Share

BAB 7

Indah memasuki kantor tempatnya bekerja dengan langkah yang ragu. Dia takut saat bertemu dengan Dicky, pria itu ternyata tak ingin bertemu dengannya.

Saat sampai di meja resepsionis, Fara teman kantornya menghampiri Indah diikuti yang lain. Mereka menyalami dan mengucapkan selamat pada gadis itu.

"Selamat menempuh hidup baru dan bahagia sama suaminya, Indah. Kamu datang pasti untuk pamit karena telah resign, ya?" tanya Fara.

Ucapan Fara membuat Indah jadi terkejut dan gelisa. Kapan dia mengajukan resign? Tanya gadis itu dalam hatinya.

"Resign...? Siapa yang bilang kalo aku resign!" Jawab Indah balik bertanya karena merasa keheranan.

"Bukankah kemarin suami kamu datang mengantar surat pengunduran diri kamu. Dia mengatakan kamu tak sempat mengantarnya sehingga dia yang mewakili," ucap Arfa kepala HRD di kantor.

Indah menarik napas dalam untuk meredakan emosinya. Pasti ini semua kerjaan Rudi. Dia memalsukan tanda tanganku. Ucap gadis itu dalam hatinya.

Dia tak menyangka jika Rudi akan melakukan sejauh ini. Padahal dia masih ingin bekerja. Jika di rumah saja, bisa-bisa dia akan depresi. Pikir Indah yang sambil menahan emosinya.

Namun, sebenci apa pun Indah dengan pria itu, dia masih menghormatinya sebagai seorang suami. Dia tak ingin menjelekan nama baiknya suaminya itu.

"Aku datang memang untuk pamit. Maaf kemarin tak mengundang kalian, aku tak mengadakan pesta. Hanya syukuran biasa," jawab Indah akhirnya.

Salah seorang rekan kerja yang juga mencintai Dicky tampak tersenyum miring mendengar ucapan gadis itu. Dia maju selangkah mendekati Indah.

"Ternyata pacaran lama tak membuat cinta itu tumbuh dengan tulus. Yang tulus akan kalah dengan yang berduit. Yang berjuang akan kalah dengan yang beruang. Kasihan Dicky ternyata menjaga jodoh orang selama ini," ucap Suci.

Semua rekan kerja mereka pasti mengenal Rudi, karena perusahaannya sering bekerja sama dengan perusahaan tempat Indah bekerja. Mereka sering bertanya kenapa gadis itu tidak kerja di perusahaan abang iparnya saja.

Mita dulu pernah menawari agar Indah melamar di perusahaan Rudi saja. Kakaknya yakin sang suami akan menerima gadis itu karena kepintarannya. Namun, dia menolak karena tak ingin nanti ada suara sumbang yang mengatakan jika dia sukses atas bantuan Mita dan Rudi. Dia ingin berdiri dengan kaki sendiri tanpa bantuan siapa pun.

"Jangan asal bicara Suci. Nanti jatuhnya fitnah. Kamu tak tahu cerita sebenarnya. Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan. Maaf, semua di sini juga tahu jika kamu menaruh hati dengan Dicky. Aku tahu kamu mencoba menyiram bensin ke api yang terbakar, nanti apinya bisa membakar dirimu sendiri," balas Indah yang tak mau kalah.

Suci jadi terdiam mendengar jawaban dari gadis itu. Wajahnya memerah menahan malu. Namun Indah tak takut. Gadis itu lalu menyalami temannya satu persatu.

Indah pamit juga dengan atasannya. Mereka sebenarnya menyayangkan berhentinya gadis itu. Saat ini karirnya sedang berkembang. Dia baru saja menduduki jabatan manager.

Setelah dari rumah pimpinan, dia menuju ruang dimana Dicky berada. Dia tak melihat kehadiran pria itu. Baru saja Indah akan bertanya, dia dikejutkan dengan genggaman tangan seseorang.

Indah membalikan tubuhnya. Nampak berdiri seorang pria yang sangat dia cintai. Ingin rasanya gadis itu berlari ke dalam pelukan kekasihnya itu untuk mencurahkan semua isi hatinya saat ini yang sedang hancur. Air mata tak bisa dia tahan, air matanya mengalir seperti sungai. Tanpa sadar jatuh membasahi pipinya.

"Kamu mencariku?" tanya Dicky dengan suara tertahan. Indah hanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Kita bicara di kafe depan saja. Hapus air matamu. Nanti kamu jadi bahan omongan. Aku tak mau itu terjadi," ucap Dicky lagi dengan lembut.

Indah mengangguk tanda setuju. Dia menghapus air matanya. Hanya Dicky yang bisa membuat gadis keras kepala itu menurut. Dengan kelembutan pria itu membuatnya jatuh cinta sedalamnya. Tak pernah sekalipun selama lima tahun hubungan mereka, Dicky bicara kasar.

