Binar terkejut juga jelas sekali tergambar di wajah cantik itu. Wajah ketua tim cheerleaders zaman SMA dulu. “Kalila? Vino?” Seolah memastikan, Kak Nindi menyebut namaku dan lelakiku secara bergantian. Mama, Papa, dan Mas Alan juga tak kalah terkejut. “Kamu kenal sama mereka, Nin?” tanya Mas Alan akhirnya. “Oh, iya, Mas. Vino teman SMA-ku, dan kita juga pernah kuliah di kampus yang sama. Kalila juga adik kelas kami waktu SMA.” “Wah ... berarti enggak perlu kenalan lagi, dong, ya. Tinggal saling mengakrabkan diri lagi aja,” sahut Mama. Wajah-wajah kaget tadi langsung mencair setelah wanita yang dibawa Mas Alan memberikan sedikit penjelasannya. Kami pun memulai acara makan malam walau aku dan Mas Vino jadi sedikit tak leluasa seperti biasanya. Bukan masalah ada orang baru yang bergabung dengan kami, tetapi ada orang dari masa lalu yang kini hadir kembali di tengah-tengah kami. Aku jadi teringat info dari Luna beberapa waktu yang lalu, bahwa Kak Nindi gagal menikah sebab perusahaan
Aku mengerjapkan mata berulang kali. Sadar jika setan dan bala tentaranya nyaris berhasil mengepung kami dalam kemaksiatan. Segera kutarik tangan dari genggaman Mas Alan.Lelaki tampan di depanku ini seperti mengerti dan juga mulai sadar jika dirinya telah terhipnotis bujuk rayu Dasim, setan yang punya tugas menghancurkan pernikahan anak cucu Adam. Mas Alan meraup wajahnya dengan kasar. Kalimat istigfar lirih kudengar dari bibirnya yang tipis. Aku pun melakukan hal yang sama, beristigfar dalam hati dan mengatur napas sebaik mungkin.“S-sorry, Kal. Mas terbawa suasana.”Aku mengangguk dan segera menelepon bagian food and beverage. Meminta dibuatkan cokelat panas kesukaan untuk menenangkan hati dan pikiran.Jika biasanya keakrabanku dan Mas Alan dulu akan membuat kita tertawa haha-hihi tanpa beban, tetapi berbeda dengan saat ini. Statusku adalah seorang istri. Aku harus menjaga batasan bercengkerama dengan lawan jenis, sekalipun itu masih terbilang family. Apalagi jika tadi ada seseoran
Ya, hal yang sama juga sedang kupikirkan. Kenapa Nindi tidak dengan Mas Alan? Bukannya kemarin malam mereka sudah go publik hingga perkenalan dengan keluarga? Kenapa sekarang Kak Nindi malah jalan dengan pria lain dengan begitu mesra?Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk dalam hati. Bukan, bukan aku cemburu. Mas Vino pasti berpikiran yang sama denganku.“Beneran itu Nindi?”Aku mengangguk. Tak lama setelah itu keduanya masuk ke sebuah mobil dan hilang dari pandangan.Aku segera merogoh dompet dan mengeluarkan pecahan uang warna merah. Menarik lengan suami tanpa meminta uang kembalian pada pemilik angkringan.“Mbak, jujule?” (Mbak, kembaliannya?)“Kersane, Pak, kagem njenengan mawon,” ucapku sopan pada seorang lelaki cukup usia.(Enggak pa-pa, Pak, buat Anda saja.)Melihat wajahku yang mungkin sudah tak enak dipandang dan tak mau didebat, Mas Vino hanya diam.“Cepat, Mas, ikutin mobil itu!”Suamiku hanya mengangguk seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.“Punggungmu aman, kan, Mas? Atau
Seminggu setelah perdebatan di kamar hotel kala itu, Mas Vino mengutarakan keinginannya pada mama dan papa untuk segera pulang ke Semarang dan membawa serta diri ini. “Kapan tepatnya, Nak?” tanya Papa. “Jika Papa dan Mama enggak keberatan, lusa kami berangkat.” Aku hanya menyimak tanpa mau mendebat atau menambahi. Biarkan, toh memang diri ini sudah sepenuhnya tanggung jawab suami. “Tentu saja Papa enggak keberatan. Kalila memang sudah menjadi tanggung jawabmu setelah ikrar suci pernikahan terucap dan disahkan.” Mas Vino tersenyum. “Makasih, Pa, Ma.” Mama pun hanya tersenyum walau aku bisa menangkap raut sedih dari wajahnya. Pasti Mama akan merasa kesepian. Ah, memang harusnya punya anak enggak hanya satu, apalagi anak perempuan pasti akan dibawa suaminya suatu saat nanti. Untuk masalah pekerjaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, Jogja-Semarang bukanlah jarak yang terbilang jauh. Kami kembali ke kamar usai berbincang di ruang keluarga. Semenjak perdebatan di kamar hotel
