“Kami pamit, Mbak, Mas,” ucap Disti pada Shalimah dan Yasa, “assalamualaikum,” lanjutnya.
“Waalaikumsalam.” Shalimah dan Yasa menjawab hampir bersamaan. Namun, hanya suara Shalimah yang terdengar lebih kencang daripada suara Yasa. Yasa masih memberi kesan menjaga jarak, walaupun hanya dalam menjawab salam.
Disti berjalan di samping Dheris sambil menuntun Arjuna. Ketiganya mengayuh langkah di atas jalan berbatu buatan yang membelah taman. Berjalan kurang hati-hati dan harus mengawasi langkah Arjuna juga, Disti tersandung dan hampir jatuh. Beruntung, Dheris segera menarik tangan Disti dan tanpa sengaja, secara refleks, merangkul pundak Disti supaya kembali berdiri stabil.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Dheris hati-hati.
David sukses membuat emosi Yasa meledak. Yasa sadar seharusnya ia tidak terpancing oleh ancaman David, tetapi berkaitan dengan Disti yang notabene tidak tahu apa-apa mengenai masa lalunya dengan David, membuat Yasa murka. Yasa mendorong David sekuat tenaga hingga David mundur beberapa langkah dan nyaris sempoyongan, kemudian menarik kerah jas pria itu, dan dengan lantang melontarkan tangkisannya terhadapan ancaman David. “Kamu cemen, Dave! Kamu hanya bisa memanfaatkan orang-orang di sekitarku untuk membalas sakit hatimu padaku. David yang kukenal dulu tidak mempunyai mental kayak gini.”“David yang dulu sudah tidak ada. Sudah mati bersama adiknya yang kamu habisi.” David mengeraskan rahang, menantang Yasa dengan tatapannya. “Bersiap saja untuk yang terburuk,” desisnya.Merasa keadaan sudah mulai tidak kondusif, Yasa memilih mengakhiri debat panasnya dengan David. Ia melepaskan cekalan tangannya dari kerah jas David, lalu berbalik dan pergi meninggalkan mantan sahabatnya itu. Beruntun
Denyut jantung Yasa masih kencang dan sepertinya sulit untuk kembali normal selama isi kepalanya didominasi oleh kuriositas. Namun, Yasa berusaha keras mengembalikan pemikiran rasionalnya secepat yang ia bisa. Ia mengembus napas beberapa kali sambil mengamati keadaan kamar. Dinding bercat putih, fasilitas, dan luas kamar membuat Yasa berpikir bahwa mereka sedang berada di salah satu suite hotel. Untuk menajamkan keyakinannya, Yasa melangkah ke depan nakas di samping tempat tidur. Ia melihat ke perangkat telepon yang berada di atasnya. Di badan telepon tersebut, persisnya di atas tombol-tombol angka, Yasa mendapati tulisan ‘Grand Hotel’. Benar dugaannya kalau ia dan Disti berada di salah satu kamar hotel. Ingatan Yasa mundur ke beberapa jam lalu. Ia dihubungi seseorang usai meeting. Seseorang yang menghubunginya mengatakan bahwa Disti sedang berada dalam bahaya. Wanita itu dibawa paksa seorang pria ke hotel tersebut. Tanpa curiga, tanpa konfirmasi ke Disti sendiri maupun Shalimah, dan
Beberapa bulan yang lalu "Bunda!"Senyuman manis seketika menghias wajah lelah Disti saat suara bening itu memanggilnya. Disti segera turun dari sepeda motor, lalu membuka helm dan meletakkannya di atas jok. Secepatnya, Disti berjalan ke arah Arjuna, putra semata wayangnya, yang tengah menanti di teras. Wanita yang masih mengenakan seragam kerja itu kemudian merengkuh Arjuna ke dalam pelukan dan mengecup pipinya dengan lembut. "Bunda kok tumben pulangnya malam banget?" tanya anak laki-laki berusia empat tahun itu."Bunda kan lembur, Juna." Disti kembali memeluk erat Arjuna selama beberapa saat. "Juna kangen sama Bunda, ya?""Iya. Juna kangen sama Bunda," ucap Arjuna manja.Disti membelai lembut punggung Arjuna. Pancaran matanya meredup dan perasaan sedih mulai menyelimuti. Malam ini Disti harus membohongi Arjuna. Kenyataannya, Disti tidak lembur. Ia hanya sedang memperjuangkan haknya sebagai buruh pabrik karena pemecatan sepihak oleh pihak pabrik. Dua tahun bekerja sebagai penjahi
Gelombang masa lalu kembali menghantamnya. Tepatnya dua tahun silam, beberapa hari setelah Varen dimakamkan. Saat itu, orangtua Varen dan Yasa datang ke rumah kontrakannya. Mereka berniat mengambil alih hak asuh Arjuna. Namun, Disti menentang keras. Masih terngiang di telinganya ucapan ibunda Varen yang mengatakan bahwa ia tidak mungkin bisa membesarkan Arjuna dengan cara baik. Sekarang di hadapan Yasa, ia membuktikan ketidakbecusannya. Berada di tempat hiburan dan menghibur para pria yang mencari kesenangan di mana seharusnya ia menemani malam Arjuna. Namun, bantahan tajam segera muncul di kepalanya. Ia tidak salah. Ia sudah berjuang sangat keras untuk merawat dan membesarkan Arjuna. Jika pekerjaannya dianggap salah, lalu apa bedanya dengan Yasa yang datang ke tempat itu? Semua pertanyaan dan jawaban yang ia ciptakan sendiri memenuhi kepalanya. Gelegar suara sound system mengembalikan Disti ke hingar bingar ruangan karaoke. Disti tersenyum kaku. Ia memilih duduk di ujung di samping
