Ann menunggu dengan tidak sabar reaksi Emma. Meski tampak fokus makan, diam-diam ia melirik ke arah Emma. Namun apa yang dia harapkan ternyata tidak seperti yang dia harapkan. Bukannya diracuni, Emma malah tampak bahagia.“Jusnya enak,” kata gadis itu, “jujur aja, aku belum pernah myoba jus melon sebelumnya. Favoritku jus apel dan stroberi."Ann tersenyum, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh reaksi Emma yang tidak terduga. “Syukur deh kalo kamu suka,” katanya.***Emma masih baik-baik saja sampai kuliahnya berakhir dan dia pulang. Gadis itu hanya merasakan sesuatu yang aneh di malam hari. Kulitnya serak dan perutnya sakit. Dia pergi ke kamar mandi beberapa kali untuk buang air besar.Emma tidak mengatakan apa pun pada Lily. Ia tidak ingin ibunya khawatir, namun di luar dugaan, wanita itu datang ke kamarnya sekitar pukul delapan malam."Emma, kamu sudah lama tidak keluar kamar," kata Lily sambil menghentikan langkahnya di depan pintu. Ia sedikit terkejut saat melihat Emma terbari
Wajah Emma berubah buruk rupa. Mata, hidung dan mulutnya berkerut-kerut. Di wajahnya terdapat bercak-bercak merah seperti bekas darah kering.Perawat kemudian lari dari kamar. Dia terlihat sangat ketakutan. Sementara itu, sang dokter membelalakkan matanya saat melihat wajah Emma.“Sulit dipercaya,” kata dokter.“Lepaskan tanganku,” kata Emma. Suaranya berat dan mengerikan.Dokter melepaskan tangan Emma. "Apa yang terjadi dengannya?" dokter bertanya pada Robin. “Apa wajahnya sering berubah seperti itu?”“Kami bisa menjelaskannya kepadamu nanti,” kata Robin, “sekarang bisakah kami menenangkannya dulu?”“Oh, tentu,” kata dokter itu. Ia kemudian meninggalkan kamar Emma.Robin lalu menghampiri Emma. “Kendalikan dirimu, Emma,” katanya tanpa benar-benar melihat wajahnya yang mengerikan, “dokternya sudah pergi. Tidak ada yang akan mengganggumu lagi.”Emma kemudian tertawa. Tawanya keras dan melengking. Lambat laun, tubuhnya berhenti bergerak dan memberontak. Lambat laun bentuk wajahnya kembal
Emma menggigit gagak. Dia menjilat darahnya seperti orang menjilat sirup. Dia sepertinya sangat menikmatinya.Melihat keanehan tersebut, Robin lalu menghampiri Emma. “Emma lepaskan burung itu,” kata Robin, “kamu tidak boleh makan ini.”Emma mengerang. Matanya melotot. Dia sepertinya tidak suka diganggu. Dia kemudian terus menggigit burung itu dengan giginya yang tajam seperti taring.Lily mendekat. Dia juga berusaha mencegah Emma. “Emma, tolong hentikan,” katanya, “burung itu kotor. Kalau kamu mau makan unggas, Ibu akan memasakkan ayam untukmu besok.”Emma berhenti menggigit burung itu. Dia menatap Lily dengan tatapan tajam. "Memasak?" dia berkata. Dia kemudian tertawa, “Aku suka memakan langsung,” lanjutnya setelah tawanya mereda, “lebih segar dan lebih lezat.” Emma kemudian tertawa lagi.Robin menggelengkan kepalanya. “Ini tidak bisa ditoleransi,” katanya. Dia kemudian mencoba meraih burung yang ada di tangan Emma. Dia dengan paksa menarik burung itu pergi.Emma melawan. Dia mendo
“Kalian masih di sini?” Nona Linda bertanya.Mendengar hal itu Sabrina dan Anne secara reflek menoleh ke sumber suara. Sementara Desy menghela napas lega. Ia bersyukur pelatih balet itu tidak mendengar pembicaraan mereka."I...iya, Miss," kata Sabrina, "Kamu belum pulang?""Saya meninggalkan sesuatu di dalam," kata Nona Linda, "Saya masuk dulu."Sabrina mengangguk. "Apa kamu lama ngeliat dia berdiri di dekat pintu, Desy?" tanyanya.“Nggak juga,” jawab Desy, “semoga saja dia beneran nggak denger apa yang kita bicarain.”***Emma merasa sangat bosan di kelas. Dia kemudian memutuskan untuk keluar kamar dan mencari Tony. Setelah berjalan melewati beberapa ruang kelas, dia melihat teman dekatnya. Tony berada di lapangan bersama beberapa siswa. Anak itu sedang bermain bola.Tiba-tiba Emma ingin ikut bergabung. Ia berjalan menuju lapangan.“Kalo aku ingin gabung, ada yang keberatan nggak?” kata Emma setengah berteriak.Semua orang di lapangan berhenti bergerak dan menoleh ke arah Emma. Tak
