Share

BIMA GANESHA

Katnia menghampiri ayahnya yang saat itu sedang berada di ruangannya. Matanya melihat bagaimana ruangan kerja ayahnya ini tidak banyak berubah sejak ia sedang kecil. "Selamat sore, Ayah " sapa Kania pada Ayahnya yang masih memeriksa berkas rumah sakit. Mendengar sapaan putrinya itu, Dr Karya mendongkak melihat kearah Kathia.

" Selamat sore, Kathia sayang. Sudah makan? " Tanya sang ayah. Mendengar pertanyaan itu Kathia langsung menjawab dengan singkat, "Belum. " Pikirkannya masih dipenuhi oleh kepergian Bima yang entah kemana.

Dr Karya kemudian menawarkan Kathia untuk makan bersama dengannya di Kedai mie Mpok Tarmi yang tak berada jauh dari Rumah Sakit. Kathia tersenyum, ayahnya sangat perhatian tahu bahwa ia sangat kelaparan. Melihat, Kathia yang menyetujui ajakannya, Dr. Karya hanya tersenyum, Putrinya telah kembali. Kepergian Bima tak menjadi masalah lagi bagi putrinya. Meski, sejujurnya kepergian Bima masih menjadi kesedihan bagi Kathia.

Antareja kembali ke rumah dan dikejutkan dengan keadaan Petruk yang telah babak belur, langkah kakinya terburu - buru dan menghampiri Petruk yang telah luka. "Apa yang terjadi denganmu ? " Antareja menyentuh bahu Petruk memikirkan penyebab bagaimana dia babak belur seperti ini.

"Saya tak sengaja menjatuhkan teh panas, kepada Tuan Besar. " Mata Antareja terbelalak, ayahnya tak akan mudah untuk memaafkan orang lain, ia akan menyimpan kemarahan untuk orang itu dan membalasnya dengan jauh lebih kejam. " Dimana kau menjatuhkan teh itu? " Petruk menghela nafas sebelum menjawab, "Dikaki, Nyonya. " Antareja menghela nafas, "Okay, tetapi sebelumnya -"

Antareja melemparkan tamparan sekali pada Petruk. Petruk terkejut melihat apa yang dilakukan Nyonyanya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Nyonya akan menamparnya seperti ini. "Menjatuhkan teh panas ke kaki seseorang, bukanlah tindakan yang pantas. Tetapi, aku masih berbaik hati. Hanya saja, Barong tolong bawakan aku segelas teh panas. " Barong mengangguk kepala saat disuruh seperti itu oleh Antareja.

Segelas kopi panas dibawakan oleh Barong kepada Antareja dan secara mendadak, Antareja menuang setengah gelas dari teh tersebut pada kaki Petruk.

Suara kesakitan mewarnai kediaman Baladewa.

Bima terbangun di sebuah ruang rawat, matamelirik ke penjuru ruangan. 'Dimana dia? ' Ia mencoba untuk bangun tetapi seseorang mencegahnya. "Tenggorokanmu terluka, bangunlah perlahan - lahan " Bima Menyergitkan kening, "Tenggorokanku terluka? " Pria itu mengangguk, " Ya, aku menemukannya tergeletak di taman dengan tenggorokan berdarah, apa yang terjadi? "

Bima hanya terkekeh, " Perkelahian kecil dengan seseorang, terima kasih karena telah menyelamatkanku, siapa nama anda, Tuan?

"Nama saya Yudistira " Bima hanya mengangguk, " Yudistira, Tokoh pewayangan bukan? " Yudistira hanya tersenyum, " Benar, dalam pewayangan saya adalah anak tertua dari keluarga Pandawa. Tetapi sayangnya saya bukan tokoh pewayangan jadi substasi itu agak berbeda sekarang. Siapa namamu, anak muda? " Bima menjawab, "Bima Ganesha "

Yudistira mengangguk, "Namamu agak familiar dengan seseorang. Tapi itu hanya kebetulan, bukan? Bima mengiyakan, "Ya mungkin hanya kebetulan. "

Suasana di ruang rawat itu agak awkward, untuk menghindari itu. Yudistira mengajak Bima untuk pergi ke Taman Rumah Sakit yang tak jauh dari ruang rawatnya. Yudistira menyuruh pada Dani untuk membawakannya kursi roda. "Tolong bawakan kursi roda, pria ini agak butuh sedikit hiburan baru." Dani sejujurnya agak ingin menolak, tetapi melihat tatapan dari Yudistira mau tak mau Dani menyetujuinya.

