Aku terenyak mendapati Aldrin sudah duduk di hadapanku. Dengan santainya dia memanggil waiter dan memesan makanan dan minuman. Luna hanya bergeming. Raut bingung dan kaget serasa berkolaborasi menjadi lagu sumbang.“Hei! Malah bengong. Apa kabar?”Aku mengerjapkan mata.“Eh, hai. Aku baik,” jawabku.“Lun, masih lapar, enggak? Pesan yang banyak, aku yang bayar.” Kini Aldrin beralih bicara pada Luna.“Oh, enggak. Aku udah mau pulang, kok,” sahut Luna enteng.“Oh, udah mau pulang, ya? Kalo gitu aku pinjam Kalila bentar, ya. Boleh, kan, Lun?”Wanita dengan jepit rambut di samping kepalanya itu hanya mengedikkan bahu. “Tanya aja sama Kalila, dianya mau enggak? Kalau dia nggak mau jangan maksa.”Kini Aldrin menatapku, menunggu jawaban tanpa mengulang pertanyaannya. Sebenarnya aku malas berhadapan lagi dengannya. Namun, aku penasaran kenapa dia kembali ke sini?“Apa ada hal penting yang mau kamu omongin?” tanyaku. “Kalau cuma mau basa-basi, maaf aku enggak bisa.”“Kenapa? Belum izin suami?”
Aku menoleh ke arah sumber suara yang seolah-olah menjadi penolongku saat ini. Namun, lagi-lagi aku merasa tengah dikepung bahaya saat ternyata Mas Alan yang datang dan mendekat. “Lepasin tangan Kalila!” Lagi, Mas Alan berucap dengan mata menatap tajam pada Aldrin. Dengan terpaksa Aldrin melepas pergelanganku dan mengangkat kedua tangannya ke udara seperti tanda menyerah. Namun, senyum miring tetap ia tampilkan. “Hai, Pak Komisaris hotel and resort Grand Adiwilaga. Apa kabar? Makin keren saja, Pak," candanya. "Eh, masih betah melajang?” “Kabar baik. Alhamdulillah masih," jawab Mas Alan datar dan jelas. “Wah, wah, wah ... tampaknya Anda bangga sekali, ya, jadi jomlo sejati. Atau jangan-jangan ... Anda lemah syahwat sampai tak berniat mendekati seorang wanita?” Aku menggeleng lemah. Tampaknya Aldrin yang dulu kukenal memang sudah mati. Kini, yang ada di depan mata hanyalah manusia culas yang suka memancing di air keruh. Aku menatap Mas Alan yang terlihat masih santai walau Aldrin m
Ya, sebelum pulang ke Jogja, aku dan Mas Vino memang kembali mengonsumsi daging kambing karena gairah kami dalam bercinta memang terasa berbeda. Lebih berani dan bisa tahan hingga beberapa ronde. Kami seperti ketagihan mengonsumsinya agar ranjang kian panas.Aku menggeser ikon terima dan Mama berlalu setelahnya.“Assalamu’alaikum, Mas ...”“Wa’alaikumsalam, Sayang.” Keningnya berkerut. “Kamu udah mau tidur?”Aku tersenyum. “Belum, tadi habis ketemuan sama Luna di kafe. Pulang-pulang langsung mual.”Aku berusaha menahan gejolak melihat suamiku di sana hanya bertelanjang dada dan handuk yang melilit bagian bawahnya.“Mual?”Aku mengangguk.“Pusing? Atau kecapekan?”Aku menghela napas. “Mungkin ....”Setelah beberapa kali tes mandiri menggunakan tespek tapi tak kunjung mendapatkan dua garis merah, aku dan Mas Vino memang tak mau menduga-duga. Pusing dan mual kadang datang kalau tubuh ini sudah protes karena terlalu diforswir.“Overdosis daging embek,” lanjutku random.Mas Vino terbahak h
Tubuhku luruh dengan punggung menyandar pada dinding. Aku menangis sesengukan mendapati kenyataan. Belum ditakdirkan menjadi wanita seutuhnya benar-benar menyesakkan. Lagi-lagi penyesalan kembali datang, kenapa aku harus melakukan tes kehamilan ... lagi?“Yang ....” Mas Vino mendorong pintu kamar mandi yang memang tak tertutup rapat. Seketika dia kaget melihatku terduduk dengan menyandar di dinding keramik. “Sayang, kamu kenapa?” Gegas ia menghampiri.Diraihnya tespek dari tangan. Lelakiku mengembuskan napas dan menarik perlahan kepala ini, lalu ditempelkan ke dadanya yang bidang. “Its oke, Sayang. Jangan berkecil hati. Kan, aku udah sering bilang kalau kita ini masih pengantin baru, Insya Allah masih banyak waktu.”Ya, memang baru lima bulan, tapi aku sudah mulai dibayangi rasa takut jika seorang penerus itu tak juga dinyatakan datang. Mas Vino membantuku berdiri dan berjalan ke ranjang.“Masih pusing?”Aku menggeleng.“Mual?”Kembali aku menggeleng.“Mandi, yuk. Terus salat Subuh be