Sekali lagi hantaman yang diberikan Yasa hampir meruntuhkan sisi tegar Disti. Disti menunduk menahan sakit yang menyeruak dan bergejolak di hatinya. Apakah benar ia tidak becus merawat dan membesarkan Arjuna selama ini? pikirnya. "Masih banyak tempat karaoke yang bersih dari praktik prostitusi. Seharusnya kamu bisa lebih bijak memilih pekerjaan," tandas Yasa.Seandainya aku punya pilihan, Disti membatin.Yasa mengangkat sisi kanan pinggulnya untuk menarik ke luar dompet kulit hitam yang terkubur di saku belakang celananya. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam sana lalu memberikannya pada Disti. "Kalau kamu masih mau bekerja di tempat yang lebih baik, datang saja ke alamat yang ada di kartu. Siapa tahu istriku masih membutuhkan karyawan untuk butiknya."Disti memandangi kartu nama yang terbuat dari art carton dengan tulisan yang diukir oleh tinta emas yang berkilat. Ia tidak bisa membaca dengan jelas karena minimnya cahaya yang menyinari ruang di dalam mobil Yasa. "Kamu pik
"Maaf ya, saat Varen meninggal aku tidak bisa ikut ke pemakaman. Saat itu aku sedang sakit," tutur Shalimah. Beruntung Mbak tidak ikut. Jika saja saat itu Mbak ikut, Mbak akan melihat betapa mertua Mbak sangat tidak pantas disebut sebagai mertua. "Tidak apa-apa, Mbak. Aku mengerti, kok." Disti tersenyum gugup. Shalimah meraih tangan Disti, lalu menariknya pelan. "Kita ngobrol di ruanganku saja, yuk." Disti mengikuti langkah Shalimah ke ruangannya. Di dalam ruangan berpintu kaca, Disti dipersilakan duduk di sofa khusus untuk tamu. Belum habis kekaguman Disti akan indahnya penataan ruang kerja Shalimah yang sangat rapi dan bersih, Disti kembali dikejutkan oleh keakraban yang diciptakan Shalimah. "Kamu mau minum apa? Jus, kopi atau yang lainnya?" "Apa saja, Mbak." "Oke, deh. Sebentar, ya." Shalimah berjalan ke arah meja kerjanya. Ia mengangkat gagang telepon dan menghubungi bagian pantry butik besar dan megah tersebut. "Bu Nah, tolong buatkan dua jus jeruk dan bawa ke ruangan saya,
Setelah salat zuhur, Yasa dan Shalimah mengajak Disti makan siang di sebuah restoran Italia. Untuk pertama kalinya Disti makan di sebuah restoran mahal dan mewah. Kemampuan table manner-nya terbatas mengingat ia datang dari keluarga sederhana yang terbiasa makan dengan peralatan makan berupa piring, mangkuk, dan sendok. Disti hanya menunggu Shalimah untuk memulai makan dan melihat cara wanita anggun itu menggunakan garpu dan pisau. Beruntung Disti diberi kecerdasan lebih hingga ia bisa belajar dengan cepat."Besok jangan lupa Arjuna diajak, ya." Shalimah kembali mengingatkan Disti.Disti tersenyum. "Iya, Mbak.""Sayang, apa tidak sebaiknya Disti memulai pekerjaannya dulu. Arjuna bisa diajak saat Disti sudah bisa menguasai pekerjaannya nanti," cegah Yasa."Aku tidak sabar ingin melihat keponakanku, Mas. Apa Mas tidak merasa—""Baiklah, Disti bisa membawa Arjuna besok." Yasa memotong ucapan Shalimah dengan nada terpaksa."Jika saya mengajak Arjuna besok, mungkin Mbak Shalimah juga bisa
"Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab Arjuna. Anak itu bangkit dari duduknya lalu menyambut Disti dengan berlari ke pelukannya. "Bunda, pulang kelja?" tanya bocah itu dengan suara cadelnya. "Belum, Sayang. Bunda baru melamar kerja. Besok Bunda baru mulai kerja," jelas Disti, meskipun ia ragu Arjuna kecilnya bisa mengerti penjelasannya. Sari muncul dari dapur. Wanita tua berdaster biru itu menghampiri Disti dengan tatapan hangat yang lembut. "Bagaimana tadi, Ti? Apakah kakak iparmu memberimu pekerjaan?" tanya Sari was-was. "Alhamdulillah, Bu. Mbak Shali memberi Disti pekerjaan. Kebetulan dia sedang butuh penjahit." "Syukur. Alhamdulillah." Sari menangkup wajah keriputnya dengan kedua tangan. "Lalu, gimana sikap kakak iparmu itu sama kamu?" "Mbak Shali sangat baik, Bu. Mas Yasa juga." "Bukannya si Yasa itu—" "Sepertinya Disti salah menduga, Bu,” potong Disti, “Mas Yasa tidak seangkuh ayah dan ibunya." Disti memberi pembelaan, meskipun ia sebenarnya tidak tahu bagaimana s