Antareja mencari dimana perginya Bima, ia sudah mengobrak-abrik kamar pria itu tetapi ia sama sekali menemukannya, barang - barang pria itu masih ada. Kemana perginya pria itu.

Bajingan!

Antareja memukul dinding kamar Bima hingga retak. Pria itu tak boleh pergi. Ia akan menemukannya dimana pun. Ia akan mengingatkan Bima siapa pemilik sebenarnya. Bima tak boleh menjadi Arjuna, Ia tak boleh meninggalkannya.

Antareja melihat peta paviliun utama yang berada di atas kasur Bima, Ia menggenggam erat - erat peta itu, pria ini benar - benar merencanakan kabur ini. Tetapi sebuah noda darah di dekat lemari menjadi perhatian Antareja, ia harus memeriksa CCTV untuk melihat apa yang terjadi.

Tidak ada lagi kejadian seperti Arjuna. Antreja mengumpulkan semua anggota malam ini, untuk mencari kemana perginya Bima itu.

Antasena langsung merasaakan keringat dingin, ia takut Kakaknya akan menyadari bahwa ia lah yang mengancam Bima dan membuatnya terluka. Antasena terburu - buru langsung menunju ruangannya untuk kabur bersama dengan Bodyguardnya, Garong.

Ia sudah memikirkan rencana itu agak tidak ketahuan, rencananya ia kabur dengan alasan berlibur ke Pulau Dewata. Tidak ada boleh yang mengendus apa yang ia lakukan pada Bima. Karena pria itu pantas untuk mendapatkannya.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan? " tanya Garong pada Antasena.

"Bersikap biasa saja agar tidak menimbulkan kecurigaan pada Antareja " jawab Antasena. Ia menatap ke arah luar pergerakan bodyguard Antareja di depan, ini akan rumit jika ketahuan.

Hubungan persaudaraan mereka bisa rusak, Antareja mengeprak meja dengan penuh emosi, Ia bodoh mengancam Bima tanpa sebab. Pria itu berada di bawah kaki tangan Antareja, Ia menantang maut dengan Kakaknya.

Semar menatap, apa yang terjadi dari ruang CCTV dengan ekspresi yang sulit di jelaskan. Puna melihat kemarahan Antareja dari CCTV dengan pandangan aneh, sedangkan Bima Sena hanya menyeringai, Ia tahu apa yang akan terjadi. Pion - Poinnya mulai bergerak dan itulah yang akan membuat cerita menganggumkan. Bima merempat foto Bima, 'Siapa kamu? Kamu tampak familiar.'

Semar melihat CCTV ruangan Petruk, Ia masih bergelantungan dengan kaki yang melepuh. Melihat ekspresi Semar, Bima Antasena berkomentar. " Putramu tak akan mati, dia hanya ku beri pelajaran. Kau seperti apa kita bukan? " Semar mengangguk, "Tetapi harus kau ingat, jika dia juga putraku. "

Bima Ansena terkekeh, "Siapa yang melupakannya, Semar? Semua orang tahu dia putramu." Semar menyergap kerah baju Bima Sena, "Kau suka bermain - main dengan nyawa. Kau bajingan! " Melihat perilaku Semar, Puna langsung menghadangnya. "Jangan lupa dengan siapa kau berbicara, Semar! " Semar berteriak, "Aku tahu dengan siapa aku berbicara Puna! "

Antareja melirik, foto Arjuna yang berada di sisi meja kerja, kematian pria itu masih tak dapat di terima oleh Antreja. Ia menggenggam tangannya. Setelah apa yang terjadi dia masih tidak bisa melupakan sosok kekasihnya terdahulu.

Barong melihat semua itu, dan hanya terdiam. Pikirannya masih menguar memikirkan keadaan Petruk yang masih bergelantungan dengan kaki melepuh. Apakah seseorang mengobati kakinya? Atau bagaimana dengan keadaanya?

Ia tak bisa melihat Petruk dengan keadaan seperti itu, mereka teman baik bahkan sejak dari masa kanak - kanak, melihatnya dalam keadaan seperti itu bukanlah hal mudah. Ingatan akan suara teriakan - teriakan kesakitan yang dikeluarkan oleh Petruk menjadi pengingatnya untuk berhati - hati dengan keluarga Baladewa.

Mereka tak sebaik apa yang ditunjukkan pada publik, mereka adalah sesuatu yang lebih kejam dari itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status