Hamparan pasir putih sangat memanjakan mata. Jilatan ombak begitu mesra menyapu bibir pantai. Angin pun bersiul, menyanyikan lagu kebebasan penuh ketenangan. Kuhirup dalam-dalam udara yang bebas polusi, mengembuskannya perlahan dengan merentangkan kedua tangan.Tangan Mas Vino melingkar di perut dari arah belakang. Membisikkan kata cinta bak pujangga. Aku tersenyum dan mengelus pipinya yang halus. Teringat aku akan perkataan dari seorang novelis dan penulis skenario asal Amerika Serikat–Nicholas Spark–katanya ... cinta itu seperti angin, kita tak bisa melihatnya, tetapi bisa merasakannya.“Kamu suka pantai?”“Hm,” jawabku.“Kenapa?”“Pantai itu menenangkan. Membuat kita banyak mengingat kekuasaan Allah betapa kecilnya kita saat berada di hadapan hamparan air laut.”“Biasanya ke pantai sama siapa?”“Mas Alan,” jawabku jujur.Tak ada sahutan dari lelakiku.“Mas?”“Hm?”“Kamu udah enggak cemburu sama dia, kan?” tanyaku ingin memastikan.“Cemburu itu wajar, asal enggak buta. Sejauh ini, k
Tak jauh dari tempat lelaki misterius itu berdiri, banyak orang mondar-mandir menurunkan berbagai macam alat dari sebuah mobil. Salah satu yang aku tahu mereka tengah membawa tripod, kamera, dan payung reflektor. Mungkin akan dilakukan pemotretan prewedd atau sejenisnya.Aku berlari dan menuju suamiku berdiri. “Mau makan di mana?”“Tuh! Yang dekat sama pantai saja.” Kami bergandengan tangan menuju rumah makan dengan spanduk gambar aneka penghuni laut.Setelah menunggu beberapa saat usai memesan menu-menu seafood, akhirnya kudapan tersaji di depan mata. Kami makan dengan lahap. Seperti janjinya, Mas Vino tampak menikmati dengan gigitan-gigitannya pada cangkang kepiting besar yang sudah diolah dengan bumbu saus asam manis.Disesapnya bumbu warna kemerahan itu dengan raut wajah puas. Terlebih saat daging putih nan lembut itu menyentuh lidahnya, mata Mas Vino berbinar penuh kepuasan.“Enak, Mas?”Suamiku hanya mengangguk-angguk dan langsung menyuapiku dengan tangan. Perpaduan bumbu dan e
Pandanganku menyapu sekeliling. Tak kudapati sosok Aldrin dan juga lelaki misterius yang postur tubuhnya memang seperti pria cassanova itu. Aku yakin sekali pasti dia Aldrin. Langsung kubuka pintu mobil, dan diikuti oleh Mas Vino di samping.“Kayaknya aku enggak asing sama nama cowok yang disebut gadis remaja tadi.” Mas Vino berujar dengan memakai sabuk pengamannya.Aku pun melakukan hal yang sama. Mobil mulai melaju dan perlahan meninggalkan pemandangan pantai.“Yang?”“Dia anak angkat Om Heru, Mas. Adik ipar papa.” Kusandarkan punggung dan menormalkan detak jantung.“Yang pernah mau tunangan sama kamu?”"Dia yang mau. Aku, sih, enggak," jawabku datar. "Mas Vino masih ingat, kan, ceritaku malam itu? Pas kepotong gara-gara gedoran si kembar?”“Iya, aku inget. Itu Aldrin yang ngasih bunga mawar ini?” Dagunya menunjuk bunga yang kutaruh asal di atas dasbor mobil.“Siapa lagi? Aku cuma kenal satu cowok bernama Aldrin. Dan dialah sepupuku, si pria cassanova, anak angkat bulik Ajeng."Bebe
Shit! Aku mengumpat setelah kelepasan mengucapkan kalimat yang seolah-olah memberikan clue pada Kalila dan suaminya. Selama ini, apa pun yang aku rencanakan selalu bersih dan tak pernah terendus. Termasuk sabotase yang berhasil menjadikan diri ini ahli waris satu-satunya dari Grand Adiwilaga Hospital. Mama Ajeng yang tak lain adalah ibu angkatku berencana akan memberikan harta kekayaannya padaku lima puluh persen saja, sementara separuhnya akan ia sumbangkan untuk panti asuhan, tempat di mana dulu Aldrin kecil ditelantarkan oleh orang tua yang tak memiliki hati. Berkat bantuan papa Heru yang kelicikannya sudah sedikit kuwarisi, aku bisa mendapatkan harta turun temurun keluarga Adiwilaga. Sebenarnya sama saja, sih. Lima puluh persen dari kekayaan itu sudah beralih atas nama papa Heru. Aku juga hanya dapat lima puluh persen seperti rencana awal mama Ajeng. Namun, aku masih memiliki hati dengan menjadi donatur tetap di panti tempat dulu Aldrin kecil dilindungi. Walau banyak yang meng