Mata Sabrina berbinar. "Ide apa?" dia bertanya.“Kita manfaatkan kelemahannya,” kata Clara, “semakin kita memancing dia untuk marah, maka dia akan semakin sering menimbulkan masalah. Kemungkinan dia dikeluarkan dari kampus juga akan semakin besar.”Sabrina mengangguk. “Itu benar,” katanya.***Sepanjang hari, cuaca di kampus sangat panas. Bahkan pada sore hari udara masih terasa panas. Di dekat pintu masuk parkir, Emma tidak sabar menunggu Tony pulang bersamanya. Gadis itu melihat sekeliling mencari Tony.Beberapa menit kemudian, Tony tiba. “Maaf, bikin kamu nunggu,” kata Tony.“Nggak apa-apa,” kata Emma.“Jake nelfon tadi. Dia mengajak aku nongkrong di rumahnya malam ini tapi aku nolak karena ada banyak tugas yang harus aku selesaikan," ucap Tony sambil berjalan menuju mobilnya.Emma tersenyum tipis. "Apa yang biasanya kamu lakukan waktu kumpul kayak gitu?" dia bertanya."Kadang main game online, kadang nonton film, kadang nunggu Ethan dan Jake main basket, dan masih banyak lagi," ja
Perlahan Emma mendekatkan ujung pisau ke pergelangan tangannya.“Bagus, Sayang,” suara seorang wanita berbisik, “lakukanlah terus.”Emma tersenyum. Dia menekankan ujung pisaunya ke kulit tangannya.“Emma, kenapa lama sekali,” kata Tony, “buah apa yang kamu ambil? Sini, aku mau makan buahnya juga.”“Emma?” kata Tony lagi. Dia kemudian beralih ke lemari es. Dia mengerutkan kening ketika dia melihat Emma duduk membelakanginya. Dia kemudian berjalan ke arah Emma.“Emma, kamu ngapain?” Kata Tony, dia kaget saat melihat kulit Emma tergores dan berdarah. Dengan cepat, Tony lalu mengambil pisaunya dan melemparkannya ke sembarang arah.“Jangan menghalangi jalanku,” kata Emma. Dia tidak terlihat terganggu sama sekali. “Saya suka melakukannya.”“Aku benci kamu,” kata Tony, “makhluk astral sialan. Keluar kamu dari tubuh Emma."Tony kemudian berlari mencari kotak obat. Dia kemudian kembali ke dapur. Ketika dia kembali, Emma mencoba mencari pisau itu lagi.“Di mana kamu membuangnya?” tanya Ema.
Emma memandangi gambar yang dikirimkan Zia dengan mata terbelalak. Dia tidak bisa mempercayai matanya sedikit pun. Dalam foto tersebut, Jake, Ethan dan Tony sedang berjalan bersama. Foto itu diambil dari depan sebuah kafetaria. Dalam hitungan detik, dada Sabrina terasa panas."Hei, kamu kenapa?" Desy bertanya, “Ada apa?Sabrina lalu memberikan ponselnya pada Desy."Apa?!" ucap Desy saat ponsel Sabrina jatuh ke tangannya. Dia tampak terkejut. Anne yang juga melihat ponsel Sabrina pun terlihat sama kagetnya dengan Desy.“Berani sekali dia,” kata Anne.“Kita harus segera bertindak,” kata Desy.Sabrina mengangguk. "Besok di kampus kita harus ngasih dia pelajaran."Sabrina lalu duduk di kursinya dengan ekspresi gelisah. Ia mulai memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan untuk mengerjai Emma. Kali ini dia harus menang. Dia tidak suka kalah.***Sabrina, Desy dan Anne menunggu dengan tidak sabar di salah satu kursi yang ada di taman kampus. Mereka menunggu Zia dan Clara. Kedua kelompok ber
Dalam video tersebut terdapat Sabrina, Desi dan Anne. Meski direkam dari belakang, namun jika dilihat dari latar belakang videonya, mereka terlihat seperti sedang berada di taman kampus.“Kali ini kita pasti berhasil,” kata Sabrina.Desy yang duduk di sebelahnya tertawa. “Bayangkan besok Emma berangkat ke kampus dengan tangan terbakar,” ujarnya."Kenapa Zia membawa lotion?" tanya Anne, “kenapa nggak krim wajah aja?”“Bakal lebih mudah ngolesin lotion di tangan daripada krim wajah di wajah, kan?” kata Sabrina. Desy mengangguk setuju."Mereka bener-bener nggak bisa berhenti gangguin aku," ucap Emma setelah meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. Dia melihat kulit tangan kanannya. Semakin panas dan warna coklat semakin gelap. Kulitnya tampak seperti akan terbakar.Beberapa menit kemudian muncul pesan dari Tony.Anthony:Apa maksud Sabrina? Rencana apa? Apa kamu baik-baik aja?"Emma mengambil foto tangan kanannya dengan tangan kirinya. Dia kemudian mengirimkan foto tangannya yang terba