Share

6. Alhamdulillah

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Arjuna.

Anak itu bangkit dari duduknya lalu menyambut Disti dengan berlari ke pelukannya.

"Bunda, pulang kelja?" tanya bocah itu dengan suara cadelnya.

"Belum, Sayang. Bunda baru melamar kerja. Besok Bunda baru mulai kerja," jelas Disti, meskipun ia ragu Arjuna kecilnya bisa mengerti penjelasannya.

Sari muncul dari dapur. Wanita tua berdaster biru itu menghampiri Disti dengan tatapan hangat yang lembut.

"Bagaimana tadi, Ti? Apakah kakak iparmu memberimu pekerjaan?" tanya Sari was-was.

"Alhamdulillah, Bu. Mbak Shali memberi Disti pekerjaan. Kebetulan dia sedang butuh penjahit."

"Syukur. Alhamdulillah." Sari menangkup wajah keriputnya dengan kedua tangan. "Lalu, gimana sikap kakak iparmu itu sama kamu?"

"Mbak Shali sangat baik, Bu. Mas Yasa juga."

"Bukannya si Yasa itu—"

"Sepertinya Disti salah menduga, Bu,” potong Disti, “Mas Yasa tidak seangkuh ayah dan ibunya." Disti memberi pembelaan, meskipun ia sebenarnya tidak tahu bagaimana sikap Yasa yang sekarang. Ia hanya menduga dari apa yang dilihatnya tadi.

"Syukurlah. Kapan kamu mulai kerja, Ti?"

"Besok, Bu. Mbak Shali juga minta Disti mengajak Juna ke sana. Dia ingin mengenal Arjuna."

"Apa nanti Juna tidak merepotkanmu?"

Disti duduk di ruang tamu tak berkursi sambil meluruskan kaki. Ia meletakkan tote bag hitam yang sedikit kusamnya di samping tubuhnya, kemudian menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan Sari. "Mbak Shali bilang, ia akan menemani Juna."

"Mungkin kakak iparmu itu akan membawa anaknya ke sana juga supaya bisa berkenalan dengan sepupunya."

"Tapi, Mbak Shali bilang hanya dia yang akan menemani Juna, Bu. Mbak Shali tidak menyinggung masalah anak."

"Apa mungkin si Shali itu belum punya anak?"

Pertanyaan ibunya mengingatkan Disti akan sikap muram Shalimah saat makan siang tadi. Ya, Allah. Jika ucapan Ibu benar, aku sudah sangat menyinggung perasaan Mbak Shali dan Mas Yasa tadi.

Rasa bersalah mulai menyelimuti Disti. Pandangannya mendadak terasa kosong meskipun menghadap ke dinding ruangan yang warna catnya hampir memudar. Bodoh sekali, pikirnya.

○○○

Disti membantu Arjuna mengenakan baju terbaiknya. Setelan kaus biru dan celana denim pendek membuat bocah itu tampak menggemaskan. Setelan itu bukan setelan pakaian yang dibeli Disti dengan harga fantastis, namun sangat cocok di tubuh Arjuna.

"Kita mau ke mana, Bunda?"

"Kita mau ke butik Bude Shali dan Pakde Yasa."

"Butik itu apa, Bunda?" Jawaban Disti memunculkan rasa ingin tahu Arjuna.

"Butik itu toko baju, sayang."

Arjuna tiba-tiba bersorak. "Asyik! Juna mau beli baju."

Disti berlutut dan mensejajarkan posisinya dengan Arjuna, lalu memeluk bocah itu. Sengatan rasa sedih memenuhi hati dan memanaskan matanya. Seandainya ia punya uang lebih, ia pasti akan membelikan Arjuna baju baru. Selama ini penghasilannya bekerja di tempat karaoke tersebut hanya cukup untuk membayar sewa rumah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hanya jika ada tamu yang berbaik hati yang memberikan tips besar, ia akan punya uang lebih. Itu pun tidak setiap hari atau setiap minggu.

"Sarapan sudah, pakai baju bagus sudah, sekarang kita berangkat yuk!" Disti berdiri. Ia meraih tangan Arjuna lalu memeganginya.

Tok-tok-tok!

Disti melepaskan pegangan tangannya dari tangan Arjuna. "Sebentar, Bunda lihat dulu ya."

Disti berjalan ke arah pintu sambil bertanya dalam hati, siapa tamu yang datang pagi-pagi begini?

Disti memutar kunci, lalu mengangkat gagang daun pintu untuk membuka pintu. Ia tertegun. Jantungnya berdenyut sangat cepat ketika iris cokelatnya menangkap sosok pria dengan kemeja hijau yang digulung setengah lengan dan berparas menawan tengah berdiri di depan pintu.

"Mas Varen?" Seluruh urat saraf Disti seakan terputus dan lututnya lemas. Tubuh Disti gemetar sementara mata bulat yang dihiasi bulu mata hitam, lebat, dan lentiknya terus menatap pria itu.

"Assalamualaikum. Aku datang untuk menjemputmu dan juga Arjuna," ucap Pria itu, membuyarkan ketegangan Disti.

Kerinduan yang teramat sangat pada Varen hampir membuat Disti tidak bisa berpikir jernih. Jika saja rambut Yasa tidak disisir rapi dan ditata dengan pomade, ia pasti akan langsung menghambur ke pelukan pria itu. Wajahnya yang sekilas mirip Varen selalu membuat jantung Disti berdebar saat menatapnya.

"Shali yang memintaku," jelas Yasa tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman.

"I-iya, Mas," sahut Disti gugup, kemudian ia memanggil Arjuna. "Juna, ke sini, Sayang!"

Arjuna berjalan mendekati Disti. Anak itu berdiri di samping Disti. Mata beningnya menatap Yasa hampir tidak berkedip. Jarang sekali ada tamu pria yang bertandang ke rumah Disti kecuali Jalal, tetangga kontrakan mereka.

"Juna, ayo kasih salam ke Pakde Yasa," titah Disti.

Arjuna mendongak lalu memandang Disti ragu. Disti berjongkok, mensejajarkan posisinya dengan Arjuna, dan menjelaskan sebisanya posisi Yasa dalam silsilah keluarga almarhum ayah Arjuna. "Pakde Yasa ini kakaknya Ayah Varen. Juna kasih salam dulu, ya, sama Pakde."

Meskipun tidak terlalu mengerti, Arjuna mengulurkan tangan ke arah Yasa. Pria itu menyambut senang uluran tangan Arjuna. Iris abu-abunya berkilat terang menerangi pagi yang muram karena terhalang mendung.

"Assalamualaikum, Pakde," ucap Arjuna sambil menempelkan dahinya ke punggung tangan Yasa.

"Waalaikumsalam." Senyum Yasa terkembang di wajahnya. Ia mengusap lembut puncak kepala Arjuna.

Segelintir perasaan bahagia teraup Disti ketika menyaksikan pemandangan mengharukan itu. Untuk pertama kalinya Arjuna bertatap muka dan bersalaman dengan salah satu anggota keluarga ayahnya. Ia berucap syukur dalam hati. Alhamdulillah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status