“Seorang hacker yang bekerjasama dengan tim kami menemukan sebuah bukti tentang ... Zaide Aldrin Mahendra.”Kalimat yang keluar dari mulut Mas Adam berhasil menggiring pandangan kami semua tertuju kepadanya. Papa, Mas Alan, dan suamiku menegakkan punggung. Tak terkecuali aku berikut Mama."Ada bukti apa, Dam?"Mas Adam menunjukkan map yang tadi memang sudah berada di tangannya sejak awal keluar dari mobil."Tim hacker kami dengan mudah meretas nomor ponsel Aldrin berikut email yang dia tautkan dengan nomor ponselnya itu. Hari sebelum insiden Vino dan Pak Narto dihadang dua orang tak dikenal, Aldrin melakukan percakapan via pesan dan juga telepon dengan sebuah nomor yang diduga orang suruhannya.""Sebenarnya semua riwayat panggilan dan juga pesan sudah dihapus, tapi tim kami bisa mendapatkannya kembali dengan mudah. Bahkan rekaman percakapan mereka berhasil kami unduh dan chat pun sudah kami print keseluruhan. Silakan dibaca, Om!"Nada bicara Mas Adam pelan, santai, tetapi cukup tegas.
Kehadiran keluarga dan orang terdekat cukup menguatkan saat kita didera ujian hidup. Kata ‘sabar’ dan ‘jangan terlalu dipikirkan’ adalah pamungkas mereka untuk menghibur dan menenangkan. Namun, nyatanya aku tak bisa sesabar itu saat mengetahui dalang di balik insiden yang menimpa Mas Vino. Jangan terlalu dipikirkan? Mana bisa?“Mas,”“Iya, Sayang?”“Sebaiknya kita tetap tinggal di sini dulu sampai para penjahat itu diamankan,” ucapku yang tidur miring menghadap suami. “Aku takut kamu kenapa-napa.”Mas Vino tersenyum dan mengelus pipiku pelan. “Iya, aku juga khawatir sama kondisi kamu dan calon anak kita. Urusan resto dan cafe biar ayah yang handle.”“Makasih, Mas.”Aku merapatkan tubuh dan memeluk Mas Vino. Menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang kian membuat candu. Sementara lelakiku menempelkan bibirnya, mengecup pucuk kepala ini dengan begitu dalam.“Tahu enggak, Yang?”“Apa?”“Negara terkecil di dunia?”“Vatikan.”“Bukan.”“Merkurius.”“Lah? Itu, mah, planet. Aku kan, tanya nega
[Kapan, Lun?][Pas aku jemput Papa, sekitar seminggu yang lalu.]“Kenapa, Yang?”Aku menoleh.“Kok, mukamu langsung anyep gitu?” lanjut Mas Vino.Aku langsung menyodorkan ponsel kepadanya. Suamiku men-scrool layar dengan wajah penuh pertanyaan. Lalu, seketika matanya membola dan kembali menatap wajahku. Kukedipkan mata berulang kali dengan melirik ke arah Mama dan Ibu mertua yang masih terus berbincang. Menggeleng pelan sebagai isyarat agar jangan membahas hal ini dulu. Ibunya tak tahu apa-apa. Jangan sampai kehangatan keluarga berubah saat membahas nama Aldrin.“Kalian kenapa? Kok, malah pada diem-dieman?” Mama mulai curiga.“Ee ... anu, Ma. Luna mau merid. Kalila lagi mikir buat ngelobi dia biar pake jasa WO hotel sekaligus gedungnya.” Enggak sepenuhnya juga aku berbohong, kan?“Oh, ya? Kapan hari H-nya?”“Belum tahu, Ma. Ini lagi mikir cari waktu yang pas buat ketemuan sama Luna dan calonnya.”Mama tak lagi bertanya dan lanjut berbincang dengan besannya. Aku segera memberi kode pad
Setelah keadaannya semakin membaik tanpa mual-mual lagi, Mas Vino izin pulang ke Semarang untuk melihat kondisi resto dan beberapa proyek yang diwakilkan oleh Galang, sang asisten. “Aku ikut!” rengekku sambil bergelayut pada lengannya. Mas Vino menoleh dan mengelus lembut pipiku. “Di sini aja nemenin Mama, Yang. Papa, kan, lagi di Bali.” “Pokoknya aku ikut!” Kuentakkan kaki sedikit sebagai tanda tak mau dibantah. Calon ayah dari anak kami itu malah terkekeh. “Kenapa mau ikut? Hem?” Tak bisa memberi jawaban pasti, tetapi aku memang tak mau berjauhan dengan suami. Wangi tubuhnya benar-benar membuatku rileks. “Takut kamu digangguin ipar-iparnya Ratu!” jawabku. Mas Vino kembali terkekeh dan mencium gemas pipiku. Beberapa hari yang lalu kami mengunjungi Ratu dan Wisnu untuk menengok baby Wira, jagoan pertama mereka. Kapten TNI itu bercerita bahwa adik pertamanya, si Nawang, bertingkah aneh-aneh saat coba dikenalkan dengan laki-laki. “Dijodohin?” tanya Mas Vino. “Enggak juga,” sahut
