Share

BAB 4

Indah yang telah selesai mandi dan berpakaian rapi turun dari lantai dua menuju dapur.Ternyata di meja makan telah duduk dengan manisnya sang suami Rudi dan Nia di pangkuannya.

Indah langsung duduk dan mengambil sarapannya. Pandangan Rudi tak berkedip menatapnya. Merasa diperhatikan, gadis itu menatap balik ke abang iparnya itu.

"Apa ada yang salah denganku? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Indah Sambil melihat Rudi suaminya itu.

"Pantas tak ada pria yang mau denganmu, bangun saja kesiangan. Beda banget dengan Mita, yang sesibuk apa pun selalu bangun pagi dan menyiapkan sarapan!" balasan Rudi yang masih memandangai indah dan dengan suara datarnya.

Mata Indah melotot mendengar ucapan sang mantan kakak ipar yang telah menjadi suaminya. Seenaknya menilai dirinya hanya dengan melihat satu hari ini saja setelah mereka tinggal bersama saja.

"Dengarkan Bapak Rudi yang terhormat! Pertama, saya bangun kesiangan karena semalaman aku baru bisa memejamkan mata ketika hampir subuh. Kedua, saya bukannya tak memiliki pasangan atau tidak laku. Saya memiliki seorang kekasih dan kami hampir menikah, tapi demi Nia aku memilih menikah denganmu. Dan ketiga, yang harus kamu tahu dan harus kamu garis bawahi, AKU BUKAN MITA, AKU INDAH, dua orang yang berbeda dan tentu saja kami tak bisa disamakan!, ingat itu bapak Rudi yang terhormat.' ucap Indah dengan penuh penekanan.

Gadis itu berdiri dan meninggalkan meja makan. Seleranya langsung hilang mendengar ucapan pria itu.

"Mau kemana kamu? Duduk kembali ...! Kamu jangan kerja lagi semua kehidupan kamu aku yang biayai" perintah pria itu.

Indah mengehentikan langkahnya dan memanjangkan tubuhnya menghadap Rudi. Dia menatap tajam ke arah pria itu.

Rudi tak mengira jika adik iparnya ini pembangkang dan berani membantah kata-katanya. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Mita, mereka hanya bertemu di hari-hari besar saja. Indah kuliah di luar kota, jadi mereka jarang bertertemu dan jarang berkomunikasih. Jadi, hubungan mereka berdua kurang akur.

"Duduk kembali di tempatmu, Indah!" ucap Rudi lagi dengan suara yang datar tapi menahan emosi. Kalo tidak ada Nia anaknya emosi Rudi udah naik.

“Mimi…,” panggil Nia.

Indah menahan napas dan membuangnya. Semua dilakukan untuk meredakan emosi yang telah berada di ubun - ubun. Dia mendekati Nia karena Nia merentangkan tangan minta di gendong. Dan indah mengending Nia dan mencium ponakanya itu, begitu sebaliknya pokanakanya mencium mama tirinya sekalian bibinya itu.

"Sayang Mimi sudah sarapan? Mana lihat perutnya yang sudah sarapan." tanya Indah dengan lembut. Sangat berbeda saat dia bicara dengan Rudi.

"Mimi marah...? Jangan marah Mimi." tanya Nia sambil menatap wajahnya intens.

Indah tersenyum mendengar pertanyaan Nia. Dia tak menyangka gadis cilik itu bisa membaca sikapnya. Begitu juga dengan Rudi, terlihat terkejut mendengar pertanyaan putrinya.

"Apa menurut Nia Mimi pemarah? mimi tidak marah kok, mimi lagi ngobrol dengan papanya nia." Bukannya menjawab pertanyaan Nia, Indah justru balik bertanya. Gadis cilik itu menjawab dengan gelengan kepala.

"Mimi baik, Nia sayang Mimi, ummmchhh" ucap Nia dengan polos dan mengecup pipi sang Tante.

"Mimi juga sayang banget sama Nia, jadi, nia tidak boleh berpikir yang tidak - tidak, yaa" balas Indah.

