Share

Di Teror

"Jangan salahkan saya jika besok salah satu di antara kalian mati!" ancamnya lalu melangkah menjauh dari ruangan para staf perawat dan juga dokter. Lalu di ikuti oleh 10 orang ajudannya yang berbadan kekar dan berwajah galak. 

Laura tak berkutik dari tempatnya, ia masih shock dengan perlakuan pria aneh tadi. Hampir saja pipi mulusnya ternodai, untungnya Nattan cepat bertindak.

"Kamu nggak papa Laura?" tanya Nattan khawatir.

"Huh? Em ... saya nggak papa dok, saya cuma shock karena bapak tadi mau nampar saya." jawabnya seraya terkekeh getir. Ia pun terduduk lemas di atas kursi.

"Siapa sih? Udah tua juga bukannya baik-baik. Eh malah demen cari ribut." celutuk salah satu perawat bernama Ranti.

"Entahlah ... sebenernya ada apa sih nyari-nyari dokter Jerry? Kalau emang pasiennya kok nggak ada ramah-ramahnya gitu! Padahal dokter Jerry juga nggak pernah tuh cuek sama pasiennya." sambung perawat yang lain.

Mereka semua pun di buat bingung atas kedatangan tamu tak diundang itu. Untung saja tak ada yang di rusak oleh ajudan-ajudan pria tadi. Nattan pun menyuruh para perawat untuk bubar dan kembali pada tugasnya masing-masing. Kecuali Laura. Karena ini waktunya ia harus pulang.

"Ayo saya antar Ra." ajak Nattan.

Laura bergeming, ia masih benar-benar kaget dengan perlakuan pria tua tadi. Sebegitu pentingkah keadaan Jerry baginya? Hingga ia begitu marah dan nyaris menampar Laura? Entahlah ... yang jelas pria itu mungkin punya maksud jahat atas tindakannya tadi.

"Hey! Kok bengong? Ntar kesambet lho." Nattan menyenggol lengan gadis itu.

Laura tersadar dari lamunannya, lalu tersenyum getir. Ia pun mengangguk pelan dan beranjak dari kursinya.

"Udah ... nggak usah di pikirin, mulai sekarang saya akan jagain kamu." ucapnya seraya merangkul pundak Laura.

Gadis itu tertegun, dan menoleh, menatap wajah Nattan yang tampak tenang, seolah kata-kata tadi hanya ucapan sederhana yang tidak buat baper. Tapi nyatanya, sesuatu di balik dada Laura berdegup tak karuan.

"Apa aku nggak salah denger ya?" bisiknya lirih dalam hati.

Keduanya pun melangkah meninggalkan ruangan mereka, menuju parkiran. Beberapa saat kemudian, mobil sedan warna silver itu pun melaju meninggalkah halaman rumah sakit.

🌻

Setelah mandi besar dan sholat subuh berjama'ah. Kedua pasangan sejoli ini pun tengah duduk di balkon, menantikan terbitnya sang mentari sambil menikmati secangkir teh dengan cita rasa camomile.

"Mulai sekarang kamu dirumah saja ya. Tak usah bekerja lagi. Biar aku saja yang bekerja." ucapnya memecah keheningan.

Camellia menoleh, menatap wajah lelakinya yang juga menatapnya. Pandangannya nanar.

"Kenapa Mas?"

"Saya hanya ingin melindungimu Camellia. Di luar sana tidak aman untukmu." 

"Baiklah Mas jika itu yang membuat Mas tenang." ucapnya lalu tersenyum. 

Senyuman yang membuat Jerry merasa hangat. Teduh dan juga nyaman untuk terus berada disisinya. 

Sebentar lagi mentari akan menampakkan dirinya. Cahayanya sudah menerobos keluar melalui cela-cela awan yang berada di sekitarnya. 

"Wah ... Beautyfull!" Camellia menatapnya takjub.

Belum pernah ia melihat matahari terbit secara langsung. Ya mau bagaimana, saat masih bekerja dulu, ia sering kena sif malam, dan pulang hampir menjelang pagi. Jangankan melihat, merasakan hangatnya saja tidak.

Jerry beregeming, ia hanya tersenyum memandangi wajah isterinya. Di hatinya ia terus mengucap syukur memiliki Camellia. Tiba-tiba suara dering handpone memecah moment indah di antara mereka.

Jerry bergegas mengambil ponsel yang terletak di atas meja. 

"Sebentar." Jerry bangkit dari duduknya. Dan berjalan sedikit menjauh dari Camellia. 

No tak bernama tertera di layar ponselnya.

Alisnya saling bertautan. Perasaannya tiba-tiba tak enak.

"Halo?"

"Oh ... aku pikir kau sudah ganti nomor!" suara di ujung telepon terdengar sinis.

Jerry menghela nafas berat. Ia tahu siapa orang yang berada di seberang sana.

"Jangan ganggu aku lagi bangsat!!" teriaknya dengan tangan mengepal. Seperti siap-siap akan meninju seseorang.

"Hahaha tidak semudah itu Jerry ... Jika berani memulai, maka harus berani juga mengakhiri bukan?"  ucapnya dengan gelak tawa tak bersahabat.

"Apa mau mu Jackson!! Aku tak ingin  berurusan denganmu lagi! "

"Oh tidak bisa! Kau sudah membunuh adik angkat kesayanganku Jerry ... dan kau harus tanggung jawab!"

"Huh!? Hahahah si brengsek ini! Dia pantas mendapatkannya. Impas bukan?" kini giliran Jerry yang menyeringai.

"Kau tahu ... Yang membunuh isterimu itu bukan Michel! Tapi aku! Hahaha"

"Sudahlah ... Aku tak perduli lagi! Mau kau atau bukan terserah!"

"Aku serius Jerry ... Aku yang memperkosa Tamara dan menyiksanya! Dan aku juga tahu jika saat itu ia tengah mengandung buah cinta kalian! Hahaha"

Jerry langsung terpaku di tempatnya. Rahangnya mengeras menahan gejolak emosi yang sudah meledak-ledak. Kepalan tangannya semakin erat. 

"Kenapa Mas?" tiba-tiba Camellia datang dari arah belakang. Memegang dengan lembut pundak yang bidang itu.

Jerry tertegun dan langsung mematikan panggilan yang masih terhubung diponselnya. Ia langsung tersungkur dengan air mata yang mengaliri pipinya. Membuat sang isteri bingung.

"Ya tuhan ... Kamu kenapa Mas? Siapa yang telpon?" tanyanya bertubi-tubi. Namun Jerry tak menjawab. 

Tanpa bertanya lagi, Camellia langsung memeluk suaminya itu. Memberi ruang untuk Jerry menumpahkan kepedihan yang tak ia ketahui sebabnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status