"Mas Akbar bilang ingin mati saja, Mbak. A-aku takut dia nekad bunuh diri!" akhirnya Dian dengan jelas berkata. Aku tak kaget, paling itu cuma gertakan saja, agar aku tak menunutnya bercerai, juga mengetesku masih seberapa pedulinya aku padanya. "Dian, Dian! Dia itu laki-laki. Masa punya pikiran senekad itu. Jadi perempuan saja kalau kaya gitu!" jawabku masih cuek. Dian sudah tenang, tak sepanik tadi. Mungkin pikirnya aku akan ikut panik kalau dengar Mas Akbar akan bunuh diri. Ngapain aku peduli sama dia? Kalau memang laki-laki tak mungkin hanya karena bercerai memilih mengakhiri hidupnya, lagian bukankah dari awal saja dia tak mencintaimu. "Sana rayu kamu, Yan. Siapa tahu mau nurut!" ucapku memerintah pada Dian. Dian terlihat kaget. "Kok aku, Mbak!" "Lah emang siapa lagi? Mbak? Yang ada nanti di kira mau kabur dari rumah sakit." kujewel pipi cubby-nya. "Aduh, sakit tau, Mbak. Tapi bener juga, masa laki-laki secengeng itu. Udahlah, biarkan saja aku juga males." Akhirnya Dian ik
Aku lari tergoboh-goboh, kulihat Mas Akbar tengah berduel dengan Santo."Semua gara-gara kamu!""Kamu yang telah merebut istriku! Dasar pebinor!"Bukk! Santo benar-benar tak melawan sedangkan Pak Beni saja bingung untuk melerai, Dian dan Rian serta Ibu hanya dapat menjerit-jerit. "Hentikan...!" teriakku lantang. Seketika Mas Akbar menoleh. Juga Santo yang langsung berdiri walau terhuyung. "Apa yang kalian lakukan! Apa Mas yang kamu perbuat! Sepengecut inikah kamu hingga berbuat serendah itu? Hanya karena aku bersikukuh tak mau kembali padamu, kamu anggap aku sudah dapat tambatan hati yang lain!" Kali ini mataku memanas, butiran bening dalam telaga mataku luber memenuhi pipiku. "Aku memang hanya manusia biasa, bisa sakit hati ketika di perlakukan tidak adil padaku! Masih teringat jelas bagaimana ibumu memperlakukanku dengan hina, bahkan di depan semua orang! Semua itu kuterima karena kamu masih mau bersamaku tapi.... " Aku menangis tersedu-sedu hingga menghentikan ucapanku. Ibu men
Aku masih duduk menanti kedatangan Bu Anti, Faza sedikit rewel mungkin karena kuajak duduk. Memang sekarang Faza sedang aktif-aktifnya minta di titah. Terpaksa kuturunkan dia dan menitahnya berjalan di sekitar situ. "Eh... Indah, apa kabar?" terlihat raut sumpringah Bu Anti langsung mendekat. "Faza, Cucu ibu, sudah besar sekarang. Sini, Nenek gendong!" Tangan Bu Anti berusaha meraih Faza tapi seketika Faza langsung berontak berbalik. Seolah tak ingin di sentuh oleh Neneknya. "Baik, Bu. Gimana kabar Ibu?" tanyaku basa-basi. Bu Anti tetap memaksa akan mengendong Faza tapi sia-sia justru Faza memilih menangis. Bukankah dulu saja tak pernah mau mengendong cucunya ketika masih serumah? Mungkin itulah yang membuat Faza tak mau digendong sekarang. Tak ada ikatan yang terjalin sejak kecil hingga Faza peka. "Kenapa? Ngga kenal ya sama Nenek?" tanyanya kemudian, "udah enak tinggal di kota jadi ngga inget sama Nenek."Aku tersenyum menanggapi ucapan Bu Anti, "Bukan karena hidup di kota, Bu.
