“Mas sudah ya aku mau istirahat. Kamu istirahat juga ya sayang, jangan bergadang dan jangan bobok larut malam. Ingat jaga kesehatanmu untuk aku ya calon istrimu.” Ketikan terakhir dari kata calon istrimu membuat anganku melambung. Pertanyaan klasik di benakku apa benar ada hari esok untuk aku menikah dengan Mas Danang. Aku mulai rebahkan tubuhku yang terlalu lelah memikirkan semua peristiwa aneh yang aku alami. Tapi tadi sore di taman ujung gang. Seakan Mas Danang berkata mengucapkan salam perpisahan. “Ah tidak mungkin hanya firasat kosong dariku saja.” Segera aku tepis pikiran buruk yang terus melayang di otakku. Mas Danang sosok lelaki baik dan sangat bersahaja. Tak mungkin ada seseorang yang menaruh dendam dengannya. Lalu mencelakainya di jalan seperti yang aku dengar dari setan itu. “Kenapa aku malah percaya omongan setan. Lebih baik aku mengambil wudu. Eh tapi aku sudah salat isya, masak aku mau salat isya dua kali.” Aku mulai berbicara dengan sepinya kamarku malam ini. Aya
Pov Danang, Sudah sebulan setelah kejadian di depan kamar Ibu. Rindu masih tampak murung tak bergairah. Seakan cahaya hidupnya meredup tak asa keinginan untuk sehat kembali. Setiap sore dan hampir setiap hari aku mampir ke rumahnya. Sehabis bekerja dan selalu aku bawakan buah-buahan segar. Tak lupa juga seperti biasanya aku bawakan vitamin. Agar tubuhnya kembali segar tak lagi murung. Tak lagi lesu, lusuh tak ada cahaya semangat seperti biasanya. Seperti sore kemarin dan kemarinnya lalu. Aku kembali mampir setelah kerjaku selesai di kantor. Aku juga membawakan buah, susu dan vitamin. Seperti biasanya Rindu duduk melamun di teras. Seperti biasa juga Bu Dian berdiri di belakangnya. Sambil merapikan rambut Rindu dengan sisir kecil. “Asallamualaikum Dek, Bu?” Aku sampaikan salam dengan doa rahmat dan kesehatan dari Sang Pencipta. Tetap dengan senyuman walau dalam hati sangat teriris. Melihat kekasihku seperti hidup enggan dan mati pun enggan. “Waalaikumsalam Mas,” Rindu menjawabn
Danang masih di atas kursi kemudi di dalam mobilnya. Pikirannya terus tertuju pada cara untuk menyembuhkan Rindu kekasihnya. Bahkan ia sering menemui orang-orang pintar kenalan teman atau rekan-rekannya. Namun masih belum ada hasil jua. Membawa Rindu berobat ke rumah sakit juga percuma. Sebab pernah Danang membawa Rindu berobat ke rumah sakit. Dokter malah berkata Rindu baik-baik saja, tidak ada penyakit dan tak perlu dikhawatirkan. “Argtz, aku harus bagaimana! Oh ia aku ingat. Hal-hal yang berbau spiritual seperti ini Raja yang paham. Baiknya aku menemui Raja dan merundingkan tentang Rindu dengannya.” Danang bergegas mengambil ponsel yang ada di dalam tas yang ia taruh di dasbor mobil. Tetapi tiba-tiba di depan mobilnya yang tengah melaju. Ada satu kakek tua tengah menyeberang jalan. Walau agak jauh jarak Kakek tua dengan laju mobil Danang. Tetapi laju mobil Danang cukup kencang kecepatannya. “Astagfirullah, Allahuakbar!” Sitz, Danang segera membanting setir dan arah laju mob
Tit, Tit, Danang menekan satu tombol warna merah yang ada dalam kunci mobil otomatis yang ia pegang. Sehingga mesin mobil mati secara otomatis pula. Danang masih berpikir tentang Kakek tua dan cat dari adik lelakinya Raja. “Maksudnya apa ya perkataan Kakek tua tadi. Bahkan Raja juga bilang padaku kalau dia tahu tentang Si Kakek tua?” Danang masih berdiri di muka teras depan pintu masuk rumahnya. Tampak bingung dan berwajah agak berpikir keras. “Ah sudahlah kenapa juga aku pikirkan satu hal yang tak kelas seperti tadi. Lebih baik aku masuk rumah pergi mandi lalu istirahat.” Langkah Danang perlahan memasuki rumah dengan hati tetap gusar. Perkataan Kakek tua rupanya sangat membebani pemikiran logikanya. “Woi ayo sekarang giliran kamu Agung. Hahaha, sekali-kali kita hibur diri kira bermain layaknya anak kecil tidak apa-apa. Masak harus memikirkan bab demi bab novel yang harus disetor pada Pak Broto ya kan.”Terdengar suara ocehan Raja tengah bercanda dengan teman-temannya. Rupanya R
