Entah angin apa yang membuat Kalila datang ke apartemenku. Terkejut? Sudah pasti. Bahagia? Tepat sekali. Ini kali pertama kerabat yang sudah kuanggap layaknya adik itu datang tanpa teman. Biasanya dia berdua dengan asistennya, pernah juga sama mamanya. Namun, kali ini kenapa datang sendiri? Berani sekali dia menghampiri kandang Singa yang sudah lama mengincar kelinci?Aku terus mengingatkan diri untuk selalu menjaga Kalila. Kami dibesarkan bersama-sama, walau saat itu usiaku sudah dewasa dan dia masih beranjak remaja. Ketulusan Om Nazeem dan Tante Mirna tak akan kusia-siakan. Mereka adalah orang tuaku, jadi Kalila adalah adikku.Akan tetapi, kebersamaan kami yang setiap waktu sering berinteraksi memunculkan rasa aneh dalam diri ini. Senyumnya, tingkah manjanya, kecerdasannya, serta wajah ayunya berhasil membuatku menyimpan rasa yang berbeda. Ya, aku mulai menyukainya, jatuh cinta.Kalila dewasa begitu memesona. Terlebih saat dia diangkat menjadi direktur utama Grand Adiwilaga Hotel an
Aku berlari ke arah toilet dan membasuh wajah dengan air dari kran wastafel. Menghapus air mata dan menghilangkan jejak-jejak kekurangajaran Mas Alan di sana. Bisa-bisanya dia mencuri ciuman dariku. Bisa-bisanya dia nekat mengungkapkan isi hatinya kepadaku.Kutatap lamat-lamat wajah di kaca. Mengembuskan napas dan mengelap wajah ini dengan tisu. Jangankan bermain api, didekati api pun aku enggan. Setia itu mahal. Jangan pernah ajari aku tentang pengkhianatan. Wanita mahal tak akan mau disentuh lelaki yang bukan mahram.Semua kekagumanku kepada Mas Alan selama ini lenyap seketika. Tidak ada yang melarang jatuh cinta, tetapi mengertilah dan sebaiknya mundur jika cinta itu akan merusak pasangan halal yang tengah berbahagia. Kenapa Mas Alan masih nekat bilang cinta dan ... berani-beraninya dia menyentuh apa yang tidak halal untuknya?Segera aku menelepon Salma.“Ya, Mbak?”“Kamu ambil mobil, ya, Sal. Aku tunggu di depan lobi. Kita ke masjid terdekat dulu, aku mau salat Magrib.”“Oh, oke,
Mas Vino mengurai pelukan dan menangkup kedua pipi ini dengan tangan kekarnya. Menghapus air mata yang menjejak bak air hujan di jendela kaca.“Sudah, Sayang. Enggak apa-apa. Anak kucingnya sudah dikubur,” ujarnya lembut dengan menampilkan senyum.Untung kalimat pengakuanku tadi hanya terucap dalam hati saja. Aku tidak akan mengadu pada siapa pun tentang keberanian Mas Alan selain kepada Tuhan. Biarlah rahasia ini kusimpan rapat-rapat. Jika mampu, akan kupendam sendiri hingga akhir hayat.Bukan ingin melindungi Mas Alan, tetapi aku tak mau jika papa dan mama akan membencinya. Dia hidup sebatang kara. Kami adalah keluarganya. Mungkin dengan nomornya yang sudah kublokir akan sedikit menamparnya, bahwa adik manisnya ini bukanlah wanita kebanyakan.“Mmm, kalau gitu saya pamit dulu, Bu Kalila, Pak Vino,” ujar Salma. Panggilannya sudah kembali ke mode formal, mungkin tidak enak dengan Mas Vino.Aku menoleh. “Makasih, Sal. Maaf, enggak jadi nganterin kamu pulang.”“Enggak pa-pa, Bu. Saya sud
Di sinilah aku saat ini. Masih di bawah kolong langit yang sama, tetapi di daerah yang berbeda. Sudah tiga hari aku hidup seatap dengan mertua setelah Mama, Papa beserta Pak Narto ikut mengantarkan aku dan suami ke kota Lawang Sewu. Sepasang tangan memeluk hangat pinggangku dari belakang. Aku menoleh hingga hidung bangir itu langsung bertabrakan dengan hidungku. Senyum kami merekah seketika.“Betah, kan, tinggal di sini?”Aku mengangguk dan kembali menghadapkan wajah ke depan. Kini, dagu Mas Vino ia tempelkan di atas bahuku sebelah kanan. “Eh, hampir lupa. Aku belum tahu nomor rekeningmu.”Keningku berkerut. “Buat apa?”Mas Vino melepas pelukan dan mengambil ponselnya. “Catat nomor rekeningmu, Yang!” perintahnya dengan menyodorkan HP pintarnya.Tanpa berlama-lama, langsung kuketik nomor rekeningku. Beberapa saat Mas Vino tampak mengutak-atik ponselnya hingga terdengar sebuah notif dari ponselku di dekat sofa balkon.Aku mendekat dan meraih benda pintarku. “150 juta?” Sebuah nomina
