Pagi itu, Disti sudah berdandan rapi. Ia mengenakan kemeja merah muda dengan garis vertikal hitam kecil dan rok span hitamnya. Ia berniat kembali bekerja ke butik Shalimah. Semua kebaikan Yasa dan Shalimah layak dibalas dengan kerja kerasnya. Karena hanya itu satu-satunya cara yang ia bisa lakukan untuk membalas semua yang sudah mereka lakukan untuknya, pikir Disti. "Disti pergi dulu, ya, Bu. Titip Arjuna. Assalamualaikum." Disti mencium punggung tangan ibunya."Hati-hati di jalan, ya, Ti.""Iya, Bu."Disti berjalan menyusuri gang sempit menuju ke jalan besar dengan doa yang terus ia panjatkan dalam hati. Aku berniat beribadah dengan bekerja di butik Mbak Shalimah dan semoga ini adalah jalan terbaik dalam hidupku.Disti sedang berdiri di antara beberapa calon penumpang di halte bus ketika sebuah hypercar buatan Prancis berhenti di depan halte tersebut. Si pemilik mobil sport mewah itu tidak memedulikan bahwa kendaraannya dilarang berhenti di sana. Ia keluar dari mobil dan membuat Di
Tidak ingin mengecewakan Disti, David melajukan mobilnya secepat yang ia bisa menuju butik milik Shalimah yang berada sekitar 10 kilometer dari hotel tersebut. Beruntung, jalan pagi itu cukup bersahabat sehingga mobil yang dikemudikan David tiba tepat waktu di butik Shalimah. David sengaja memasukkan mobilnya ke halaman parkir persis di depan jendela ruang kerja Shalimah. “Ya, ampun! Saya lupa membawa proposal kerja samanya,” kata David sambil menepuk dahinya sendiri dengan tangan. “Saya harus balik lagi,” tambahnya. “Kalau begitu, aku duluan. Terima kasih tumpangan dan cokelat panasnya,” tutur Disti sambil melepas sabuk pengaman. “Sama-sama. By the way, saya senang sarapan ditemani kamu, Dis.” Disti hanya tersenyum menanggapi ucapan David, kemudian keluar dari mobil David tanpa banyak kata-kata. Dari dalam ruang kerja Shalimah, menembus jendela kaca selebar dinding, wanita itu dan Yasa rupanya sedang memperhatikan kedatangan Disti dan David. “Itu sepertinya mobil David,” cetus
Suara ketukan pintu membuat Disti tergesa-gesa mengambil tas berbahan kanvasnya dari dalam kamar. Ia kemudian menuntun tangan Arjuna ke dapur di mana Sari tengah menyiapkan teh hangat untuk dirinya. “Bu, Disti sama Juna pergi ya,” ucap Disti pada Sari. Sari menghampiri Disti dan Arjuna, kemudian membelai puncak kepala Arjuna sambil berkata, “Cucu nenek ganteng banget.” lalu, ia mengalihkan pandangannya pada Disti. “Memang sudah ada yang menjemput?”“Sudah, Bu. Itu sudah ada yang mengetuk pintu. Pasti sopirnya Mbak Shalimah,” jawab Disti dengan percaya diri. Sebelumnya, Shalimah memang mengatakan pada Disti bahwa sopirnya akan menjemput Disti pada hari Minggu pagi. Mereka rencananya akan membuat acara barbeku-an. Disti sendiri tidak paham benar apa yang akan dilakukan Shalimah dan dirinya nanti di sana. Yang Disti tahu, barbeku adalah acara panggang memanggang sejenis ikan, daging, dan lainnya. Disti, Arjuna, dan Sari berjalan ke ruang tamu. Sementara itu, suara ketukan di pintu t
Shalimah mengembus napas dan mencoba bersikap setenang mungkin di hadapan Disti. Wanita berhijab abu-abu itu menutupi rasa gugupnya dengan melontarkan senyum. “Kita langsung ke dapur saja, yuk! Kemarin sore aku sudah membeli daging sapi dan memarinasinya. Tinggal dipanggang saja.”“Iya, Mbak.”Disti dan Arjuna mengikuti langkah Shalimah menuju ke dapur. Namun, di tengah jalan, tepatnya di ruang keluarga, Shalimah menghentikan langkahnya. Ia kemudian meraih tangan mungil Arjuna dan berkata dengan manis kepada anak itu. “Bude sudah beli mainan buat Juna.”Arjuna tersenyum senang mendengar pemberitahuan yang disampaikan Shalimah. Wajahnya bersinar dipenuhi euforia. “Mana mainannya, Bude?”Shalimah menoleh ke arah Disti. “Sebentar ya, Dis. Aku ingin menunjukkan mainan yang kubeli kemarin pada Juna.”“Silakan, Mbak.”Disti hanya mematung memandangi Shalimah yang membawa Arjuna ke ruang keluarga. Ia memperhatikan cara Shalimah memperlakukan anaknya dengan sangat baik. Perasaan bahagia menye
