Wing, Slap, tar, Tiba-tiba satu bola kasti melayang cepat lurus mengenai kening Doni yang kebetulan menoleh. Doni tampak asyik dengan aktivitasnya mengerjai Rindu yang ia ikat di atas kursi. “Au gila ya!” Doni seketika berteriak dan terlepaslah derita Rindu seketika. Sebab sebelumnya sepuluh jari Doni seakan bergerilya rata ke seluruh bagian lekuk tubuh Rindu. Tak ada sejengkal saja yang tidak di datangi oleh tangan kotor Doni. Wing, dar, Satu kali lagi bola kasti warna kuning melayang kencang. Kali ini pas tepat di mata kiri Doni mengenainya telak. Bahkan Doni sampai terhuyung-huyung jatuh ke lantai tak jauh dari tempat Rindu. Kali ini telapak tangan yang tadi untuk menjelajahi area-area sensitif di bagian tubuh Rindu. Malah digunakan Doni menutup matanya yang baru saja terkena lemparan bola kasti. Ada darah bercampur cairan aneh putih dati sela jemarinya. “Ah, sakit! Mataku, mataku!” Doni tampak kesakitan sambil merangkak mundur ketakutan. Kali ini darah sudah berjatuhan di
Mas Danang merebahkan tubuhku di atas kasur di dalam kamarnya. Aku masih belum bisa bergerak juga badanku kaku. Semua ini sebab oleh minuman teh hangat beberapa saat lalu. Mas Danang sungguh lelaki yang baik dan aku beruntung dapat menemaninya. Mas Danang adalah lelaki sabar yang berjiwa besar yang pernah aku temui. Bahkan ia mampu memaafkan lelaki kasar, lelaki jahat yang hendak mencelakaiku. Aku tak menyalahkan Mas Danang atas peristiwa ini. Semua terjadi tentu di luar prediksi kami. “Maaf ya sayang aku datang terlambat tadi. Untung saja Raja datang tepat pada waktunya. Aku merasa sebenarnya tidak pantas mendampingimu seorang gadis yang begitu indah menurut lelaki lain.” Baru malam ini aku melihat Mas Danang meneteskan air matanya. Lelaki yang menurutku tidak pernah menangis hari ini meneteskan air matanya. Ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Tetapi aku masih tidak mampu bergerak sama sekali. “Nak Danang bagaimana keadaan Rindu menantuku,” lalu Bu Juariah dan Mr. Khotim d
“Bangun Rindu, Nak sudah teramat siang bangunlah, tiga hari lagi kamu akan menikah loh. Bagaimana nanti kalau kamu sudah menjadi istri Masmu Danang?” Telingaku serasa mendengar suara Ibuku sendiri. Tetapi di dalam otakku terus berbicara dengan pertanyaan mendasar. Apa alu benar-benar berada di rumah? Bukankah aku berada di tempat berkabut itu. “Rindu bangun Ndok sudah siang, itu loh di luar ada Masmu Danang datang. Katanya kalian mau jalan-jalan ke taman.” Memang benar itu suara Ibu, tapi bukankah pernikahan kami direncanakan dua bulan lagi. Bukankah aku masih terbaring di kamar Mas Danang. Lalu mataku mencoba mengintip akan siapa yang membangunkanku. Apakah benar Ibu yang ada di sampingku atau masih makhluk setan jahanam kuntilanak itu. Perlahan kelopak mata aku buka sedikit demi sedikit. Aku masih belum percaya bila yang duduk di sampingku terbaring adalah Ibu. Masak ia bisa begitu cepat waktu berlalu hanya aku dengan berbaring saja. “Allahuakbar, Astagfirullah pergi!” aku sem
Matahari terus bergulir di peredarannya dan aku sudah melupakan peristiwa kemarin. Kali ini Mas Danang mengajakku menuju satu taman tak jauh dari rumahku. Sebenarnya kami sudah hendak pulang. Bahkan satu belokan lagi kami sudah sampai di gang rumahku sendiri. Tetapi ada satu hal yang menarik perhatianku. Sore hari di taman ujung gang desaku tentu sangat indah dan sayang untuk dilewatkan. Aku merengek pada Mas Danang untuk sekedar menikmati senja disalah satu kursi panjangnya. Akhirnya setelah membujuknya agak lama. Mobil yang ia kendarai menepi di tempat parkir taman. Demi membuatku senang bahkan Mas Danang membatalkan semua janjinya dengan klien hari ini. Katanya bisa dikerjakan esok hari saja. Dari sini aku tahu jikalau aku sudah tak menemaninya bekerja lagi. Pada satu sisi taman di samping tanaman bunga agak rindang dan berwarna-warni. Kami duduk berdua di kursi panjangnya. Menikmati es krim yang kami beli di mol beberapa saat yang lalu. Mas Danang tampak cerah sekarang dan
