"Aku suka jika istriku tidak tertindas." Cup'Karena salut dengan apa yang dikatakan istrinya, Zein menghadiahi Zahra dengan sebuah kecupan. Kesengajaan berkedok hadiah! "Dan … besok, jika dia datang lagi, pukul saja kepalanya dengan tongkat bisbol. Itu lebih baik daripada hanya sekedar menampar atau menceburkannya ke kolam." Zein menatap geli ke arah wajah Zahra, di mana perempuan ini menampilkan ekspresi konyol karena mungkin syok mendengar penuturan Zein. 'Aku lupa kalau Tuan Zein aslinya jahat.' batin Zahra. 'Tetapi dia tidak marah?' "Tuan tidak marah?" tanya Zahra bingung. "Untuk apa?" Zein terkekeh pelan, "aku akan marah jika kau hanya diam ketika putra kita ditindas olehnya. Perempuan itu-- manusia paling munafik." "Hah?" Zahra semakin bingung. Jadi Zein membenci Deana? Atau Zein sebenarnya tahu jika Deana adalah perempuan yang jahat. Tetapi jika Zein tahu dia jahat, kenapa Zein tetap membiarkan Deana datang ke rumah ini. "Tenang saja, Sweetheart." Zein membelai pinggira
"Berhenti memanggilku tuan." Zein tiba-tiab berucap, menegur Zahra yang sampai saat ini suka sekali memanggilnya tuan. Bahkan tadi Zahra membungkuk padanya untuk memberi hormat. "Aku suamimu, bukan majikanmu," tambah Zein. Zahra menganggukkan kepala, masih malu karena insiden mandi. Sampai sekarang Zahra masih bertanya-tanya apakah dulu dia seperti yang Zein katakan, suka meminta Zein memandikannya. Jika yang Zein katakan benar, bukankah itu sangat memalukan?! Sudah besar tetapi masih dimandikan suami. Oh Tuhan!"Boleh meminta bantuan, Sweetheart?" Zahra mengalihkan pandangan dari buku sketsa. Sejujurnya saat ini dia sedang berlatih mendesain. Aneh, tetapi Zahra pandai. Di desa, Zahra seorang guru seni. Dia juga tidak tahu berasal dari mana kemampuan tersebut dan pihak sekolah sendiri yang meminta agar Zahra mengajar karena keahliannya menggambar. Tentunya untuk itu Zahra harus belajar seni secara dalam, supaya dia tidak terlalu bodoh saat mengajari anak di bangku SD. Namun, un
Hari demi hari berlalu, Zahra perlahan menerima kondisinya serta keluarganya. Setelah hampir satu bulan belajar bisnis dengan Alana atau Raka, hari ini Zein membawa Zahra ke kantor. Di berencana menjadikan istrinya sebagai sekretaris. Hanya pemancing sekaligus melatih keterampilan sang istri. Dulu, Zahra adalah sekretarisnya. Maka untuk memunculkan ingatan tersebut, Zein akan menjadikan istrinya sebagai sekretarisnya. Kembali! Semoga cara ini bisa memunculkan ingatan Zahra dahulu. "Ini adalah tugasmu sebagai sekeetarisku," ucap Zein, memberikan sebuah dokumen berisi daftar pekerjaan Zahra sebagai sekretarisnya. "Baik, Pak,"jawab Zahra, meraih dokumen tersebut lalu membungkukkan tubuh secara sopan pada Zein. Zein yang melihat hal tersebut langsung memijit kening. Satu bulan berlalu tetapi Zahra masih …-Hell! Ini menguji kesabaran Zein. "Jangan membungkuk padaku." Zein menyentak akibat kesabaran yang habis, "dan-- Pak?" Zahra mengerjap beberapa kali, menatap Zein gugup bercampur
"Layak atau tidak layak, bukan kau yang menentukan. Keluar!" dingin Zein, melayangkan tatapan tak suka pada Deana. Zahra memperhatikan Deana, menatap perempuan itu dari atas kepala hingga ujung rambut. Penampilan perempuan ini cenderung seperti ingin ke pesta, sangat meriah dan heboh. 'Dia bekerja di sini?' batin Zahra, menatap Deana aneh. Jika memang bekerja di sini, kenapa penampilannya tidak formal? "Apa lihat-lihat?!" geram Deana pada Zahra, menunjukkan ketidak sukaannya pada Zahra secara terang-terangan, "jangan melihatku!""Suka-sukaku dong. Mata-mata ku." Zahra menjawab enteng, menatap sinis ke arah Deana. Perempuan ini pikir Zahra takut padanya? Tidak sama sekali! 'Zahra lebih berani dari yang sebelumnya.' batin Zein, memperhatikan istrinya lekat. Dulu, Zahra akan menahan diri untuk tak mengeluarkan kemarahan, selalu tenang dan menjawab kemarahan seseorang dengan anggun. Namun, Zahra yang sekarang, begitu lugas dan tanpa beban. "Kak Zein, aku sudah tahu jika Zahra lupa in
