“Apa ada perkembangan baru dari kasus ini, Mbak?” Bram mulai merasa kalau masalah yang dihadapi Seruni lebih rumit dari perkiraannya. “Iya, Pak. Tapi untuk lebih jelasnya langsung ketemu Mbak Dewi saja karena saya tidak punya kewenangan untuk menjelaskan.” Mata perempuan itu melirik Seruni yang berdiri sedikit di belakang Bram.Bram tersenyum mafhum. Tidak semua data memang bisa diumbar bebas. ““Kalau nanti status korban naik menjadi saksi dan membutuhkan perlindungan, Bapak bisa mengkonfirmasi polisi dan Mbak Dewi. Kami juga punya shelter khusus yang bisa dimanfaatkan.”“Sepertinya belum perlu. Saya bisa mengatasinya sendiri. Dia aman di rumah saya.” Kasus? Korban? Seruni menatap Bram dan perempuan itu bergantian dengan sorot mata bingung. Kanaya dan Bram tidak pernah menjelaskan padanya dan kini ia terlempar masuk ke dunia baru. Lalu, ingatannya bertemu wajah si tato kalajengking. Apa laki-laki itu melaporkan aku ke polisi? Seruni penasaran, tetapi tidak punya cukup nyali untu
“Ehm, jadi gini, Seruni ….”Melihat paras pasi gadis di hadapannya, Dewi segera meraih salah satu tangan Seruni dan menggenggamnya seraya tersenyum menenangkan.“Polisi cuma mau nanya ke kamu. Jawab sejujurnya. Kalau nggak tahu, kamu bilang saja apa adanya.”Seruni bergeming sesaat. Ia memegang kuat-kuat lengan Bram sementara matanya tidak pernah lepas dari wajah Dewi.Hampir saja Bram mengaduh karena cengkeraman Seruni begitu kuat. Diliriknya gadis di sampingnya sambil menghela napas. Berada di dekat Seruni saat kondisi kritis ternyata sangat menyakitkan. Setelah ditendang, kini lengannya harus menjadi korban. Bram menyesal menanggalkan jas dan menggulung kemeja sampai siku sehingga kuku Seruni seperti menembus kain pakaian yang dikenakannya.“Semua akan baik-baik saja, Seruni. Kamu nggak usah khawatir.”“Apa penjahat itu melaporkan saya?”Dewi sedikit menelengkan kepala. “Jadi kamu memang beneran pernah berhubungan dengan salah satu mucikari besar di kota ini?”Sejenak mulut Seruni
“Saya?” Seruni menunjuk dirinya dan menatap Rain dengan bingung.“Mommy.” Bibir mungil gadis kecil itu mengulang panggilannya.“Bukan, Sayang. Itu Kakak Seruni, bukan Mommy.” Bram berbicara seraya menggerakkan salah satu tangan yang tidak digunakan untuk menggendong.Seruni menggeser posisi. Kini ia berada di depan Bram sehingga tidak perlu menoleh ke belakang agar bisa bertemu pandang dengannya. “Halo, Rain. Senang berkenalan denganmu.” Seruni memegang jemari lembut milik Rain.“Kakak Seruni senang berkenalan denganmu, Sayang.” Bram berkata sembari menjelaskan dengan bahasa isyarat. “Tapi Kakak Seruni bukan Mommy. Mommy Rain sudah di surga. Rain masih ingat cerita Daddy, kan?”Mengesampingkan rasa takutnya akan dimarahi Bram, Seruni nekat menatap wajah lelaki itu karena mendengar suaranya yang bergetar. Seruni bisa melihat jika paras tampan Bram mendadak keruh dan sorot matanya meredup. Tidak ada lagi Bram yang ketus dan galak. Di hadapannya kini berdiri pria rapuh dengan luka menga
“Ceroboh!” Hardikan Bram mengguncang telinga Seruni yang tergopoh menghampiri Rain. Pria itu terburu-buru berlari keluar dapur saat melihat putrinya jatuh.Awalnya, tidak ada yang salah dengan Rain. Gadis itu minta turun dari gendongan lalu berjingkrak-jingkrak sambil menggerak-gerakkan bunga di tangan. Pipi Rain bersemu merah terkena terpaan cahaya matahari pagi. Poni dan rambutnya yang dikuncir ekor kuda bergerak-gerak seiring gerakan tubuh Rain.Lalu, gadis itu berlari ke dapur saat melihat sang ayah tengah mengamatinya dari balik jendela. Tangan Rain menggenggam beberapa tangkai zinnia merah dan kosmos kuning yang dipetik Seruni. Ia ingin memperlihatkannya pada Bram, tetapi kakinya tersandung jalan setapak menuju air mancur hingga tubuhnya jatuh terjerembab mencium tanah. Pipi dan tangannya lecet. Wajah Rain kotor oleh tanah bercampur air mata.“Maaf, Pak.” Seruni mendekati Rain dengan jantung serasa mau melompat keluar. Hati Seruni menciut tatkala mendapati paras dan mata Bram di