“Mas sudah ya aku mau istirahat. Kamu istirahat juga ya sayang, jangan bergadang dan jangan bobok larut malam. Ingat jaga kesehatanmu untuk aku ya calon istrimu.” Ketikan terakhir dari kata calon istrimu membuat anganku melambung. Pertanyaan klasik di benakku apa benar ada hari esok untuk aku menikah dengan Mas Danang. Aku mulai rebahkan tubuhku yang terlalu lelah memikirkan semua peristiwa aneh yang aku alami. Tapi tadi sore di taman ujung gang. Seakan Mas Danang berkata mengucapkan salam perpisahan. “Ah tidak mungkin hanya firasat kosong dariku saja.” Segera aku tepis pikiran buruk yang terus melayang di otakku. Mas Danang sosok lelaki baik dan sangat bersahaja. Tak mungkin ada seseorang yang menaruh dendam dengannya. Lalu mencelakainya di jalan seperti yang aku dengar dari setan itu. “Kenapa aku malah percaya omongan setan. Lebih baik aku mengambil wudu. Eh tapi aku sudah salat isya, masak aku mau salat isya dua kali.” Aku mulai berbicara dengan sepinya kamarku malam ini. Aya
Pov Danang, Sudah sebulan setelah kejadian di depan kamar Ibu. Rindu masih tampak murung tak bergairah. Seakan cahaya hidupnya meredup tak asa keinginan untuk sehat kembali. Setiap sore dan hampir setiap hari aku mampir ke rumahnya. Sehabis bekerja dan selalu aku bawakan buah-buahan segar. Tak lupa juga seperti biasanya aku bawakan vitamin. Agar tubuhnya kembali segar tak lagi murung. Tak lagi lesu, lusuh tak ada cahaya semangat seperti biasanya. Seperti sore kemarin dan kemarinnya lalu. Aku kembali mampir setelah kerjaku selesai di kantor. Aku juga membawakan buah, susu dan vitamin. Seperti biasanya Rindu duduk melamun di teras. Seperti biasa juga Bu Dian berdiri di belakangnya. Sambil merapikan rambut Rindu dengan sisir kecil. “Asallamualaikum Dek, Bu?” Aku sampaikan salam dengan doa rahmat dan kesehatan dari Sang Pencipta. Tetap dengan senyuman walau dalam hati sangat teriris. Melihat kekasihku seperti hidup enggan dan mati pun enggan. “Waalaikumsalam Mas,” Rindu menjawabn
Danang masih di atas kursi kemudi di dalam mobilnya. Pikirannya terus tertuju pada cara untuk menyembuhkan Rindu kekasihnya. Bahkan ia sering menemui orang-orang pintar kenalan teman atau rekan-rekannya. Namun masih belum ada hasil jua. Membawa Rindu berobat ke rumah sakit juga percuma. Sebab pernah Danang membawa Rindu berobat ke rumah sakit. Dokter malah berkata Rindu baik-baik saja, tidak ada penyakit dan tak perlu dikhawatirkan. “Argtz, aku harus bagaimana! Oh ia aku ingat. Hal-hal yang berbau spiritual seperti ini Raja yang paham. Baiknya aku menemui Raja dan merundingkan tentang Rindu dengannya.” Danang bergegas mengambil ponsel yang ada di dalam tas yang ia taruh di dasbor mobil. Tetapi tiba-tiba di depan mobilnya yang tengah melaju. Ada satu kakek tua tengah menyeberang jalan. Walau agak jauh jarak Kakek tua dengan laju mobil Danang. Tetapi laju mobil Danang cukup kencang kecepatannya. “Astagfirullah, Allahuakbar!” Sitz, Danang segera membanting setir dan arah laju mob
Tit, Tit, Danang menekan satu tombol warna merah yang ada dalam kunci mobil otomatis yang ia pegang. Sehingga mesin mobil mati secara otomatis pula. Danang masih berpikir tentang Kakek tua dan cat dari adik lelakinya Raja. “Maksudnya apa ya perkataan Kakek tua tadi. Bahkan Raja juga bilang padaku kalau dia tahu tentang Si Kakek tua?” Danang masih berdiri di muka teras depan pintu masuk rumahnya. Tampak bingung dan berwajah agak berpikir keras. “Ah sudahlah kenapa juga aku pikirkan satu hal yang tak kelas seperti tadi. Lebih baik aku masuk rumah pergi mandi lalu istirahat.” Langkah Danang perlahan memasuki rumah dengan hati tetap gusar. Perkataan Kakek tua rupanya sangat membebani pemikiran logikanya. “Woi ayo sekarang giliran kamu Agung. Hahaha, sekali-kali kita hibur diri kira bermain layaknya anak kecil tidak apa-apa. Masak harus memikirkan bab demi bab novel yang harus disetor pada Pak Broto ya kan.”Terdengar suara ocehan Raja tengah bercanda dengan teman-temannya. Rupanya R