Zahra saat ini termenung. Barusan dia menemani Zein rapat dan Zahra sangat malu dengan dirinya sendiri, hanya bengong dan seperti idiot. Zahra berdiam diri di toilet, malu menemui Zein serta takut dimarahi oleh pria itu. Demi Tuhan, Zahra sangat malu. Percuma Zein menasehatinya panjang lebar, pada akhirnya Zahra tetap mempermalukan suaminya. "Apa aku kabur saja yah?" gumam Zahra, merasa tertekan dengan semua ini. "Aku harus menerima keadaan ku sebagai Zahra Aurelia. Tetapi kenapa tidak ada satupun orang yang mau menerima diriku, jika aku jika aku bukan Zahra Aurelia yang seperti mereka harapkan?" Tanpa sadar, air mata Zahra keluar. Hari ini adalah hari terburuk Zahra, dia merasa bodoh dan merasa sangat malu. Mungkin saat ini orang-orang yang hadir dalam meeting tadi sedang mengeluhkan Zahra pada Zein. Tok tok tok'"Siapa di dalam?" Mendengar seseorang di luar sedangkan mengetuk pintu, Zahra buru-buru memperbaiki penampilan kemudian segera keluar dari toilet. Zahra menatap sekila
"Kau-- habis menemui siapa, Zahra Aurelia Melviano?!" Suara dingin mengalun rendah, terasa menusuk hingga ke tulang-tulang. Zahra menatap bingung pada Zein, bergerak mundur saat suaminya tersebut mendekatinya. Mata Zahra membulat panik, semakin dia mundur semakin Zein mendekat. "Jawab." Zein berucap lagi, nadanya lebih dingin dari yang sebelumnya. "Setelah keluar dari ruang pertemuan, kau keluar tanpa izin dariku. Kau pergi untuk menemui seseorang, Heh?" Zahra menggelengkan kepala, mengerjap beberapa kali kemudian mendongak pada suaminya–menatap Zein ragu. "Aku keluar bukan untuk menemui seseorang. Hanya saja … kebetulan Paman Raka datang." "Humm." Zein berdehem dingin, kembali ke meja kerja lalu menyibukkan diri. Wajahnya berbalut ke marahan dan tatapan mata masih menghunus tajam. Zahra terlihat gelisah. Sekarang dia bisa katakan jika Zein marah, Zein pasti kesal karena dirinya–melakukan hal bodoh saat meeting tadi. "Pak Suami, masalah meeting … aku meminta maaf. Sudah kukataka
"Jangan menggaruk pipimu." Zein menahan tangan Zahra yang ingin menggaruk pipi. Mereka sudah di kamar dan Zein sudah memberi obat pada istrinya. "Gatal," cicit Zahra pelan, menyesal karena mengira Zein hanya mengada-ngata. Ternyata memang benar jika dia alergi bunga tulip. Zein mengambil sebuah salep kulit khusus lalu mengoles pada pipi istrinya yang memerah. "Apa masih gatal?" Zahra menggelengkan kepala. Tiba-tiba saja Zahra terdiam, sebuah ingatan muncul di kepala Zahra. Dua mengernyit kemudian memegang kepala. "Ada apa?" tanya Zein khawatir, menatap cemas pada Zahra yang terlihat menahan sakit. 'Bagaimana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante. Sedangkan dia saja tidak peduli padaku. Membawa bunga tulip ke rumah padahal dia tahu aku alergi bunga tulip.' 'Bunga ini bukan untukmu.'"Sweetheart."Zahra reflek mendorong Zein, matanya melotot kaget karena sebuah ingatan tersebut. Napas Zahra memburu, kilasan itu terlalu menyedihkan. Zein membawa bunga untuk perempuan
"Keluar lah." Suara datar Zein mengalun, menjauh sedikit dari meja untuk menoleh ke bawah–mengamati istrinya yang sedang bersembunyi di bawah sana. Zahra menetap ke arah Zein, sempat menyengir lalu berakhir cengengesan. "A--aku sedang main petak umpet dengan anak-anak," jawab Zahra setelah dia keluar dari bawah meja, menggoyangkan tangan lalu menatap malu bercampur gugup pada Zein. "Ouh, ternyata Nyonya selingkuhan Tuan." Marcus terkekeh pelan, membungkuk hormat pada tuan dan nyonya-nya lalu segera beranjak dari sana. Zein menganggukkan kepala sejenak lalu memilih melanjutkan pekerjaan. "Kau ingin istirahat tetapi ditinggal mandi dan kau langsung menghilang." Zein menoleh pada Zahra, "kau sengaja untuk tidak mandi bersamaku bukan?"'Hah? Benar juga. Aku harusnya mandi bersamanya karena itu kebiasaanku dulu. Tapi karena aku meminta untuk istirahat, Suami tidak jadi mandi denganku. Wah, padahal tujuanku bahkan itu tapi kebetulan aku bebas dari mandi bersamanya.' batin Zahra, menaha