Share

2. Tawaran Yasa

Gelombang masa lalu kembali menghantamnya. Tepatnya dua tahun silam, beberapa hari setelah Varen dimakamkan. Saat itu, orangtua Varen dan Yasa datang ke rumah kontrakannya. Mereka berniat mengambil alih hak asuh Arjuna. Namun, Disti menentang keras. Masih terngiang di telinganya ucapan ibunda Varen yang mengatakan bahwa ia tidak mungkin bisa membesarkan Arjuna dengan cara baik. Sekarang di hadapan Yasa, ia membuktikan ketidakbecusannya. Berada di tempat hiburan dan menghibur para pria yang mencari kesenangan di mana seharusnya ia menemani malam Arjuna. Namun, bantahan tajam segera muncul di kepalanya. Ia tidak salah. Ia sudah berjuang sangat keras untuk merawat dan membesarkan Arjuna. Jika pekerjaannya dianggap salah, lalu apa bedanya dengan Yasa yang datang ke tempat itu? Semua pertanyaan dan jawaban yang ia ciptakan sendiri memenuhi kepalanya. 

Gelegar suara sound system mengembalikan Disti ke hingar bingar ruangan karaoke. Disti tersenyum kaku. Ia memilih duduk di ujung di samping pria berblazer, mencoba membenamkan diri sedalam mungkin ke dalam obrolan dan lagu yang ia nyanyikan kemudian. Sesekali ia menghirup air mineral dari botolnya langsung untuk membasahi tenggorokannya yang kering lantaran banyak mengeluarkan suara. Meskipun tidak sedikit dari pemandu lagu yang ikut meminum minuman para tamu, namun Disti tetap memilih air mineral sebagai pelepas dahaga. Satu jam pertama yang sangat melelahkan untuk Disti. Berpura-pura tak peduli pada Yasa dan bersikap manis pada yang lainnya membuat energinya hampir terkuras habis.

Dengan sedikit membungkuk dan berjalan selangkah demi selangkah, Disti menuangkan wiski ke dalam rock glass yang tersedia di atas meja di hadapan para eksekutif muda itu. Sudah menjadi tugasnya untuk melayani tamu sebaik mungkin. Namun, ia tetap tak bisa mengubur rasa malu dan cemas yang menghinggapi saat tatapannya beradu kembali dengan tatapan merendahkan Yasa.

"Bisa kita bicara?" cetus pria itu.

Pria berkaus putih yang duduk di samping Yasa menyikut lengan pria itu. "Masih sore, Yas. Sayang kalau buru-buru."

Yasa tersenyum tipis menanggapi candaan rekannya. Jauh di dalam hatinya, ia ingin sekali menyeret paksa Disti untuk keluar dari tempat itu.

"Berapa voucher yang harus aku keluarkan untuk bisa membawamu ke luar?" tanya Yasa mendesak.

Pembayaran di tempat karaoke tersebut menggunakan sistem voucher. Satu voucher bernilai satu juta dua ratus ribu rupiah dan itu berlaku untuk membayar semua aktivitas di tempat karaoke tersebut, termasuk makanan, minuman, dan layanan plus pemandu lagu yang nakal.

"Maaf, aku tidak keluar dengan tamu," tolak Disti sehalus mungkin, meskipun ia sudah bisa menduga arah pembicaraan Yasa.

"Oke." Yasa mencebik. "Tamu? Kalau begitu kamu akan keluar dengan Kakak—"

"Sepuluh voucher." Disti memotong dengan nada geram.

Yasa mengangkat alis tebalnya dan melayangan tatapan ragu. Ia hampir tidak pernah merendahkan orang dengan cara halus, tidak termasuk dalam kamus hidupnya. Namun, di hadapan mantan adik iparnya ia harus tetap menjaga wibawanya. 

"Tarifku dikategorikan tarif model, Mas." Disti meyakinkan Yasa. Ia tahu Yasa meragukan ucapannya dari ekspresi yang ditunjukkan pria itu. 