Indah dan Dicky berjalan keluar dari kantor dengan rasa canggung. Mereka sadar saat ini menjadi pusat perhatian.

**

Indah dan Dicky telah duduk di sebuah kafe yang tak jauh dari perusahaan tempat mereka bekerja. Keduanya tampak sangat canggung. Beberapa saat mereka terdiam, larut dengan pikiran masing-masing hingga akhirnya gadis itu yang memulia obrolan.

"Dicky, aku minta maaf karena mengingkari janji kita. Aku tak pernah menginginkan ini semua. Aku terpaksa, Ibu memohon dan berlutut padaku. Aku tak bisa menolaknya," ucap Indah dengan suara terbata menahan sebak di dada.

"Kenapa kamu tak jujur? Kenapa kamu mematikan ponsel? Kamu tahu bagaimana perasaan ini saat mendengar dari temanku jika kamu telah menikah dengan abang iparmu. Jika saja aku tahu ketika pesta itu berlangsung, pasti aku akan datang dan menyaksikan secara langsung kekasihku bersanding dengan pria lain. Aku ingin melihat orang yang aku cintai begitu teganya bersenang di atas kesedihan yang kurasakan inii," balas Dicky.

Air mata Indah tak bisa dia tahan lagi. Dia tak tahu harus bicara apa. Lidahnya terasa kelu dan kaku. Tenggorokannya terasa tercekat seperti orang yang tidak minum air selama setahun.

"Apa kamu begitu mudahnya melupakan janji kita, Indah? Apa kamu telah lupa tentang rencana masa depan yang telah kita rancang?" tanya Dicky lagi.

Indah makin terisak mendengar ucapan kekasihnya itu. Makin besar rasa bersalah pada dirinya. Lihatlah kekasihnya, di saat ini masih berkata dengan baik, tak ada emosi.

"Apa cinta kita tak ada artinya bagimu, apa cinta kita hanya sebagai permainan di mata mu, Indah. Lima tahun tenyata belum cukup bagiku mengenal dirimu, kau begitu mudahnya melupakan semua. Di sini aku merasa cuma aku yang mencintaimu selama ini, sedangkan kamu hanya menganggap ku teman biasa," ucap Dicky.

"Dicky, jangan berkata begitu, aku terpaksa melakukan ini. Kamu pasti tahu bagaimana perasaan ini dan hubungan kita selama lima tahun ini bukan hanya main-main saja. Jika saja aku boleh memilih, aku tak mau berada di posisi saat ini, sekali lagi aku katakan, aku terpaksa," ucap Indah.

Keduanya terdiam. Memikirkan semua tentang perjalanan cinta mereka selama ini. Setelah beberapa saat terdiam akhirnya Dicky yang mulai obrolan lagi.

"Apa yang harus aku lakukan saat ini, Indah? Aku merasa diri ini hancur sehancurnya saat mendengar kamu menikah. Ingin rasanya aku meninggalkan dunia ini, agar aku tak melihat kamu lagi. Kamu tahu aku sangat mencintaimu. Kenyataan ini sangat menyakitkan bagiku, apa lagi kamu tak bisa dihubungi untuk aku minta penjelasan. Aku tak tahu, apakah aku sanggup melihat kekasih ku berjalan dengan pria lain," ucap Dicky.

"Maafkan aku, Dicky. Aku udah bikin kamu kecewa dan hancur. Aku nggak bermaksud buat kamu marah. Membuatmu kecewa sungguh bukan keinginanku, maaf terkadang aku tak seperti yang kamu harapkan. Maafkan aku, karena aku telah membuatmu terluka, dan saat ini aku terus mencoba untuk memperbaiki semua kesalahanku. Kamu boleh menghinaku, mencaciku, karena aku memang pantas mendapatkan semua itu. Aku akan terima, asal kamu mau memaafkan aku," ucap Indah lagi.

"Bagaimana bisa aku mencacimu, membencimu, sedangkan aku sangat mencintaimu. Mendengar orang mengatakan hal buruk tentangmu saja membuat aku marah dan tak terima. Indah, dari kamu aku belajar menyayangi, dari kamu aku belajar tentang mencintai, tapi kamu lupa mengajari aku mengucapkan selamat tinggal sehingga aku sulit untuk melepaskan kamu," ucap Dicky dengan suara sendu sambil menahan kepedihan hati.

Indah tak bisa berkata apa pun. Air matanya terus saja jatuh membasahi pipi. Di meja lain tampak Rudi memperhatikan keduanya. Entah apa yang ada dalam pikiran suami Indah saat melihat istrinya bertemu dan bicara sangat akrab dengan seorang pria.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status