Meja kayu dan lima buah kursi itu terlihat sangat kuno. Ukiran-ukiran seperti pada zaman pemerintahan Alea, tertoreh di pinggiran meja itu. Ruangan itu hanya berisi tempat makan, dan lukisan anggota keluarga Kerajaan Middleside. Di sana terdapat pula lukisan wajah Alea, di tengah para pemimpin lainnya, yang terlihat sangat anggun dan memesona."Aku akan mulai bercerita sekarang. Jadi, jangan memotong pembicaraan sebelum aku mengizinkan!" Yuna memperingatkan kami.Wajah gadis itu tampak lebih menyeramkan ketika dia marah. Akhirnya, aku pun mengangguk; begitu juga dengan Sera dan Calvin.*Malam itu saat hujan petir melanda lautan, aku—Yuna, menemukan Alea terombang-ambing di dalam gulungan ombak. Tanpa pikir panjang, aku pun membawa sahabatku itu ke pinggir pantai. Luka bekas tusukan benda tajam di jantungnya, membuatku putus asa. Karena darah yang keluar sudah cukup banyak, dia mungkin tidak bisa diselamatkan lagi.Aku berusaha melawan takdir kematiannya, dengan terus mengalirkan keku
Aku mondar-mandir di depan pintu otomatis. Sesekali aku menjambak rambut dengan kesal. Air mata yang terus berjatuhan, mengiringi pikiran yang kalut. Bagaimana jika hal buruk terjadi pada Tuan Daniel—Ayah Calvin? Aku sangat panik."Achilio, Calvin memintamu untuk masuk ke dalam," ucap Sera dari pintu yang telah terbuka. Aku mengangguk, lalu kami pun memasuki ruangan mewah itu bersama.Saat masuk, aku melihat Calvin menangisi seorang pria tua, yang terbaring dengan mata terpejam di atas kasur. Kamar itu terdapat barang-barang berharga, yang tersusun rapi pada lemari kaca di dekat meja. Ruangan yang luasnya hampir menyaingi Kuil Axolotl itu, memiliki banyak pajangan miniatur robot.Di samping pria tua itu terdapat lampu berbentuk jamur payung. Cahayanya terang seperti gemerlap rembulan, pada saat malam tiba. Calvin terus menangis, dan aku benar-benar ketakutan. Lima orang bodyguard berpakaian formal mencoba menenangkannya. Namun, sahabatku itu seakan tidak ingin beranjak dari sana."Tu
Seorang pria yang berwajah tampan, berhidung mancung, dan berkulit putih tampak berdiri menghadang jalan kami. Di belakangnya, terdapat sekelompok geng motor, yang membawa ribuan bunga anyelir merah gradiasi ungu."Mereka harus diberikan pelajaran, karena nggak menaati aturan lalu lintas." Aku melepaskan sabuk pengaman, berniat untuk menegur komplotan geng motor itu."Jangan turun dari jet, Achilio! Ketua geng motor itu adalah saudaraku. Dia bukan musuh kita." Calvin mengunci pintu keluar melalui sistem di layar.Aku berdecak kesal sambil mengerucutkan bibir. "Terserah apa katamu, Vin!""Achilio!" Calvin tiba-tiba berteriak, sehingga membuatku tersentak kaget.Aku pun memasang kembali sabuk pengaman, agar tidak memperpanjang masalah. Terkadang, lebih baik mengalah, daripada terus-menerus menciptakan konflik baru."Kayaknya kita ambil jalan pintas aja deh, Vin. Mereka gak akan pergi kalo kita gak ngalah," ucap Sera menyarankan argumennya, pada pria blonde di sampingnya.Tidak lama sete
Kelahiran adalah hari istimewa bagi setiap orang tua, di seluruh dunia. Saat anak yang baru ia lahirkan menangis, sang ibu akan merasa lega. Ya, lega karena anaknya bisa hidup, dan keduanya—ia dan bayinya, selamat dari maut.Akan tetapi, pengertian dari kata "kelahiran" berbeda untukku. Melihat wajah malaikat tanpa sayap—ibu, hanya di dalam bayang-bayang masa lalu. Kebahagiaan itu seakan hanya nyata dalam ilusi. Aku tidak ingin Felicia menjadi ibuku, setelah reinkarnasi panjang Sean.Takdir sepertinya memanglah buruk. Aku kurang beruntung dalam beberapa hal. Apa rasanya mempunyai keluarga yang lengkap? Dari masa Sean, aku bahkan tidak pernah merasakan apa itu bahagia, apa itu keluarga, apa itu yang namanya kebersamaan?Motivasi yang Sera berikan, hanya seperti sebuah kalimat penenang. Aku tetap tidak bisa merasakan semangat itu bangkit. Hidup seperti sebuah tempat mengadu nasib. Aku tidak ingin menjadi beban siapa pun. Sera adalah orang yang sangat penting dalam hidupku. Namun, aku ti
