Pagi setengah siang pukul sembilan tepat. Aku mencoba memulai terapi pemulihan ingatan sesuai yang dianjurkan oleh dokter spesialis teman lamaku kala SMK dahulu. Aku bawa Rindu jalan-jalan di taman dekat gang rumah Rindu. Tetap menggunakan kursi roda untuk tempat duduk Rindu.Bahwa aku tak ingin Rindu terlalu lelah berjalan. Sebab taman posisinya dua kilo meter dari rumah Rindu. “Dek kita main ya sebentar mencari udara segar. Biar kamu tidak di dalam kamar saja. Biar tubuhmu juga dapat asupan vitamin D tentunya. Hal ini bisa berdampak baik untuk kesehatanmu,” ucapku berbisik pada telinga Rindu sambil mendorong kursi Roda perlahan ke arah taman. Rindu hanya diam tak berkata sekali ucap saja. Pandangannya tetap kosong tiada tujuan hidup. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada Rindu. Terkadang ia terlihat seperti anak kecil tingkahnya penuh manja. Terkadang ia seolah-olah sadar memanggilku hanya dengan panggilan Mas tanpa embel-embel nama Mas Danang
Senja merah bata di ufuk barat selayang mataku memandang. Kebetulan rumah Rindu menghadap ke barat. Walau terhalang oleh beberapa rumah tetangga. Aku masih bisa menikmati redupnya matahari menguapkan kantuknya. Mungkin ia tengah lelah dan ingin beristirahat. Seperti jua aku yang ingin mengakhiri ini semua. Mengakhiri rangkaian semua cerita. Sebuah cerita tentang alkisah turun ranjang tentang aku dan Rindu. Otak dan tubuhku rasanya sudah terlalu penat menghadapi semuanya sendirian. Semalam Ayah dan Ibu menanyakan kabar tentang kondisi Rindu. Akhirnya ada satu masa mereka berdua tak menanyakan keadaanku malah menanyakan kabar menantunya. “Heh dasar Ayah dan Ibu!” tawa kecilku menyeringai dibius bias sinar surya kala senja matahari menjurus pada detik-detik menjelang magrib. Masih pukul setengah lima sore di teras rumah Rindu. Biarlah aku sejenak duduk menikmati jalan depan rumah Rindu. Menyapa para tetangga yang kebetulan lewat. Rindu tengah tertidur kembali setelah lelah bermain l
Pagi bergulir menjadi siang dan siang berubah menjadi malam. Akhirnya aku mulai lelah dengan aktivitasku baru-baru ini. Mungkin aku sedikit membutuhkan hiburan. Aku yang biasanya bergaya hidup tanpa kekangan. Kini harus berkutat antara teras ruah tengah dan kamar Rindu. Tapi semua ini demi satu janjiku pada Almarhum Mas Danang. Walau janji itu terucap melalui mimpi yang aneh. Tapi aku merasa sungguh itu adalah Mas Danang. Malam ini sudah terlalu larut untuk aku sekedar minum kopi atau menyulut sebatang rokok di teras rumah Rindu. Akhirnya aku memilih duduk di dekat jendela. Membukanya sedikit dan pada akhirnya aku tahu. Memang jendela didesain bisa dibuka dari luar. Ada satu tempat kunci dari luar jendela. Mungkin maksud Ayah dan Ibu mertua. Agar mudah bila Rindu tengah mengamuk atau marah-marah. Tetapi selama denganku kenapa Rindu tidak pernah marah-marah entah. Entak karena lelah atau penatnya tubuh dan otakku. Entah karena semilir angin malam dari luar jendela yang terbuka sed
“Hah benar hanya mimpi saja, kenapa aku jadi was-was dan merasa ketakutan. Sebaiknya aku tutup jendela dan lekas tidur di samping Rindu.” Saat aku lihat jam dinding ternyata masih pukul sepuluh malam. Kenapa dalam mimpi itu waktu sudah hampir subuh. Akankah mimpi itu menjadi nyata. Kakek Haji itu terus memanggil aku cucu. Sebenarnya siapa beliau Pak Haji yang aku temui di trotoar waktu itu? Baiknya aku lekas tidur. “Ah Cuma mimpi Raja, hanya mimpi dan mungkin aku terlalu lelah. Mungkin otakku terlalu banyak pikiran. Jadilah aku bermimpi yang aneh-aneh. Baiknya aku mulai rebahkan tubuhku di samping Rindu,” sejenak seperti biasanya, aku kecup sedikit kening Rindu. Menyibakkan rambut beberapa helai yang jatuh di keningnya. Tapi serasa ada yang aneh dengan Rindu. Saat aku mengecup keningnya bukan tanpa alasan. Aku melakukannya semata-mata untuk mengecek suhu tubuhnya juga. Suhu tubuh Rindu yang biasanya selalu panas dan selalu aku kompres dengan kain kecil aku basahi air es. Aku ras