Pria bertopi tengkorak itu berdiri dengan posisi menghadap ke jendela bus, menatap kendaraan yang sesekali menyalip. Seperti biasa, pagi itu Trans Jogja dipenuhi penumpang, tetapi tidak terasa pengap karena suhu rendah dari mesin pendingin. Dirirupnya udara beraroma parfum dan bedak dengan wangi beragam, mengingatkan lelaki itu pada permen Nano-Nano yang pernah tren.Satu dua kali lirikan pria bertopi tengkorak itu bertemu pandang dengan Seruni. Ia bisa merasakan jejak curiga pada mata gadis itu sehingga akhirnya memutuskan turun di halte kedua dan mengubah rute perjalanan.Membiarkan Seruni berganti bus, laki-laki bertopi tengkorak itu memilih ojek online sebagai pengganti Trans Jogja. Ia tiba di halte terdekat dengan La Luna jauh lebih cepat ketimbang Seruni. Ia masih punya waktu untuk menghubungi salah satu temannya agar membawakan baju kemudian berganti kostum. Seruni tidak akan curiga karena ia menambahkan kumis dan cambang lebat.Pria bertopi tengkorak, kini ia menggunakan topi
Menghabisi Seruni? Tuan Besar mendengkus. Aku memang akan merencanakannya, tapi nanti, setelah mencicipi tubuhnya. Jangan sampai dia mati sebelum aku sempat melakukan apa pun. “Sekarang Seruni bukan ancaman utama bisnis kita, Gou,” ujarnya dingin. “Justru masalahnya ada di kamu karena identitas lengkap kamu sudah di tangan polisi. Aku bisa pastikan, polisi juga pasti sudah mengendus markas kita.”“Sesuai perintah, markas sudah pindah, Tuan. Anak-anak semua tiarap. Tuan tidak perlu khawatir.” Si tato kalajengking mencoba berkelit. “Sebelum Seruni kembali membuat ulah, lebih baik dia kita habisi dulu, Tuan. Serahkan pada saya. Semua akan beres dalam hitungan jam.”Si Tuan Besar tersenyum sinis. Dasar tak tahu diri. Masih sempat-sempatnya dia membual!“Kenapa tidak kau pikirikan kemarin, waktu Seruni lepas, hah?” Kepalan tangan Tuan Besar membentur meja kayu jati hingga pulpen dan asbak di atasnya berlompatan. “Harusnya, kamu segera cari dan tangkap dia! Bukan membiarkannya bebas dan s
Honda Accord yang dikemudikan Bram memasuki area parkir Hotel La Luna. Pria itu melihat tablet kemudian mengecek pesan WhatsApp. Lalu, tanpa berkata apa pun pada Seruni, Bram turun dari mobil.“Terima kasih, Pak.” Seruni mengangguk sopan pada Bram. Hatinya mulai tidak enak karena melihat resepsionis yang menggosip tentangnya kemarin lewat di depannya. Karyawan itu menatap sinis Seruni setelah tersenyum pada Bram.“Hemm.” Bram melirik Seruni sekilas dan meneruskan langkah dengan cepat seolah ia akan tertinggal sesuatu jika tidak bergegas.Seruni menghela napas. Dilihatnya tubuh Bram seraya berjalan di belakangnya. Setelah ini, hidupnya di La Luna akan semakin berat. Semakin banyak karyawan tahu dia terhubung dengan Bram. Tadi, ia terpaksa menerima tumpangan Bram karena takut terlambat presensi kedatangan. Ia sedang menjalani masa percobaan. Satu kesalahan akan menggagalkan semua usahanya. Menerima tawaran Bram untuk bareng sampai La Luna adalah satu-satunya pilihan agar tidak telat mes
“Silakan duduk, Om. Kita sudah separuh jalan.” Bram mengabaikan protes Aditya. Ia berkata dengan santai meski dadanya disesaki gumpalan rasa kesal. Terlambat satu dua menit masih bisa ditolelir, tetapi hampir setengah jam, Bram seperti ingin menerkam dan membanting sang paman. “Kenapa tidak menunggu aku? Semua kebijakan dan keputusan perusahaan harus atas sepengetahuan aku.” “Duduk dulu, Om, biar enak ngomongnya.” Bram menarik kursi di samping Kai. “Rapat kita masih lama dan kita tidak punya waktu untuk berdebat.” Bola mata Aditya memindai semua peserta rapat pagi itu. Aditya bisa membaca keinginan mereka agar tidak memperpanjang masalah. Perseteruannya dengan Bram memang seperti akar pohon beringin berusia ratusan tahun. Setelah menimbang sejenak, Aditya memenuhi perintah Bram. Masih dengan menahan kesal di hati, pria dengan rambut klimis itu mendekati kursi di samping Kai. Sesaat, wajah Bram berkerut. Hidungnya bisa menghidu aroma anggur dan parfum perempuan dari baju Aditya. T