Share

8. Alasan Disti Mulai Terkuak

Disti merasa ingin mati saat itu juga ketika seorang pengunjung karaoke yang terhipnotis pesonanya pada pandangan pertama berani membayar dengan harga fantastis untuk mengajaknya ke tempat tidur. Pria itu membawa Disti ke sebuah hotel berbintang tidak jauh dari pub dan tempat karaoke.

"Pak, saya tidak bisa melakukan ini. Saya mau pulang saja." Disti menghentikan langkah setelah berpikir berulang-ulang selama dalam perjalanan.

Pria berambut hitam berpotongan buzz cut yang berjalan beberapa langkah di depan Disti pun menghentikan langkahnya. Ia berbalik. Raut wajah dan kilat matanya menyiratkan amarah yang terpendam. "Apa maksudmu? Aku sudah membayar mahal untuk membawamu ke sini. Kamu pikir kamu bisa seenaknya memutuskan?"

Tubuh Disti merespon dengan cepat tatapan tajam pria itu. Tangan dan kakinya mulai dingin dan jantungnya berdegup kencang. Otaknya pun berputar mencari alasan, meskipun napasnya tersengal-sengal.

"Saya akan mengganti uang yang sudah Bapak keluarkan. Saya janji." Disti asal bicara demi menghindari pria itu.

Pria itu tersenyum getir. "Kalau kamu punya uang sebanyak yang sudah aku bayar ke kasir pub sialan itu, kamu tidak akan menjual diri kamu."

Disti bergeming. Pria itu memang benar. Jika saja ia punya uang, ia tidak akan terjebak dengan pekerjaan yang menjadi cibiran orang.

Pria itu meraih lalu mencekal tangan Disti. Ia tidak segan menyeret Disti melewati lobi. Namun, tak seorang pun yang berada di sana—baik karyawan hotel maupun pengunjung hotel—yang menghentikan aksinya.

"Pak, lepaskan saya!" Disti hampir berteriak ketika pria itu terus menyeretnya hingga ke depan pintu lift.

Saat pintu lift terbuka, kemalangan Disti bertambah dua kali lipat. Ia tidak hanya terperangkap dalam jerat pria yang ingin berkencan satu malam dengannya, tapi karena tatapan lain yang terpaut oleh netranya.

“Mas Yasa?” Jantung Disti seketika akan meledak melihat Yasa dan Shalimah tengah berdiri di dalam lift.

Keberadaan Disti di sana dengan seorang pria menegaskan kesimpulan Yasa bahwa ia memang pantas menjadi wanita penghibur.

"Mas Yasa, Mbak Shali ...." Tatapan Disti mengarah pada pasangan yang baru saja keluar dari lift.

"Disti?!" Mata Shalimah membelalak melihat Disti, lalu ia melihat ke arah pria yang datang bersama adik iparnya. "David? Apa yang kamu lakukan pada Disti?"

Tubuh Disti menegang dan lidahnya mulai kaku. Harga dirinya meluruh diiringi perasaan malu luar biasa yang menyelubungi. Apa yang Yasa dan Shalimah lihat membuktikan bahwa ia memang tidak pantas disejajarkan dengan mereka sebagai bagian dari keluarga Wijaya yang terhormat.

"Ayo!" Pria bernama David itu menarik dan memaksa Disti untuk meninggalkan Yasa dan Shalimah. Meskipun Shalimah tampak mengenalnya, namun pria itu seakan tidak peduli.

"Tidak!" tegas Disti.

Penolakan Disti membuat David geram. Ia tetap memaksa Disti dan hampir menyeretnya. Pria itu seperti mengabaikan semua hal di sekitarnya dan tidak memedulikan pertanyaan Shalimah.

"David, berhenti!" Suara Yasa menghentikan langkah David, membuatnya menoleh ke belakang, dan melayangkan pandangan menyelidik.

"Lepaskan dia!" Yasa mengulang perintahnya.

David menarik sebelah ujung bibirnya tersenyum sinis. "Apa urusanmu dengan pelacur ini?"

"Dia bukan wanita seperti itu, Dave."

"Oh, iya? Kamu begitu mengenalnya. Apa kamu juga pernah "pake" dia?"

Ucapan David membuat darah dengan cepat naik ke kepala Yasa dan menimbulkan semburat merah di wajahnya. Tangan Yasa mengepal erat dan jika saja Shalimah tidak menahannya, ia pasti sudah melayangkan tinjunya ke wajah David dalam hitungan detik.

