Nana mendesah pelan, meregangkan kedua tangannya dan memutar pinggangnya. Seharian ini dia sibuk di dapur toko kuenya. Ada beberapa pesanan kue dari pelanggannya.Dilepaskannya apronnya dan meletakkannya di keranjang khusus untuk apron kotor. Setelah itu dia bergegas menuju kamar mandi, mencuci tangan dan mencuci wajahnya agar terasa segar setelah seharian berkutat di dapur.Kembali ke ruangan kerjanya, Nana kembali disibukkan dengan laporan penjualan dan pengeluaran di toko-tokonya.@Naina[Hello madam][Saya sudah mengirimkan laporan penjualan ke email]Pesan dari salah satu karyawannya di toko kue cabang Singapura mengalihkan perhatiannya.@Nana[Oke Nai][Nanti saya periksa][Bagaimana di sana?][Ramai?]@Naina[Baik Madam][Lumayan ramai][Bulan ini ada peningkatan][Sepertinya keputusan madam untuk menyajikan kue klasik China di perayaan tahun baru kemarin sangat tepat][Banyak peminatnya]@Nana[Bagus kalau begitu][Mungkin bulan depan saya baru bisa ke sana lagi]@Naina[Baik
"Ini villa utamanya bang. Ada empat kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan pantry yang menyatu dengan ruang makan." Nana membuka pintu kaca geser dan menggesernya lebar-lebar."Hanya satu lantai ya?" Erick perlahan memasuki bangunan utama."Iya, karena memang menonjolkan desain tradisional, jadi tidak bisa dibuat dua lantai. Tapi ada tiga buah paviliun, di kanan, kiri dan yang kamarku tadi." Nana menunjuk dua buah bangunan lainnya."Bisa lebih privasi ya." Erick kini membuka pintu kamar utama."Aku suka desainnya dan penghawaannya. Tanpa pendingin ruangan, cukup sejuk lho, ikan." Komentarnya saat berkeliling kamar."Iya, memang didesain seperti itu. Mau ke paviliun?" Nana duduk di atas tempat tidur memperhatikan Erick yang tengah mengambil beberapa foto sudut-sudut villa dan kamar."Boleh, tapi setelah ini ya. Abang mau ambil foto-foto dulu." Erick masih sibuk mengambil foto dari beberapa sudut.Nana hanya tersenyum dan masih duduk di atas tempat tidur. Sejujurnya dia jarang mengunjung
Suasana villa setiap sore hampir selalu ramai. Ternyata kawan yang dimaksud oleh Erick adalah saudara-saudaranya dari Papua dan Manado. Mereka berlibur di Bali dan menyewa villa selama dua minggu.Nana mempercayakan semua urusan di villa pada Mbak Dian dan Mbok Made, dua karyawannya yang telah cukup lama bekerja padanya. Keduanya sudah memahami job desk mereka hingga Nana hanya mengawasi dan memastikan semuanya sesuai dengan permintaan para tamu.@Erick[Ikan][Nanti malam mereka mau ngadain pesta barbeque]Pesan itu diterima Nana di pagi hari saat dia baru saja bersiap hendak ke toko kue di Seminyak.@Nana[Oke][Nanti aku siapkan][Abang rinci saja menu yang mereka mau]@Erick[Ah atur sajalah ikan][Mereka pemakan segala][Batu dan pasir saja mereka nggak doyan][Wkwkwkwkw]@Nana[Hahahaha][Oke-oke][Nanti aku siapkan]@Erick[Terimakasih ya ikan]@Nana[Sama-sama bang]Nana menggelengkan kepalanya dan bergegas berpamitan pada Mbak Siti. Akhir-akhir ini dia cukup sibuk dengan toko-
Nana menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya masih sedikit sembab dengan mata yang juga sedikit membengkak.Perlahan dikompresnya wajah dan matanya dengan es batu yang dibungkus kain flanel yang lembut. Salah satu triknya untuk menyegarkan wajahnya di saat darurat."Ibu!" Ketukan di pintu kamarnya dan seruan memanggilnya mengejutkan Nana."Masuk!" Balasnya dengan suara parau.Setelah menangis, suaranya memang terasa serak dan matanya juga bengkak. Rasanya akan sangat tidak mengenakkan jika dia memaksakan diri untuk berbaur dengan para tamu."Ibu semua sudah siap. Tamu juga sudah pulang dari diving." Lapor Mbok Made sembari meletakkan secangkir kopi panas dan pisang goreng di atas meja di sebelah meja rias."Kalau begitu suruh Mas Agus mulai bakar-bakar. Nanti saya menyusul ke sana." Nana tersenyum tipis menyembunyikan kekacauan hatinya."Ibu kenapa? Ingat bapak lagi ya?" Mbok Made tertegun menatapnya."Sudah ibu jangan ingat-ingat bapak lagi. Bapak sudah tenang di sana." Perlahan