Dadaku sudah panas sedari tadi, ditambah ucapannya yang menunjukkan betapa murahannya dia. Namun, aku masih bersikap tenang, tak ingin terpancing emosi. Usai mengucapkan kalimat menjijikkan itu, Nindi pergi menenteng tas branded-nya.Aku beristigfar lirih, menormalkan irama jantung yang berdetak cepat saat bayangan di lab semasa SMA terlintas kembali.“Mbak Kalila baik-baik saja?”Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Salma.“Maaf, Mbak, apa dia mantannya Pak Vino?”“Bukan, tapi dia perempuan yang sudah bikin aku sama Mas Vino salah paham sampai akhirnya kita terpisah cukup lama.”“Maksudnya ... Mbak Kalila sama Pak Vino dulunya memang pacaran?”Aku mengangguk.“Owalah, tertawan pesona mantan, Mbak? Baru tahu aku.”Aku tersenyum dan mencubit kecil punggung tangan Salma. Tidak banyak yang tahu masa laluku dan Mas Vino kecuali orang-orang terdekat saja. Dan Salma baru tahu hari ini. Aku menengok jam di pergelangan tangan. Sudah hampir Magrib.“Sal, bisa temani aku ke apartemenn
Entah angin apa yang membuat Kalila datang ke apartemenku. Terkejut? Sudah pasti. Bahagia? Tepat sekali. Ini kali pertama kerabat yang sudah kuanggap layaknya adik itu datang tanpa teman. Biasanya dia berdua dengan asistennya, pernah juga sama mamanya. Namun, kali ini kenapa datang sendiri? Berani sekali dia menghampiri kandang Singa yang sudah lama mengincar kelinci?Aku terus mengingatkan diri untuk selalu menjaga Kalila. Kami dibesarkan bersama-sama, walau saat itu usiaku sudah dewasa dan dia masih beranjak remaja. Ketulusan Om Nazeem dan Tante Mirna tak akan kusia-siakan. Mereka adalah orang tuaku, jadi Kalila adalah adikku.Akan tetapi, kebersamaan kami yang setiap waktu sering berinteraksi memunculkan rasa aneh dalam diri ini. Senyumnya, tingkah manjanya, kecerdasannya, serta wajah ayunya berhasil membuatku menyimpan rasa yang berbeda. Ya, aku mulai menyukainya, jatuh cinta.Kalila dewasa begitu memesona. Terlebih saat dia diangkat menjadi direktur utama Grand Adiwilaga Hotel an
Aku berlari ke arah toilet dan membasuh wajah dengan air dari kran wastafel. Menghapus air mata dan menghilangkan jejak-jejak kekurangajaran Mas Alan di sana. Bisa-bisanya dia mencuri ciuman dariku. Bisa-bisanya dia nekat mengungkapkan isi hatinya kepadaku.Kutatap lamat-lamat wajah di kaca. Mengembuskan napas dan mengelap wajah ini dengan tisu. Jangankan bermain api, didekati api pun aku enggan. Setia itu mahal. Jangan pernah ajari aku tentang pengkhianatan. Wanita mahal tak akan mau disentuh lelaki yang bukan mahram.Semua kekagumanku kepada Mas Alan selama ini lenyap seketika. Tidak ada yang melarang jatuh cinta, tetapi mengertilah dan sebaiknya mundur jika cinta itu akan merusak pasangan halal yang tengah berbahagia. Kenapa Mas Alan masih nekat bilang cinta dan ... berani-beraninya dia menyentuh apa yang tidak halal untuknya?Segera aku menelepon Salma.“Ya, Mbak?”“Kamu ambil mobil, ya, Sal. Aku tunggu di depan lobi. Kita ke masjid terdekat dulu, aku mau salat Magrib.”“Oh, oke,
Mas Vino mengurai pelukan dan menangkup kedua pipi ini dengan tangan kekarnya. Menghapus air mata yang menjejak bak air hujan di jendela kaca.“Sudah, Sayang. Enggak apa-apa. Anak kucingnya sudah dikubur,” ujarnya lembut dengan menampilkan senyum.Untung kalimat pengakuanku tadi hanya terucap dalam hati saja. Aku tidak akan mengadu pada siapa pun tentang keberanian Mas Alan selain kepada Tuhan. Biarlah rahasia ini kusimpan rapat-rapat. Jika mampu, akan kupendam sendiri hingga akhir hayat.Bukan ingin melindungi Mas Alan, tetapi aku tak mau jika papa dan mama akan membencinya. Dia hidup sebatang kara. Kami adalah keluarganya. Mungkin dengan nomornya yang sudah kublokir akan sedikit menamparnya, bahwa adik manisnya ini bukanlah wanita kebanyakan.“Mmm, kalau gitu saya pamit dulu, Bu Kalila, Pak Vino,” ujar Salma. Panggilannya sudah kembali ke mode formal, mungkin tidak enak dengan Mas Vino.Aku menoleh. “Makasih, Sal. Maaf, enggak jadi nganterin kamu pulang.”“Enggak pa-pa, Bu. Saya sud