Pihak karaoke tersebut sudah mengkategorikan Disti sebagai model sejak ia mulai bekerja di tempat tersebut, meskipun ia tidak pernah berjalan di atas catwalk, difoto oleh fotografer profesional, dan mengenyam pendidikan tentang dunia modeling. Namun, tubuh tinggi semampai dan wajah ayu wanita itu bagai magnet yang menarik perhatian setiap mata yang memandang. Pihak tempat hiburan itu mensejajarkannya dengan para model yang bekerja sampingan di tempat itu. Toh, yang dicari tempat itu adalah wanita-wanita cantik yang mau menemani dan melayani para pengunjung. Klasifikasi pemandu lagu hanyalah sebuah formalitas semata.

"Whatever. Kita keluar sekarang." Yasa bangkit lalu berjalan keluar diikuti Disti.

"Have fun, Yas!" Teriakan salah satu rekan Yasa tidak digubris olehnya. 

Yasa berjalan dengan langkah arogan menuju kasir. Di sana, ia membayar semua biaya voucher dengan kartu debitnya. Tampak jelas tidak pernah ada masalah dengan keuangan pria itu, walaupun harus mengeruk banyak pundi-pundi rupiah dari tabungannya hanya untuk bersenang-senang. Disti menelan ludah dengan susah payah. Pertama kalinya selama ia bekerja di sana ia mau di-booking seorang pengunjung. Jika saja ia tidak tahu watak Yasa yang keras yang bisa memberhentikannya dari pekerjaan itu, Disti tidak akan pernah mengizinkan pemesanan atas dirinya. Pertemuannya dengan Yasa saat pemakaman Varen dan saat perebutan hak asuh Arjuna sudah menunjukkan seperti apa seorang Yasa Mahanta Wijaya. Disti tidak mau mengambil risiko pekerjaannya terancam. 

Yasa menghentikan laju mobil berjenis SUV yang dikendarainya di ujung gang rumah kontrakan Disti. Matanya masih menatap lurus ke depan dan tanpa menoleh pada Disti yang duduk di sampingnya, ia bertanya, "Kamu masih tinggal di sini?"

Disti mengangguk, namun kemudian ia menyadari bahwa Yasa tidak melihat anggukannya. Ia mempertegas jawabannya dengan kata. "Iya, Mas."

"Sudah lama kamu kerja di tempat karaoke plus-plus itu? Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan yang lebih baik? Apa karena gaji yang ditawarkan tempat karaoke itu lebih besar dari tempat yang lebih layak disebut sebagai tempat untuk bekerja?" Yasa memberondong Disti dengan beberapa pertanyaan yang berujung merendahkan Disti secara tidak langsung.

"Apakah pekerjaanku begitu hina hingga Mas bertanya seperti itu?"

"Aku tidak akan mengatakan pekerjaan kamu hina jika kamu tidak menerima voucher booking-an tadi." Yasa masih tidak mau menatap Disti. Ia menggertakkan rahang tegasnya. Tatapan tajamnya masih terarah ke jalanan yang mulai sepi dan gelap.

Disti ingin sekali membela diri. Ia sudah berusaha keras untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya yaitu menjahit. Namun, sekali lagi keberuntungan masih belum berpihak kepadanya. Ia bahkan sudah menjual sepeda motor peninggalan Varen satu-satunya untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari dan ongkos mencari pekerjaan. Hidup di zaman di mana kekuasaan dan koneksi lebih berperan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan membuat Disti hampir putus asa. Seorang teman yang akhirnya mengajak Disti untuk bekerja di tempat karaoke tersebut memunculkan harapan baru untuk Disti.

"Jika pekerjaanku hina, lalu apa bedanya dengan Mas yang sudah datang ke sana dan mem-booking-ku?" Disti bertanya dengan penuh antisipasi.

"Dengar, aku punya alasan datang ke sana dan aku juga punya alasan mem-booking kamu. Jangan pernah berpikir aku ingin melakukan hal seperti pria-pria mesum yang sering mem-booking-mu."

Pernyataan Yasa menghujam bagai belati, begitu sakit dan menyesakkan dada Disti. "Astagfirullahal adzim. Aku tidak pernah di-booking, Mas. Kecuali malam ini, oleh Mas. Jika Mas punya alasan datang ke sana, aku juga punya, Mas. Aku butuh pekerjaan untuk menghidupi Arjuna."

"Makanya jangan berlagak sok jagoan bisa merawat Arjuna sendirian. Nyatanya, kamu tidak becus."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status