"Mengulang masa-masa indah, hem?" Calvin tiba-tiba menyikut bahu kananku. Aku mungkin terlalu fokus memandangi foto itu, sehingga tidak mendengar langkah kakinya. "Gue pikir lu udah tidur, Vin," ucapku seraya menoleh ke arah pria, yang mengenakan setelan gelap itu. Tampilannya fashionable, dan sepertinya sangat diidam-idamkan oleh fans, di media sosialnya. Pencitraan yang dia bangun cukup keren. "Gak, belum. Gue sebenernya pengen cerita tentang perjalanan hidup gue, malam ini sama lo." Calvin berjalan ke arah sofa, yang di penuhi dengan sampah snack. Dia tampak membersihkan sampah-sampah itu dengan tangan kirinya. "Duduklah, Achilio!" perintahnya kemudian.Menjadi pendengar yang baik, ketika seseorang sedang bersedih, mungkin akan membuat orang itu merasa lebih baik. Aku tidak ingin melihat orang-orang di sekitarku, merasakan kesedihan. Karena itulah, aku bertekad untuk mewujudkan kebahagiaan setiap orang, suatu hari nanti."Lo bisa cerita apa aja sama gue, Vin. Gue pasti dengerin
"Pengangkatan Reizo menjadi pemilik Perusahaan TM, akan dilakukan seminggu dari sekarang. Gue harus gimana?" Calvin mondar-mandir di depanku. Sesekali dia terlihat mengacak-acak rambutnya.Kening Calvin tampak mengeluarkan keringat, yang terus-menerus mengalir. Dia tampaknya sangat mengkhawatirkan perusahaan mendiang ayahnya itu. "Aku pusing melihatmu, Vin. Emang kalo kamu terus melakukan hal bodoh kayak gini, isi surat wasiat itu bakal berubah?" Sera menghadang jalan Calvin sambil berkacak pinggang."Gue gak tau harus ngapain, Ra," ucap Calvin dengan lirih."Harapan tanpa aksi nyata hanyalah hal yang semu, Vin." Aku mendekat ke arah mereka, lalu memberikan Calvin selebaran iklan."Apa ini?" Alis kanan Calvin tampak mengangkat. "Program bunuh diri?"Aku berdecak kesal. "Lembaran iklan penawaran tentang strategi mengalahkan lawan yang tangguh."Sera menatapku dengan keterkejutan di wajahnya. Begitu juga dengan Calvin. Mereka sepertinya tidak mengerti, kenapa aku memberikan hal itu; ba
Saat itu, aku berbohong jika bilang, aku bahagia dengan pilihan se-naif itu. Walaupun, Calvin terus berkata, "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Mereka pasti ngerti jalan yang kamu ambil." Kenyataannya, aku masih merasa bersalah, pada jiwa-jiwa yang tidak bisa diselamatkan.Pesawat yang kami tumpangi berhasil keluar dari zona bahaya. Setelah itu, ledakan besar pun terjadi. Aku hanya bisa melihat kematian massal dari balik kaca, yang hampir tertutup oleh kepulan kabut asap.Siapa yang tega membunuh banyak nyawa, yang tidak bersalah di bawah sana? Apakah semua itu adalah taktik pemerintah, untuk mengurangi jumlah penduduk? Beberapa hari belakangan, berita sering menampilkan program pembatasan angka kelahiran. Scramble memang kota yang padat, bahkan aku sering membaca data statistik penduduk—yang memuat angka kelahiran lebih tinggi, daripada angka kematian. Pemerintah mungkin melakukan berbagai strategi, agar program mereka berjalan dengan baik.Sampai kapan semua undang-undang it
Seminggu setelah peristiwa baku tembak di TM, aku merasa Calvin mulai menjaga jarak lagi denganku. Namun, aku sama sekali tidak mempersalahkan semua itu. Lagi pula, orang yang keras kepala sepertinya, tidak akan mau mendengarkan nasehat apa pun."Aku mau pergi ke Perpustakaan Ventana. Ada banyak hal yang ingin aku selidiki di sana." Aku meletakkan gelas kosong yang sebelumnya terisi teh, di depan Sera."Sendirian?" Gadis yang memakai apron bemotif bunga sakura itu meraih tanganku. "Achilio, aku butuh jawaban.""Aku nggak butuh siapa pun untuk berjuang bersamaku." Aku melepaskan genggaman tangan seputih salju itu, dengan lembut. "Tolong, jangan halangi aku, Ra!"Mata Sera tampak berkaca-kaca. "Sampai kapan kamu mau bersikap egois kayak gini, Achilio?"Aku menundukkan kepala. Gadis itu tidak bersalah, dan tidak mungkin aku juga ikut membencinya. Hanya karena dia terlihat lebih membela Calvin, bukan berarti aku harus menjauhinya. "Achilio?" Aku menatapnya sambil tersenyum hangat. "Aku