Pov Rindu Hari ini teramat lelah untukku, bahkan rasanya pekerjaan menumpuk di bangku kerjaku. Tumpukkan berkas-berkas yang harus aku periksa dan harus selesai hari ini juga. Membuat aku harus ekstra lembur sampai malam tentunya. Semoga saja Mas Danang Si Abang CEO ganteng itu membolehkan aku untuk membawa pekerjaan ini pulang bila sampai jam sepuluh malam tidak selesai juga. Aku sudah teramat lelah dan mengantuk soalnya. Mataku sudah begitu lelah ingin segera merebah di atas kasurku. Enak mungkin bila setiap hari dalam beberapa hari. Aku hanya merebahkan tubuhku dan tidur tidak ke mana-mana dan tidak melakukan aktivitas apa pun jua. “Hah, masih dua tumpuk lagi,” ucapku agak menangis kecil di raut wajah. Seperti mengeluh namun ingin merasa menangis. Tetapi tanpa air mata tentunya. “Ada apa Dek kok belum pulang?” ternyata Mas Danang juga belum pulang. Entah ia sengaja atau tidak atau memang menungguku sampai pulang seperti biasanya. Jelasnya memang malam ini Mas Danang juga belum
Laju mobil Mas Danang yang aku kendarai mulai melaju secara perlahan meninggalkan pelataran kantor kami. Mas Danang rupanya tidak mempersoalkan bila aku mengambil alih kemudinya. Hanya dia mengatakan padaku untuk tetap dalam laju kecepatan normal. Dia tahu bila aku membawa mobil dan memegang kendali. Biasanya aku tidak sabaran dan ingin segera pulang. Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu ingin cepat pulang. Lalu merebahkan semua lelah dan penat seharian bekerja di atas kasur kesayanganku.Mungkin ini yang dinamakan dengan kata jodoh. Mas Danang yang cenderung kalem dan apa adanya. Malah bertemu denganku yang cenderung banyak tingkah dan tak bisa diam dalam waktu lama. “Pelan-pelan Dek nanti juga sampai. Alon-alon asal selamat, jangan mengebut kesehatan itu mahal,” selalu satu perkataan dari rangkaian mengingatkanku. Selalu terucap dari bibir Mas Danang yang masih merah. Tiada satu kali saja aku lihat bibir itu tersentuh asap tembakau. “Pelan ini berapa sih Cuma delapan puluh,”
Lelaki itu mengendarai motor trail. Memakai jaket serba hitam dengan helm teropong hitam. Tetapi aku sempat melihat dari wajahnya dengan tatapan mata tajam. Saat lelaki itu berhenti sejenak di samping kaca mobil sebelah aku mengemudi. Tatapan matanya sama persis dengan mata kekasihku Mas Danang. Tapi Mas Danang sedang ketakutan di sampingku. “Ia, ia, saya mengerti Mas tolong ya.” Sesaat saat aku masih tertegun dengan tatapan matanya. Lelaki itu memberi kode agar aku melanjutkan perjalanan dan ia akan mengawal dari belakang laju mobil kami. Aku pun menuruti arahan kode tangan lelaki itu. Mulai menjalankan mobil kembali sembari menenangkan Mas Danang yang terus gemetar ketakutan. “Sabar sayang masih ada pertolongan orang baik yang tetap peduli akan keselamatan orang lain. Kita akan pulang tenanglah Mas Danang.” Aku terus mencoba menenangkan Mas Danang. Aku tak menyalahkan Mas Danang yang cenderung lemah nyali. Cenderung tidak bisa bertarung dan memilih menghindari konflik. Mungk
Malam sudah teramat larut di depan kamar Ibu Juariah dan beliau sudah pulas terlelap. Bahkan terlalu larut untuk sekejap memejamkan mataku. Pekerjaan memeriksa berkas-berkas dari kantor tinggal dua lagi. Tetapi mataku sudah teramat mengantuk. Sehingga membuat aku tanpa sadar tertidur beralaskan meja kerja Mas Danang dalam posisi masih duduk. Mas Danang juga entah ke mana. Beberapa waktu yang lalu dia berpamitan hendak mencari ingin segar sebentar. Malah meninggalkan aku sendirian di depan kamar Ibunya. Raja juga entah ke mana, bahkan saat Raja diminta tolong Mas Danang. Agar membantuku untuk ikut memeriksa berkas-berkas yang kami bawa. Dia malah pergi dengan motor trilnya. Sambil terus marah-marah tak jelas. Bahkan sempat beradu cekcok dengan Mas Danang. Bu Juariah juga sempat bertanya padaku sebelum ia pergi ke dalam kamar yang berada tepat di sisi kiriku kini berada. Beliau bertanya tentang aku, apa sudah meminta izin pada Ayah dan Ibuku kalau menginap di rumahnya. Aku belum s