"Tidak, Dave." Shalimah berusaha menengahi. Wanita itu dengan tenang melanjutkan ucapannya. "Disti adik kami. Jadi, aku mohon jangan punya prasangka seperti itu dan tolong lepaskan dia."

David tertawa merendahkan sambil memandang ke arah Shalimah dan Yasa. "Yang benar saja? Adik ketemu gede maksudnya?"

"Bukan urusanmu, Dave!” Yasa menyergah. Wajahnya tampak menegang menatap David. “Lepaskan Disti dan aku anggap urusan kita selesai," imbuh Yasa dengan nada bicara yang terdengar begitu dingin dan mengintimidasi. 

"Aku sudah membayar mahal wanita murahan ini. Jika kamu mau mengganti uang yang sudah kukeluarkan untuknya, akan kuberikan dia padamu." David mengubah air mukanya. Pria itu memberengut dengan tatapan tajam terarah pada Yasa.

"Berapa pun akan kuganti. Kamu tahu aku tidak pernah bermasalah dengan uang, 'kan?" tantang Yasa.

Pernyataan Yasa membuat Disti tercengang. Ia tidak akan memanfaatkan kebaikan Yasa demi bisa lepas dari jeratan David. Disti sendiri yang memutuskan untuk kembali ke tempat karaoke itu dan ia yang harus menanggung risikonya.

"Mas, jangan, Mas. Aku sudah banyak merepotkan Mas dan Mbak," cegah Disti.

Tak peduli ucapan Disti, Yasa kembali menunjukkan keseriusannya pada David. "Berapa banyak yang sudah kamu keluarkan untuk dia?"

"Empat puluh juta."

Disti membelalak. "Tidak sebanyak itu, Mas. Dia bohong!"

"Diam kamu!" Bentakan David membuat Disti terdiam dengan tubuh gemetaran.

Yasa mengeluarkan ponselnya lalu mentransfer sejumlah uang ke rekening David. "Done. Lepaskan dia!"

David tersenyum getir menerima kekalahannya. Dugaannya salah kali ini. Yasa ternyata tidak hanya asal bicara. Ia melepaskan cekalannya dari tangan Disti.

Disti beringsut menjauh dari David sambil memegang pergelangan tangannya yang memerah dan terasa sakit. Kabut bening menutupi pandangannya. Marah, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri terasa sangat menyesakkan dada hingga Disti kesulitan bernapas. Namun, rangkulan penuh kasih Shalimah di pundaknya menerjang dengan kasih sayang seperti ombak pasang, melenyapkan segala rasa, dan menegaskan kebenaran bahwa masih ada yang peduli padanya.

"Kita pulang, yuk!" ajak Shalimah dengan suara lembutnya.

"Terima kasih, Mbak." Disti mengalihkan pandangannya ke Yasa. "Terima kasih, Mas."

"Jangan sungkan. Kita kan keluarga," ucap Shalimah.

Disti mengangguk, merasakan ketulusan Shalimah. Malam itu Yasa dan Shalimah mengantar Disti pulang. Shalimah terenyuh ketika menginjakkan kakinya di rumah kontrakan Disti dan berkenalan dengan ibunya Disti yang tampil sangat sederhana. Duduk melingkar di ruang tamu tanpa kursi dan hanya berlapis karpet plastik murahan kembali menyayat hati Shalimah. Disti wanita yang tangguh, pikirnya.

Disti menceritakan apa yang baru ia alami pada ibunya. Ucapan terima kasih berulang-ulang Sari lontarkan pada Yasa dan Shalimah.

"Terima kasih, Nak Yasa, Nak Shalimah. Kalian sudah sangat baik pada Disti. Seandainya saja pihak karaoke itu tidak mengancam—"

"Bu," sela Disti untuk mencegah ibunya berbicara.

Sari menoleh pada Disti. Ia memahami kode yang diberikan putrinya lalu diam.

"Kenapa dengan pihak karaoke itu?" tanya Yasa.

Disti memandang ke arah Sari. Ia tidak ingin Yasa dan Shalimah terbebani oleh masalahnya. Malam itu mereka sudah cukup membantunya.

"Disti, aku tanya sama kamu. Kenapa dan ada apa dengan pihak karaoke tersebut?" Nada tanya Yasa yang tegas membuat Disti sedikit ketakutan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status