu Mertua menelfon."Ngga boleh ya, tanya kabar menantu sama cucuku." Ibu mertua berkata seolah begitu perhatian padaku. "Ee... Boleh saja si, Bu. Cuma tak kira tadi mau minta persyaratan untuk mengajukan gugatan cerai." Kulirik Santo. Kulihat dia sedikit terkejut. "Mas Akbar sudah WA dari kemarin tapi memang belum sempat kubalas. Kesibukanku menyita banyak waktu, Bu. Bilangkan pada Mas Akbar ya untuk bersabar." "Eh, Anu... Ndah! Apa sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang perceraian ini. Kasian Faza loh kalau sekecil itu sudah jadi korban orang tuanya bercerai." Kata-kata Ibu mertua membuat aku kaget. Bukankah perceraian ini dia sendiri yang menginginkan. Bahkan sebelum-sebelumnya juga tak semanis ini. "Maaf, Bu. Kemarin Akbar bilang perceraian ini permintaan ibu. Jadi kenapa sekarang... ""Sudah, sudah ya, Ndah. Nanti aku bicarakan dengan Akbar. Biar batalkan saja gugatan cerainy
Aku terperanjat kaget, masih tak percaya apa yang baru kudengar. Bagaimana ini? Aku sama sekali tak ada pikiran jauh kesitu. Memang niatku untuk bercerai dengan Mas Akbar sudah mantap, tapi bukan berarti langsung mencari pengganti. Aku ingin membesarkan Faza terlebih dahulu. Entah nanti dapat jodoh lagi atau memilih untuk hidup sengan Faza saja semua aku pasrahkan pada yang maha kuasa. Pak Beni menatapku, seolah menunggu jawaban atas diriku. Tak terkecuali Ibu Santo yang juga seolah menanti aku untuk menjawab. Aku menggeleng cepat, rasanya ini terlalu mendadak. Jika tahu seperti ini saja mending tadi di rumah saja bersama Faza. "A-aku tidak pantas dengan Santo, dia terlalu baik. Sebaiknya carilah wanita yang sepadan dengan Santo. Permisi!" aku pamit keluar rumah. Ada rasa yang tak menentu di dalam hati ini. Pak Beni ikut keluar, mengejarku tanpa menghentikan langkahku. "Kita pulang saja, Nduk?" tanyanya kemudian ketika aku berada di samping mobil. "Iya, Pak," jawabku dingin tan
Aku pulang kerumah dengan badan yang masih tak karuan, bahkan sempat di papah Santo karena jalanku yang sempoyongan. Rasanya kepalaku pusing tujuh keliling. Badan sakit semua dan perut yang melilit. "Kenapa dengan Indah?" tanya Pak Beni ketika melihat aku yang jalan di papah oleh Santo. "Dia sakit, Pak. Tapi tak mau di bawa ke Dokter." Santo menjelaskan. Memang aku tak mau ke Dokter karena aku rasa sakitku ini hanya karena sakit Maag yang kambuh. "Ngga papa, Pak. Cuma biasa sakit lambungku kambuh, nanti juga sembuh kalau sudah minum obat." Kujelaskan pada Pak Beni agar dia juga tak terlalu khawatir. Sepertinya dia akan menyanggah tapi aku buru-buru masuk kekamar. Santo hanya mengantarku sampai pintu kedalamnya Pak Beni lah yang mengantar. Bik Siti datang membawa obat yang tadi kuminta, kuminum dan setelahnya aku segera merebahkan diri. "Besok kalau belum membaik akan Ayah antar kedokter. Sekarang istirahatlah!" ucap Pak Beni yang kujawab hanya dengan anggukan. Kupejamkan mata
"Oh ya, Pak. Perkenalkan, dia Ayahnya Faza," ucapku kemudian yang melihat Pak Beni seolah bingung. "Oh, Ya. Beni, Ayah Indah." Senyum mengembang dari Pak Beni sambil mengulurkan tangan. "Akbar." Mas Akbar pun menjabat tangan Pak Beni. "Bagaimana kabar keluarga di kampung?" Kembali Pak Beni bertanya. "Alhamdulillah baik, Pak." Mas Akbar menjawab dengan segan. Pak Beni tersenyum, "Alhamdulillah.... ""Santo ikut aku!" perintah Pak Beni langsung di anggukan Santo. "Aku tinggal dulu ya, jaga Indah baik-baik!" Pak Beni keluar di ikuti oleh Santo. Kulihat Santo menatap Mas Akbar dengan raut tak suka. Sejurus kemudian hening, aku enggan untuk membuka percakapan terlebih dahulu dengan Mas Akbar. "Kapan kamu pulang?" tanya Mas Akbar memecah kesunyian. "Pulang?" tanyaku heran, "Oh... Nanti mungkin sidang terakhir perceraian kita, aku pulang sekalian mengambil akta cerai. Raut wajah Mas Akbar terlihat kaget, dia seolah baru saja mendengar berita duka yang tiba-tiba. "Cerai, Dek? A-aku
"Mas Akbar bilang ingin mati saja, Mbak. A-aku takut dia nekad bunuh diri!" akhirnya Dian dengan jelas berkata. Aku tak kaget, paling itu cuma gertakan saja, agar aku tak menunutnya bercerai, juga mengetesku masih seberapa pedulinya aku padanya. "Dian, Dian! Dia itu laki-laki. Masa punya pikiran senekad itu. Jadi perempuan saja kalau kaya gitu!" jawabku masih cuek. Dian sudah tenang, tak sepanik tadi. Mungkin pikirnya aku akan ikut panik kalau dengar Mas Akbar akan bunuh diri. Ngapain aku peduli sama dia? Kalau memang laki-laki tak mungkin hanya karena bercerai memilih mengakhiri hidupnya, lagian bukankah dari awal saja dia tak mencintaimu. "Sana rayu kamu, Yan. Siapa tahu mau nurut!" ucapku memerintah pada Dian. Dian terlihat kaget. "Kok aku, Mbak!" "Lah emang siapa lagi? Mbak? Yang ada nanti di kira mau kabur dari rumah sakit." kujewel pipi cubby-nya. "Aduh, sakit tau, Mbak. Tapi bener juga, masa laki-laki secengeng itu. Udahlah, biarkan saja aku juga males." Akhirnya Dian ik
Aku lari tergoboh-goboh, kulihat Mas Akbar tengah berduel dengan Santo."Semua gara-gara kamu!""Kamu yang telah merebut istriku! Dasar pebinor!"Bukk! Santo benar-benar tak melawan sedangkan Pak Beni saja bingung untuk melerai, Dian dan Rian serta Ibu hanya dapat menjerit-jerit. "Hentikan...!" teriakku lantang. Seketika Mas Akbar menoleh. Juga Santo yang langsung berdiri walau terhuyung. "Apa yang kalian lakukan! Apa Mas yang kamu perbuat! Sepengecut inikah kamu hingga berbuat serendah itu? Hanya karena aku bersikukuh tak mau kembali padamu, kamu anggap aku sudah dapat tambatan hati yang lain!" Kali ini mataku memanas, butiran bening dalam telaga mataku luber memenuhi pipiku. "Aku memang hanya manusia biasa, bisa sakit hati ketika di perlakukan tidak adil padaku! Masih teringat jelas bagaimana ibumu memperlakukanku dengan hina, bahkan di depan semua orang! Semua itu kuterima karena kamu masih mau bersamaku tapi.... " Aku menangis tersedu-sedu hingga menghentikan ucapanku. Ibu men