Sebulan sudah berlalu dari sakitnya Rindu. Sekarang Rindu sudah mulai ceria lagi. Rindu sudah sehat benar menurut Danang. Tetapi menurut Raja dan berkali-kali ia mengatakan pada Danang. Bila Rindu belum sehat benar dia masih ada bayang-bayang aura negatif di tubuhnya. Namun Danang selalu menepis perkataan Raja dengan perkataan jangan percaya takhayul dan setan itu tidak ada. Bahkan Danang tampak begitu ceria pagi ini. Tampak sangat bersemangat untuk berangkat bekerja. “Dek cepat sedikit kalau mandi kamu ini. Masak mandi saja seperti anak gadis lama banget,” Danang berteriak di depan pintu kamar mandi. Sedangkan Raja tampak santai dan meneruskan mandinya. Bahkan sesekali Raja sengaja bersenandung ria. Agar tak mendengar suara Kakaknya berteriak untuk menyuruhnya keluar. “Dek cepat kenapa aku sudah telat berangkat kerja ini. Hari ini banyak klien yang harus aku temui. Cepat woi Raja!” Danang terus marah-marah di depan pintu kamar mandi. Namun Raja tak menggubrisnya sama sekali. “
POV RAJA “Nak Raja bangunlah tetap fokus jangan lengah. Istigfar Cucuku tetap Shalawat dan tetal terjaga.” Sosok Pak Haji membangunkan aku kembali. Setelah beberapa saat aku malah terlena oleh satu hawa sirep. Bahkan dalam mimpiku sedang bercumbu dengan Rindu. “Astagfirullah Hal Adjim, Allahuma Shalli Ala Muhammad, baik Pak Haji. Allahuakbar makhluk apa yang sedang melayang di hadapan kita ini Pak Haji?” Saat aku tersadar lalu melihat ke arah depan. Satu makhluk begitu mengerikan melayang di depan kami. Sosok kuntilanak yang sering diceritakan Ibu dan beberapa kali menampakkan diri pada Ibu mertua. Kali ini benar-benar di hadapan kami. Melayang hampir sampai langit-langit kamar. Memakai baju layaknya daster polos putih lusuh dan kotor. Rambutnya begitu lebat panjang tergerai acak-acakan hingga semata kaki. Lidahnya keluar memanjang sampai melilit leher Pak Haji. Sebagian rambutnya bahkan kini mengikat leherku. “Argtz, bagaimana Pak Haji, apa aku harus berakhir di sini. Aku tida
“Dek sudah seminggu berlalu dari peristiwa malam perang yang tak bisa aku sebutkan padamu. Sebab begitulah pesan Kakek Haji kepadaku. Tetapi kamu belum jua terbangun dari tidur panjangmu.” Aku masih bicara dengan Rindu yang masih tertidur di atas kasur. Aku masih setia menemaninya dan hanya bekerja dari rumah. Terkadang orang kantor yang datang ke rumah. Sekedar meminta tanda tanganku atau memeriksakan satu berkas yang tak mereka mengerti. Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Rinduku belum jua terbangun dari terlelapnya. Padahal makhluk buruk rupa setan durjana si kuntilanak. Sudahlah hilang dari tubuhnya hancur menjadi abu. “Dek bangunlah sekali saja, bukankah kita sudah membangun biduk rumah tangga. Walau semua terjadi bukan atas kemauan kita. Tetapi mungkin saja ini semua adalah takdir Tuhan.” Aku masih menyeka tubuh Rindu dengan air hangat. Aku basuh perlahan dengan sabar jengkal demi jengkal tubuh istriku. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tidak luput dari sapuan bas
Huftz,Rindu menghembuskan nafas agak panjang. Ketika Raja selesai melakukannya, melakukan sebuah hasrat keinginan. Keinginan akan wajib suami istri setiap malam Jumatnya. “Eh Dek kamu sudah sadar, Dek Rindu kamu sadarkah. Kamu benar-benar bangunkah sayang, jawab aku dong?” Rudi mencoba bertanya dengan hati berharap apa yang ia lihat benar terjadi. Berharap Rindu benar-benar terbangun dari tidur panjangnya. “Kamu sedang apa Mas Raja?” Satu kata yang keluar dari bibir Rindu yang masih basah. Menggelincir lancar walau matanya masih saja terpejam. “Aduh, badanku capek semua rasanya Mas. Kamu lagi ngapain di atasku?” Rindu kembali bertanya pada Raja yang memang. Posisi Raja masih di atas Rindu malam ini. Bahkan mereka masih baru saja selesai satu ronde. Raja belum juga membersihkan tubuh Rindu. Raja juga belum mengenakan pakaian Rindu kembali. “Anu Dek Rindu, itu apa namanya anu itu loh. Ah kok aku jadi kikuk begini sih!” Raja agaknya bingung harus menjawab apa tentang pertanyaan