“Sudah matang belum?” Shalimah datang membawa dua piring saji dan semangkuk saus.“Hampir matang, Mbak.” Disti sibuk membolak-balik daging di atas panggangan. Ia bahkan tidak sempat melihat ke arah Shalimah saat menjawab pertanyaan wanita itu.Tidak jauh dari Disti, Shalimah meletakkan piring-piring yang dibawanya di atas meja. Sesekali ia memperhatikan Disti. Rasa iba setiap kali melihat wanita itu tiba-tiba sirna dan berganti asa. Namun, rasa sakit tiba-tiba saja menyelinap ke dalam hati dan menancap di sana. Shalimah menekan d4d4 bagian kirinya dan sedikit menjerit, “Astagfirullah!”Tersentak oleh jeritan kecil Shalimah, secara spontan Disti menoleh ke samping ke arah Shalimah. Wanita itu melihat Shalimah meringis seperti sedang menahan rasa sakit. Disti pun segera meletakkan penjepit daging di sisi panggan
“Kami pamit, Mbak, Mas,” ucap Disti pada Shalimah dan Yasa, “assalamualaikum,” lanjutnya.“Waalaikumsalam.” Shalimah dan Yasa menjawab hampir bersamaan. Namun, hanya suara Shalimah yang terdengar lebih kencang daripada suara Yasa. Yasa masih memberi kesan menjaga jarak, walaupun hanya dalam menjawab salam.Disti berjalan di samping Dheris sambil menuntun Arjuna. Ketiganya mengayuh langkah di atas jalan berbatu buatan yang membelah taman. Berjalan kurang hati-hati dan harus mengawasi langkah Arjuna juga, Disti tersandung dan hampir jatuh. Beruntung, Dheris segera menarik tangan Disti dan tanpa sengaja, secara refleks, merangkul pundak Disti supaya kembali berdiri stabil.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Dheris hati-hati.
David sukses membuat emosi Yasa meledak. Yasa sadar seharusnya ia tidak terpancing oleh ancaman David, tetapi berkaitan dengan Disti yang notabene tidak tahu apa-apa mengenai masa lalunya dengan David, membuat Yasa murka. Yasa mendorong David sekuat tenaga hingga David mundur beberapa langkah dan nyaris sempoyongan, kemudian menarik kerah jas pria itu, dan dengan lantang melontarkan tangkisannya terhadapan ancaman David. “Kamu cemen, Dave! Kamu hanya bisa memanfaatkan orang-orang di sekitarku untuk membalas sakit hatimu padaku. David yang kukenal dulu tidak mempunyai mental kayak gini.”“David yang dulu sudah tidak ada. Sudah mati bersama adiknya yang kamu habisi.” David mengeraskan rahang, menantang Yasa dengan tatapannya. “Bersiap saja untuk yang terburuk,” desisnya.Merasa keadaan sudah mulai tidak kondusif, Yasa memilih mengakhiri debat panasnya dengan David. Ia melepaskan cekalan tangannya dari kerah jas David, lalu berbalik dan pergi meninggalkan mantan sahabatnya itu. Beruntun
Denyut jantung Yasa masih kencang dan sepertinya sulit untuk kembali normal selama isi kepalanya didominasi oleh kuriositas. Namun, Yasa berusaha keras mengembalikan pemikiran rasionalnya secepat yang ia bisa. Ia mengembus napas beberapa kali sambil mengamati keadaan kamar. Dinding bercat putih, fasilitas, dan luas kamar membuat Yasa berpikir bahwa mereka sedang berada di salah satu suite hotel. Untuk menajamkan keyakinannya, Yasa melangkah ke depan nakas di samping tempat tidur. Ia melihat ke perangkat telepon yang berada di atasnya. Di badan telepon tersebut, persisnya di atas tombol-tombol angka, Yasa mendapati tulisan ‘Grand Hotel’. Benar dugaannya kalau ia dan Disti berada di salah satu kamar hotel. Ingatan Yasa mundur ke beberapa jam lalu. Ia dihubungi seseorang usai meeting. Seseorang yang menghubunginya mengatakan bahwa Disti sedang berada dalam bahaya. Wanita itu dibawa paksa seorang pria ke hotel tersebut. Tanpa curiga, tanpa konfirmasi ke Disti sendiri maupun Shalimah, dan