Setelah selesai menyantap makanannya, Eric langsung berkata, "Tidak perlu dibereskan. Biar aku yang membawanya ke dapur."Mendengar perkataan Eric, tidak membuat Anna menjadi kesenangan. Mana mungkin dia tega membiarkan pria itu membereskan sisa makanannya. Sudah dibuatkan makanan, setidaknya dia juga harus tahu diri dengan tidak membiarkan pria itu membereskan sisanya."Tidak, kamu sudah membuatkanku makanan, jadi biarkan aku membereskan sisa makananku sendiri," ucap Anna, dia segera beranjak dari sana, tetapi dengan cepat Eric segera menahan pergerakannya. "Jangan sampai kita tidak tidur semalaman hanya karena perkara membereskan sisa makanan. Biarkan aku untuk melayanimu malam ini sebagai permintaan maafku atas kejadian—""Sssttttt!" Anna langsung meletakkan jari telunjuknya di depan mulut pria itu. "Ke depannya, jangan pernah bahas lagi mengenai permasalahan ini, mengerti?"Eric menahan senyumannya, tetapi dia tetap mengganggukan kepala sebagai jawaban. Lebih baik saat ini dia me
Eric hanya diam saja, dia tidak memiliki kata-kata untuk bisa menjawab pertanyaan istrinya. Ketika dia menyadari bahwa dirinya mencintai Anna, itu Karena rasa cinta di hatinya muncul secara tiba-tiba tanpa dia rencanakan. Setelah apa yang terjadi pada kedua orang tuanya, Eric tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada seseorang. Bahkan dia sudah bertekad untuk tidak membina sebuah hubungan. Dia tidak ingin menikah dan mengulang kesalahan yang telah diperbuat oleh ayahnya. Saat memutuskan untuk menikahi Anna, selain karena bentuk balas budinya pada Ibu Anna, dia juga dipaksa oleh sang ayah untuk menikah jika ingin mewarisi Shailendra. Eric tidak pernah menyangka bahwa setelah dia bersama dengan Anna, rasa cinta itu malah hadir saat dia melihat istrinya. Jadi, ketika gadis itu bertanya apa arti cinta menurutnya, tentu saja dia tidak bisa menjawabnya. Sebab yang dia tahu adalah dia mencintai Anna. Eric ingin selalu berada di sisinya dan melindunginya. Dia tidak suka Ketika sang istr
Anna mencengkram erat bantal yang dia pegang. Menatap Eric dengan sinis, napasnya berubah cepat. Ingin sekali dia menjahit mulut pria itu yang berani berbicara sembarangan. Seenaknya saja menuduh dia mesum padahal dirinya sendiri lah yang memiliki pikiran kotor tentang hal seperti itu. "Bagaimana ini? Aku tidak mau menjadi korbanmu tapi aku juga tidak bisa tidur di sofa," Eric terus saja berbicara seakan dia tidak melihat wajah Anna yang sudah merah karena amarah. "Atau aku membalut saja tubuhku dengan selimut supaya kamu tidak bisa menyentuhku?" Eric sebenarnya tahu dengan perubahan emosi di diri Anna. Hanya saja menggoda gadis itu menjadi suatu kesenangan baginya. "Sepertinya aku harus meminta seseorang meletakkan satu kasur lainnya untukku." Bugh!Tiba-tiba sebuah bantal mengenai kepala Eric, membuat pria itu terpelanting hingga bunyi debum yang sangat keras terdengar di kamarnya. Eric segera mengambil bantal yang terjatuh ke lantai. Setelah itu melihat Anna yang ternyata suda
Anna melihat keraguan di mata Eric, dia tidak mau memaksa pria itu tetapi untuk acara kali ini, bukankah sudah semestinya mereka hadir? Bukan untuk membungkam mulut orang-orang. Melainkan untuk menghargai Edmund sebab dia merupakan ayah kandung suaminya. Perlahan, Anna memegang kedua tangan Eric, senyuman di wajahnya juga terkembang. Hingga akhirnya pria itu membalas tatapannya lalu menganggukkan kepala. "Baiklah, kita lihat saja besok. Jika aku ingin pergi maka aku akan mengajakmu pergi bersamaku," meski kalimat itu diucapkan dengan tidak peduli, tetapi Anna tahu bahwa suaminya itu pasti akan datang. Setelah obrolan pagi di atas ranjang, mereka lalu bersiap untuk pergi bekerja. Anna mandi lebih dulu kemudian berdandan dengan rapi seperti biasa. Setelah selesai, dia hendak keluar dan pergi ke ruang makan. Tetapi dia teringat bahwa saat ini mereka tidak hanya tinggal berdua. Ada ibu mertuanya yang pasti sudah menunggu mereka. Anna bukannya merasa keberatan dengan kehadiran Vania d