Dalam diam Rudi memperhatikan semua interaksi keduanya. Ini salah satu alasan kenapa dia memilih Indah menjadi istrinya saat kedua orang tuanya meminta dia menikah lagi demi sang putrinya. Nia begitu dekat dan menyayangi tantenya itu, begitu juga sebaliknya.

"Sayang, Mimi mau kerja. Nia dengan papi atau bibi dulu. Pulang Mimi kerja, nanti kita main lagi," ucap Indah.

Gadis itu berjalan mendekati Rudi dan menurunkan Nia di atas pangkuan suaminya itu. Dia lalu ingin segera pergi, tapi langkah gadis itu tertahan karena tangannya di pegang Rudi. Ini pertama kali mereka bersentuhan.

Langkah indah terhenti, entah mengapa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia seperti mematung.

"Siapa yang mengizinkan kau kerja? Aku menikah denganmu biar Nia ada teman bermain. Biar dia tak perlu aku titipkan dengan mamaku atau ibumu!" ucap Rudi dengan suara sedikit meninggi.

"Ibu tak ada mengatakan jika aku harus berhenti bekerja!" balas Indah.

"Aku yang berhak atas dirimu. Aku ini suami kamu. Kau harus mengikuti mauku. Aku akan membayar kamu dua kali lipat dari gaji yang biasa kau terima!" ucap Rudi dengan ketus.

Indah membulatkan matanya mendengar ucapan pria itu. Ibunya tak pernah meminta dia untuk berheni bekerja. Jika tahu begini, tak akan gadis itu berhenti bekerja. Karir nya sedang berkembang. Harus kah dia resign?

"Kalau aku tak berhenti, kamu mau apa?" tanya Indah menantang.

"Jangan membangunkan singa yang tertidur, Indah! Kau belum mengenal siapa aku, bukan? Membunuh saja aku tak takut!"

"Aku tak bisa berhenti. Karir ku sedang berkembang. Kamu tak bisa menahanku," ucap Indah.

Gadis itu kembali melangkahkan kakinya. Tak peduli lagi dengan larangan pria itu. Dia juga ingin bertemu Dicky. Dia harus menjelaskan semua sebelum kekasihnya mendengar dari orang lain.

Rudi tak tinggal diam. Dia memberikan Nia pada bibi dan meminta membawanya ke kamar. Setelah itu dengan langkah cepat dia menyusul Indah.

Gadis itu baru sampai di halaman rumah. Tangannya dipegang dengan kuat oleh seseorang membuat dia meringis.

"Lepaskan, Mas. Aku mau kerja!" Berontak indah.

"Sudah aku katakan, kamu tak boleh bekerja!" Balas Rudi.

"Aku tak bisa hanya berdiam diri di rumah," balas Indah lagi. Gadis itu mencoba melepaskan pegangan tangan Rudi. Namun, tak bisa. Cengkeraman tangan Rudi begitu kuat.

Rudi menarik tangan indah dan memaksanya masuk. Dia membawa gadis itu kebelakang rumah. Ke sebuah gudang. Membukanya dan mendorong tubuhnya hingga tersungkur.

"Sebagai hukuman karena kau membantahku, aku akan mengurungmu di sini!" ucap Rudi.

Pria itu menutup pintunya kembali. Dia masih berdiri, menunggu gadis itu berteriak dan memohon. Namun, lima menit menunggu tak ada suara apa pun dari dalam gudang.

"Keras kepala sekali gadis itu. Dia tak memohon apa pun padaku!" gumam Rudi dalam hatinya. Pria itu akhirnya meninggalkan gudang setelah sepuluh menit tak ada suara terdengar.

Di dalam gudang itu, Indah mencoba menahan rintihan. Dia tak akan mau memohon pada pria itu. Setelah mendengar langkah kaki menjauh, barulah tangisannya pecah.

'Ya Tuhan, izinkan aku untuk menangis sebentar, bukan aku tidak ikhlas atas takdirmu. Tetapi biarkan aku lumpuhkan segala kelelahan yang aku rasakan sebentar saja. Terlihat kuat bukan berarti aku tidak pernah meneteskan air mataku. Dalam kondisi ini aku bersyukur atas ujian, karenanya aku menjadi lebih kuat. Semoga aku bisa bersabar ketika diberikan ujian lagi.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status