"Aku mau keliling. Boleh?” “Boleh, dong. Minta temani karyawati, ya? Biar sekalian bisa nunjukin kamu tentang apa saja yang ada di sini.” “Hmm, boleh.” Aku berjalan lebih dulu saat Mas Vino memanggil salah satu pekerjanya untuk menemaniku. Pemandangan di sini tak kalah indah dari Jogja. Segar dan memukau. “Hai!” sapaku ramah pada seorang wanita cantik yang mulai mengikutiku langkahku. Dia hanya menunduk sopan menjawab salam perkenalanku. “Sudah lama kerja di sini?” “Alhamdulillah, masuk tahun kedua, Bu.” “Betah berarti, ya?” “Alhamdulillah, Bu.” Aku melihat sebuah area di mana banyak binatang dan spot-spot bermain untuk anak-anak. “Di sini ada mini zoo-nya juga, ya?” tanyaku. “Benar, Bu.” Aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum saat melihat beberapa anak ditemani orang tua mereka sedang memberi makan kelinci dan merpati. Ada juga yang tengah berselfie dengan anggota keluarganya di spot-spot foto yang tersedia. Belum lagi wahana kolam renang yang menjadi musabab suara ana
Senyumku perlahan memudar sesaat setelah gadis ayu itu mengucapkan kalimat menohok yang terasa meremas segumpal daging dalam dada ini. Raut wajah mertua Ratu tampak pias. Jelas sekali mereka menyayangkan perkataan salah satu dari putrinya.“E-eh, maaf Nak Kalila. Si Gendis ini memang suka bercanda. Iya, kan, Pak?” Istri Om Warman terlihat tak enak hati.“Gendis, kalau bercanda tahu tempat, Nak,” tambah sang bapak memperingati.Gadis ayu itu hanya mengembungkan pipinya. Sementara kakaknya tetap menatapku dengan aura permusuhan. Ada apa dengan mereka?“Gendis kalau bercanda sama Vino memang begitu, suka kebablasan. Tapi emang cuma guyon, kok. Enggak perlu dipikirkan.”Aku berusaha tenang walau hati mulai berang. Dalam perjalanan pulang, kami saling diam. Sedikit pun Mas Vino tak ingin memulai percakapan. Entah karena ucapan si Gendis memang tak perlu dipikirkan atau Mas Vino menyimpan sesuatu yang memang belum diceritakan.Sebisa mungkin aku menekan emosi. Namun, entah kenapa tubuh dan
Entah jam berapa aku terbangun. Merasakan perut yang mulai terasa keroncongan usai pergulatan sengit hingga lebih dari tiga babak. Aku menoleh ke samping. Mas Vino pun masih bertelanjang dada di balik selimut yang kami pakai bersama.Aku bangkit lebih dulu dengan kembali melilitkan handuk pada tubuh dan segera menuju kamar mandi. Ternyata masih jam sebelas malam. Segera aku memutar air hangat untuk mandi janabah. Belum salat Isya juga.“Eh!” Aku berjingkat kaget saat dua buah real squisy-ku diraup dari arah belakang.Ah, elah, si biang keladi ikutan bangun pula.“Udah, Mas. Aku lapar. Mau mandi dulu, salat Isya, terus makan. Skip dulu, deh. Lanjut besok lagi.”Lelakiku terkekeh. “Dih, siapa juga yang mau nambah? Aku cuma mau bantuin istri cantikku ini buat gosokin sabun.”“Enggak! Aku gosok-gosok sendiri aja,” sahutku dan sedikit menjauh untuk meraih sabun cair.Mas Vino semakin terkikik. Dia menengadah dan mulai membasahi wajah tampannya dengan guyuran air shower. Kini, malah aku yan
Aku terenyak mendapati Aldrin sudah duduk di hadapanku. Dengan santainya dia memanggil waiter dan memesan makanan dan minuman. Luna hanya bergeming. Raut bingung dan kaget serasa berkolaborasi menjadi lagu sumbang.“Hei! Malah bengong. Apa kabar?”Aku mengerjapkan mata.“Eh, hai. Aku baik,” jawabku.“Lun, masih lapar, enggak? Pesan yang banyak, aku yang bayar.” Kini Aldrin beralih bicara pada Luna.“Oh, enggak. Aku udah mau pulang, kok,” sahut Luna enteng.“Oh, udah mau pulang, ya? Kalo gitu aku pinjam Kalila bentar, ya. Boleh, kan, Lun?”Wanita dengan jepit rambut di samping kepalanya itu hanya mengedikkan bahu. “Tanya aja sama Kalila, dianya mau enggak? Kalau dia nggak mau jangan maksa.”Kini Aldrin menatapku, menunggu jawaban tanpa mengulang pertanyaannya. Sebenarnya aku malas berhadapan lagi dengannya. Namun, aku penasaran kenapa dia kembali ke sini?“Apa ada hal penting yang mau kamu omongin?” tanyaku. “Kalau cuma mau basa-basi, maaf aku enggak bisa.”“Kenapa? Belum izin suami?”