“Gila, sih, lu, Na. Cowok seganteng dan setajir Andra lu prank begitu.”“Tapi, kalau gue jadi Nawang, sih, auto mikir-mikir juga kalau pedekate sama cowok bersih en super perfect macam Andra. Entar apa-apa dikomentarin. Kurang ini, kurang itu, harus gini, harus gitu. Iyuuuh ....”Aku hanya terkekeh mendengar teman-teman sejawat yang terlihat pro dan kontra saat tahu aku memilih mundur daripada lanjut dengan si super bersih, Andra. “Eh, emang lu beneran enggak mandi, Na, pas mau jalan sama si Andra?”“Iya. Gue cuma mandi pagi doang. Sorenya males mandi karena emang malamnya mau jalan sama dia. Tapi, pas pulang gue langsung mandi.”“Terniat banget jadi perawan ting-ting.”“Sialan, lu!” Kulempar Ayu dengan tutup pulpen.“Masih nungguin suami orang jadi duda, Na?”“Eh, siapa, siapa?” Ayu mulai kepo.Aku menaruh telunjuk di depan bibir. Menyuruh Nanda agar tak bercerita lebih soal curahan-curahan hatiku kepadanya.“Itu si Vi ....”Aku melotot ke arah Nanda.“Vi ... Vi siapa, Nan?” Si Ayu
"Selamat, Mas,” ucapku dengan dada menahan sesak.Mas Vino hanya tersenyum tipis seraya mengangguk. Wajah khawatirnya semakin membuatku sakit. Seolah-olah tengah meremas segumpal daging yang selalu berdetak tak karuan kala menatap wajah tampannya. Apa aku tengah cemburu? Ya, aku cemburu dengan perhatiannya terhadap sang istri.“Hallo, Bu. Vino lagi di rumah sakit.”“Kalila pendarahan.”“Iya, sudah ditangani dokter.”Aku terus memerhatikan kawan baik Bang Wisnu yang pasti tengah menghubungi keluarganya. Kenapa dulu aku tak berani untuk berterus terang soal perasaan ini? Kenapa aku memilih bungkam saat dulu Papa dan Mama menggoda Mas Vino agar mau menjadi menantunya?Aku terlalu pemalu hingga hanya bisa berharap bahwa Mas Vino peka dan mau menyambut rasa ini terlebih dahulu. Terlalu naif dan berpikir bahwa tak pantas jika wanita menyatakan rasa lebih dulu. Padahal, tidaklah berdosa seandainya seorang wanita meminta kepada walinya agar menyampaikan rasa terhadap seorang pria agar pria te
"Maaf, ya, Yang. Harusnya aku enggak ninggalin kamu sendirian sampai akhirnya semua ini terjadi.”Aku menatap wajah suami yang masih menyiratkan gurat khawatir dan kecewa dengan dirinya sendiri. Ingin tertawa karena menganggapnya lebay, tetapi dia sangat khawatir dengan istri dan juga buah cinta kami. Akhirnya, aku hanya mampu tersenyum dan mengelus rambutnya pelan yang kini tengah duduk di kursi samping bed pasien.“Enggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi dalam kehidupan kita, Mas. Bahkan sedetik kemudian,” jawabku. “Kalau aku tahu saat kamu ke toilet bakal ada gempa, pasti aku akan keluar bangunan lebih dulu agar tak disenggol anak tambun itu.”Mas Vino mengulas senyum dan mencium tanganku yang sejak tadi selalu ia genggam. “Aku enggak akan maafin diriku sendiri kalau kamu dan anak kita sampai kenapa-napa, Yang.”“Udah, Mas ... semua baik-baik aja, kan? Aku sama adek enggak pa-pa. Cuma harus banyak istirahat dulu.”"Iya, Alhamdulillah." Mas Vino mengelus perutku dengan sayang.T
Mataku memejam beberapa saat. Jemari yang masih berada dalam genggaman Mas Vino kugerakkan untuk membangunkannya. Sungguh, aku takut membuka mata seorang diri. Akan tetapi, Mas Vino masih tak memberi respons apa pun. Bergerak misalnya.Apa ada seseorang yang ingin mencelakaiku dan juga janin dalam kandungan ini? Dengan menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infus. Tapi ... siapa? Aku bahkan baru masuk di salah satu RS bersalin di sini. Belum apa-apa kenapa sudah horor begini?Suara langkah yang diseret semakin menjauh hingga terdengar handle daun pintu yang dibuka pelan lalu ditutup juga dengan hati-hati. Mungkin agar tak menimbulkan bunyi yang akan mengusik penghuni ruang VIP ini. Aku bernapas lega walau kelopak mata masih tak ingin kubuka.Merasa aman, aku segera membuka mata dan menarik tangan Mas Vino dengan sedikit keras.“Hm!” Mas Vino bergumam dan sedikit terperanjat.Aku menatapnya dengan tatapan jengkel. Dari tadi kek bangunnya! Rutukku dalam hati.“Kamu kebangun, Yang?”Hanya