Vania melihat ke arah anak dan menantunya secara bergantian. Seketika dia merasakan sebuah keanehan. Vania menegakkan punggungnya, menatap kembali wajah Anna dan seketika dia menyadari suatu hal."Anna," panggilnya, memegang tangan menantunya sembari tersenyum hangat. Anna menoleh, ditatap seperti itu seketika membuat hatinya tersentuh. Dia tidak pernah mendapatkan tetapan seperti itu dari sosok seorang ibu. Sebab ibu kandungnya sudah tiada ketika melahirkannya dan yang tersisa ternyata adalah ibu tiri yang membencinya. "Iya, Ma, ada apa?" "Hari ini selain bekerja, apakah kamu memiliki rencana?" Anna tidak langsung menjawab pertanyaan Vania. Tentu saja dia merasa keheranan, tetapi dia tidak menunjukkannya. "Tidak ada, Ma. Kebetulan pekerjaan hari ini tidak begitu banyak. Jadi aku bisa pulang lebih awal dari biasanya. Apakah Mama menginginkan sesuatu?" "Bagus sekali! Mama ingin mengajakmu ke suatu tempat. Bisakah?" Meski merasa bingung, Anna tetap menerima ajakan ibu mertuanya t
Vania hanya diam saja ketika Hellen telah menyelesaikan ceritanya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa kehidupan pernikahan putranya tidak seperti pasangan suami istri kebanyakan. "Nyonya, maafkan saya. Tapi tidak sepantasnya bagi saya untuk membicarakan rumah tangga majikan saya meskipun itu kepada Anda. Bisakah Anda untuk merahasiakan perihal ini pada Tuan Eric? Saya takut bahwa hal ini akan mempengaruhi pekerjaan saya." Vania menoleh dan seketika itu juga Hellen menundukkan kepala, ekspresi wajahnya ketakutan. Vania tentu saja paham dengan maksudnya, seorang pelayan memang tidak seharusnya untuk buka suara mengenai rumah tangga majikannya. Dia bersyukur Hellen menyadari perihal batasannya sebagai seorang pelayan. Vania menghela nafas panjang, kemudian dia tersenyum pada Hellen yang sudah mengabdi pada keluarga Shailendra lebih dari 10 tahun. Kesetiaannya tentu saja patut diacungi jempol. Tidak banyak pelayan yang dapat dipercaya dan sangat menjaga kerahasiaan keluarga majika
Anna menyelesaikan pekerjaan yang lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Dia langsung membereskan pekerjaannya kemudian berpamitan pada Erlan. Anna berniat untuk kembali ke rumah dengan menggunakan bus. Jadi dia segera berjalan kaki menuju halte tempatnya tadi tiba.Sebenarnya pekerjaan Anna tidak memerlukan kehadirannya untuk berada di lokasi syuting. Hanya saja beberapa ini kebetulan dia dimintai tolong untuk melakukan beberapa pekerjaan lain. Anna sama sekali tidak keberatan, baginya hal ini bisa menjadi sebuah pengalaman baru untuknya. Selain itu, Anna juga bisa merefreshing otak supaya tidak terus-menerus melihat layar laptop.Anna melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Tentu dia ingat dengan janjinya bersama dengan ibu mertuanya. Anna segera mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan singkat pada Vania. Baru saja pesan yang dikirim, tiba-tiba ponselnya langsung berdering. Sebuah panggilan masuk yang berasal dari ibu mertuanya.Anna tersenyum melihat
Tepat pada saat itu Vania keluar dari dalam rumah. Melihat Anna yang ternyata sudah sampai, senyuman di wajahnya semakin cerah. Vania berjalan menghampiri anak dan menantunya, kemudian langsung menuju Anna. Membuat Eric hanya bisa melongo ketika ibu kandungnya malah menghampiri istrinya. "Ma, aku ada di sini," ucap Eric dengan kesal. Melihat sikap Eric yang sangat berbeda, membuat Anna tersenyum lucu. Ternyata meski Eric adalah seorang lelaki dewasa, tetapi jika berhadapan dengan ibu kandungnya tetap saja akan berubah menjadi anak kecil. "Mama tahu, tapi tujuan mama adalah bertemu dengan menantu kesayangan mama," Vania tak acuh. Seakan saat ini pandangannya hanya tertuju pada Anna. "Anna, kamu sudah siap?" Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, tentu membuat Anna merasa sangat terkejut dan bingung, "Siap kemana, Ma?" "Kamu lupa bahwa kita punya janji hari ini?" Anna mana mungkin lupa, dia hanya sekadar berbasa-basi saja, lebih tepatnya sedang berpikir bagaimana cara untuk