"Tunggu, Ndah! Aku mau bicara!" ucap Mas Akbar tepat di depan mobil. Mungkin dia pikir aku akan menolak dan menyuruh supir untuk melajukan mobilnya. Kuturunkan kata mobil berlahan, Mas Akbar beringsung menuju sebelah mobil di mana aku duduk. "Ada apa lagi, Mas?" tanyaku. "Tolong, Ndah. Pikirkan lagi! Kalau kita bercerai Faza bagaimana. Aku ayahnya, aku berhak menentukan kehidupannnya!" ucapan Mas Akbar membuat aku geram. "Tapi aku juga berhak hidup bahagia, Mas!" cetusku lagi. "Dengan mengorbankan kebahagian Faza!" potong Mas Akbar. Sekilas kutatap bocah yang tengah aku pangku. Wajah lugunya terulas senyum kepolosan. Bukan aku egois, tapi mungkin justru ini jalan yang terbaik bagi kita! Aku yakin Faza akan mengerti semua ini suatu saat nanti. "Aku yakin Faza bisa bahagia walau tanpa ayah! Suatu saat dia akan mengerti apa langkah yang kuambil hari ini adalah keputusan terbaik. Selamat tinggal." Aku segera menutup kaca mobil. Setelah setengah aku hentikan kembali."Kamu masih bis
"Aduh! Bagaimana ini?" dengusku kesal. Bagaimana aku bisa keluar dengan kondisi gamis yang sobek sampai atas. Aku masih terus mencari, berharap menemukan seseorang yang kukena dan kumintai pertolongan. Laki-laki itu juga masih terlihat geligapan, mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk menutupi robekan gamisku ini. "Sebaiknya saya belikan dulu kamu baju di sebrang sana," ucapnya."Tak usah, biar aku pulang saja." Kurogoh tas kecilku, mengambil HP yang tersimpan dan langsung menghubungi Ayah Beni. Tersambung, tapi sialnya tak jua di angkat. Mungkin dering di HPnya tek terdengar oleh riuh suasana pesta ini, atau justru sengaja di silent. Aku terus mencoba tapi tetap saja tak diangkat. "Apa sebaiknya saya antar, Mbak?" Dia menawarkan diri. Sebenarnya aku ragu, tapi aku tak mungkin menunggu sampai acara usai dengan kondisi seperti ini. "Di mana rumahmu?" tanyanya kemudian yang melihatku masih bergeming. Kusebut saja alamat rumahku, dia mengangguk mengerti. "Ayukk... Ak
"Tapi, Pak... " Aku berusaha menolak."Udah, Ngga papa. Pak Beni itu orangnya baik. Pasti dengan senang hati mengijinkan. Apalagi, saya ajak kamu sebagai ucapan terima kasih karena saya sangat kagum akan presentase kamu yang sangat mudah di mengerti." ucap Riki. Sekilas aku dan Ayah Beni saling tatap. Dia tersenyum dan mengangguk padaku. Ah! Sebenarnya aku ingin menolak, tak enak hati pada Ayah. Dia pasti curiga kalau aku sudah memiliki hubungan khusus makanya aku menyuruhnya untuk berbohong tentang siapa aku. "Silahkan duduk!" Riki menarik satu kursi untuk kududuki. Dia seolah memperlakukanku layaknya kekasihnya. Aku sangat segan. Kami memesan beberapa makanan, entah kebetulan atau memang selera kita sama. Kita memesan makanan dan minuman yang sama, sampai akhirnya kita tersenyum bersama karena menyebutkan bebarengan. "Kamu sangat profesional dalam bidang itu, berapa lama kamu bekerja?" tanya Riki."Baru sekitar empat bulan," jawabku jujur. "Empat bulan? Pasti pengalaman kamu ba
"Kamu nggak papa?" "Maaf!" ucapku pada laki-laki yang menabrak. "Indah!""Pak Riki!"Kami sama-sama menyebutkan nama ketika melihat wajah masing-masing. "Kamu ngapain di sini?" tanya Pak Riki yang kaget melihatku. "Ini nganter a--. Eh... Maksudnya nganter anak Pak Beni." entah ide dari mana, tiba-tiba muncul saja kalau aku akan suruh Dian pura-pura jadi anak Pak Beni. "Oh, mana orangnya?" terlihat Pak Riki mencari-cari sosok anak Pak Beni. Sepenasaran itu kah? "Pak Riki sendiri ngapain di sini?" tanyaku kemudian. "Oh, antar ponakan juga." Dia memanggil seseorang yang tak jauh darinya. Akupun melambai pada Dian agar segera kemari. "Perkenalkan Pak! Ini Dian anak Pak Beni.""Dian kenalkan ini Pak Riki, seorang direktur kepercayaan Ayahmu." Aku mengedipkan mata pada Dian, memberi kode agar dia mau menurut saja apa yang aku katakan. "Riki," Pak Riki menjabat tangan Dian, "Oh, ya. Perkenalkan ini sepupuku. Namanya Bagus."Pak Riki memperkenalkan sepupunya yang sudah berada di samp
"Aku! Kamu tanya aku siapa!" dengan wajah garang dan mata melotot wanita itu menatapku, "Aku itu pacarnya Riki, Riki Ginanjar! Direktur di perusahaan D."Aku menggeleng sambil tersenyum. "Sopan sedikit Tanti!" kali ini Riki bersuara. "Aku harus sopan! Sopan pada pelakor macam dia?!" ucapnya lagi menohok hati. Sambil menuding wajahku. Faza seketika menangis ketakutan. Kuraihnya dalam gendongan. "Mas! Kamu lebih memilih wanita yang sudah beranak macam dia dari pada aku yang masih perawan!" ucapnya lagi. "Maaf, Mbak. Aku hanya rekan kerjanya!" ucapku sedikit kesal. "Lebih baik dia! Walaupun sudah punya anak tapi hasil pernikahan dari pada kamu yang masih perawan tapi tidur dengan laki-laki!" Pak Riki kembali berargumen. Seketika Tanti memerah wajahnya. "Mas! Kan sudah aku jelaskan kalau aku di jebak! Aku dikasih obat hingga melakukannya tanpa sadar!" belanya dengan linangan air mata yang hampir jatuh di wajah mulusnya. "Bulsit semua itu! Di jebak kok sampai berkali-kali!" Pak Riki