"Omil sini Omil. Pus!Pus!" Alvin berusaha meraih Omil yang duduk di atas pagar tembok yang berbatasan dengan villa milik Nana.Kucing putih itu berdiri namun tidak bergerak sama sekali. Sepertinya dia ketakutan karena tidak bisa turun lagi."Alvin!" Sebuah teriakan mengejutkan bocah itu."Omil sana sembunyi." Bisiknya pada kucing gemuk lucu itu."Meow." Omil hanya mengeong pelan dan seperti mengerti ucapan Alvin padanya, dia kembali duduk diam dan tak bersuara lagi."Alvin ngapain di sini? Dipanggil mami tuh!" Seorang gadis cantik keluar dari bangunan utama villa dan menegur Alvin."Lagi main Tante." Alvin menundukkan kepalanya."Oh, ayo masuk!" Gadis itu meraih tangan Alvin dan mengajaknya masuk."Alvin mau main di sini Tante." Alvin menolak dan menghindari gadis itu."Tapi Alvin dipanggil mami lho. Nanti mami marah, ayo masuk!" Gadis itu memaksa Alvin dan setengah menyeretnya."Nggak mau Tante! Nggak mau! Alvin mau main sama Omil!" Alvin berteriak dan memberontak.Alvin tiba-tiba men
Erick melakukan mobilnya lebih kencang, membelah By Pass Ngurah Rai. Sementara Nana duduk di sebelahnya memangku Omil.Air mata tidak henti mengalir di pipinya. Nana sangat tidak tega melihat kondisi kucing kecilnya yang lemah tidak berdaya."Dia masih bernapas kan?" Erick melirik kucing kecil itu dengan cemas."Masih bang, tapi sudah lemah sekali." Nana menjawab terbata-bata di sela Isak tangisnya."Omil, baik-baik ya nak." Bisiknya sembari memeluk dan menciumi kucing berbulu putih itu.Erick terenyuh menyaksikan adegan itu. Dia tahu Nana sangat menyayangi kucing-kucingnya dan mengerti perasaannya saat ini. Khawatir dan takut sekaligus sedih terlihat jelas di raut wajahnya.Perlahan diusapnya kepala wanita itu dengan sayang untuk menghiburnya. Erick tidak peduli di bangku belakang, Jeje memperhatikannya dengan malu-malu. Gadis remaja itu segera menundukkan kepalanya dan membujuk Alvin yang juga tengah menangis."Abang aku takut, ada apa-apa dengan Omil. Dia masih kecil." Nana kembali
Tania mondar-mandir di teras dan sesekali melongokkan kepalanya ke jalanan di depan villanya. Tidak ada mobil ataupun bahkan sepeda motor yang lewat.Jalan di depan memang bukanlah jalanan umum yang dilalui kendaraan. Hanya jalan komplek yang buntu. Hanya penghuni villa-villa di sepanjang jalan ini yang kerap berlalu lalang."Kak duduklah! Jangan mondar-mandir seperti seterika begitu!" Jeny menegurnya dan memintanya untuk duduk bersamanya."Bagaimana kakak bisa tenang Jen! Abangmu pergi lho sama perempuan itu!" Tania berseru kesal, menghentakkan kakinya."Itu kan karena kucingnya ditendang kakak! Jadi Bang Erick nggak enak hati sama perempuan itu." Jeny bersungut kesal melihat kegelisahan sang kakak."Jadi kamu menyalahkan kakak?" Tania berbalik dan menatap sang adik tajam."Duduk gih kak. Sambil kita ngobrol." Jeny kembali mengajaknya untuk duduk.Tania mendesah kesal, namun akhirnya menjatuhkan tubuhnya di atas kursi rotan di sebelah Jeny."Kakak kenapa sih? Coba deh untuk santai da
Erick keluar dari kamarnya sembari mengancingkan lengan kemejanya. Tertegun sejenak saat melihat kopi, toast, omelet dan buah potong tertata rapi di atas meja makan."Je!" Teriaknya memanggil gadis remaja yang tengah merapikan kamar Alvin."Iya Pak." Tergopoh-gopoh Jeje mendatangi Erick."Ini siapa yang siapin?" Erick mengambil cangkir kopi dan menyesapnya pelan.Tiba-tiba dia tersedak dan menyemburkan kopinya. Jeje terkejut dan bergegas mengambilkan tissu untuknya. Antara takut, kasihan sekaligus ingin tertawa membuat ekspresi gadis itu terasa aneh."Manis sekali!" Erick meringis tersenyum kecut."Ibu yang bikin Pak." Jeje menyahut pelan, agak ragu."Oh, Je bikinkan kopi seperti biasa ya." Erick duduk di kursi dan mengambil selembar toast.Perlahan dikunyahnya roti panggang berlapis keju itu pelan-pelan. Setelah itu dia menyicipi omeletnya."Enak sih." Gumamnya lirih."Ini kopinya Pak." Jeje kembali datang dengan secangkir kopi panas mengepul."Terimakasih ya Je. Oh iya, kamu kalau si