"Tidak! Aku tidak akan izinkan." Lita menolaknya mentah-mentah. Enak saja main izin-izin!" Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan masuk lagi ke dalam kamarnya.Senyum pada bibir Shanaz luntur seketika, ia meremas kedua sisi roknya sambil mengeraskan rahangnya. Rasanya ia muak dan ingin sekali menampar wajah wanita menyebalkan itu. Tetapi hal ini tidak mungkin kan, akan aneh pasti rasanya.Dengan menahan rasa kecewa yang sangat menyesakkan dada, Shanaz kembali mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda. Shanaz pergi ke dapur. Ia memeriksa daftar belanjaan yang harus dibeli oleh salah seorang pelayan. Juga memeriksa ketersediaan bahan makanan di kulkas. Tiba-tiba perhatian Shanaz tertuju pada seorang bawahannya yang sudah menikah dan berusia 35 tahun. Entah sedang tidak enak badan atau suasana hatinya sedanh buruk. Wanita yang diketahui bernama Yuni itu kini tampak lesu dan seolah menyimpan beban hidup yang sangat besar."Apa, Bibi Yuni sedang sakit?" Shanaz tergelitik untuk
Seulas senyuman muncul di bibir wanita paruh baya itu, seolah mengisyaratkan ada sebuah harapan di dalamnya. Lita tak menaruh curiga. Dengan santai dia bertanya kepada ibu mertuanya tersebut."Ibu mau mengajakku ke mana Bu?" tanya Lita dengan nada cemas yang tersamarkan. Firasatnya mulai tak enak. Apalagi kalau bukan diajak ke dokter kandungan untuk USG.Sayangnya ketakutan Lita benar terjadi. Santi memang berniat mengajak Lita ke rumah sakit. "Ke rumah sakit," jawab Santi tersenyum tipis.Mata Lita membulat. Detak jantungnya berpacu dengan capat. "Tidak! Dia tidak berniat untuk USG jenis kelamin anakku kan?" Sekuat tenaga Lita membuang pikiran negatifnya, lalu berusaha berpikiran positif bahwa mertuanya ke rumah sakit untuk keperluan lain."Ibu apa ke rumah sakit, Bu? Apa ibu sedang sakit?" Hanya Shanaz yang dapat melihat betapa paniknya Lita saat ini, meski ia tidak tahu penyebabnya."Sebenarnya apa yang ditakutkan oleh Lita?" batin Shanaz. Ia malah sempat berpikir bahwa Lita selama
Hati Shanaz seperti tertancap sebilah pisau, saat ia mendengar bentakan dan juga kilatan amarah dari sorot matanya. Wanita yang ada di depannya benar-benar sudah kehilangan kewarasannya. Shanaz melakukan tugasnya dengan benar, tetapi Lita memperlakukan dirinya dengan buruk.Shanaz sekuat tenaga menahan perasaannya. Menahan amarah untuk tidak memukul wajah Lita. Atau paling tidak sekadar balik memakinya. Yang bisa Shanaz lakukan hanya meminta maaf."Saya minta maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud untuk mengacaukan suasana hati, Nyonya."Amarah Lita perlahan menurun. Ia yang sudah dapat menormalkan emosinya kemudian menghela napas. "Benar juga. Suasana hatiku sedang buruk."Shanaz menaikan satu sudut bibirnya, ketika tak terlihat oleh Lita. "Sepertinya dia sedang tertimpa masalah lagi," pikir Shanaz. Sepertinya ini saat yang tepat untuk mengorek informasi dari wanita jahat itu. Meskipun Shanaz harus melakukannya dengan hati-hati. Sebab kalau sampai Lita marah, ia bisa menelan Shanaz hidup
"Ada apa denganmu. Kamu selalu menghindar saat Ibu ingin mengajakmu ke dokter kandungan?" Kalimat yang sudah lama tertahan itu akhirnya meluncur dari bibir Santi. Lita membeku. Untuk beberapa saat ia bingung dan tak bisa memikirkan jawaban yang akan dia berikan untuk mertuanya. Jika salah Lita bisa saja didepak dari keluarga Fernando, karena dianggap telah menipu keluarga mereka."Sebenarnya selama Lita hamil, Lita merasa alergi dengan bau rumah sakit, Bu. Perutku terasa mual," jelas Lita membuat alibi. Dan untuk mendukung kebohongannya ia mengode mata kepada Shanaz agar membenarkan ucapannya. "Benar kan, Nabila?" "Oh, iya. Itu benar Nyonya," sahut Shanaz sambil tersenyum canggung. Terpaksa Shanaz harus mengikuti drama yang dibuat oleh Lita. "Hari ini kamu harus melakukannya," paksa Santi. "Demi Ibu," rayu Santi sambil tersenyum dan memegang telapak tangan Lita. Lita tersenyum canggung. Astaga. Untuk apa melakukan sesuatu demi mertuanya. Lita melakukan ini demi pernikahannya denga
Secara mengejutkan Lita memberikan nomor antriannya kepada wanita hamil itu. "Anda bisa menukarnya dengan nomor antrian saya." Seulas senyum penuh harapan terbit di bibir Lita.Shanaz terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Lita. Tak terkecuali sang mertuanya, hingga tanpa sadar ia lupa mengatupkan mulutnya. Santi yang sempat diam untuk beberapa saat karena rasa keterkejutannya, kini tersulut emosi karena merasa apa yang ia lakukan untuk membuat janji dengan dokter adalah hal yang sia-sia. "Astaga! Apa yang kamu lakukan, Lita?!"Jantung Lita seperti hendak lepas dari tempatnya, saat mendengar pertanyaan dari mertuanya. Masalahnya suaranya begitu keras, hingga pengunjung rumah sakit yang lain melirik ke arah mereka.Wajah Lita menjadi merah seperti kepiting rebus karena malu. Kalau bisa saat itu ia menutupi wajahnya dengan plastik kresek saja. Atau menghilang sementara waktu ke planet mars. Namun yang kini bisa Lita lakukan adalah membujuk mertuanya, serta memberikan alasan yang tepat
Lita menoleh sambil membulatkan matanya lebar-lebar. Jantungnya seakan mau copot karena kaget. Ekspresi wajah kagetnya berubah menjadi merah padam, karena murka dengan Yuni, seorang pelayan di rumahnya yang memergokinya di toilet saat itu."Apa-apaan sih kamu ini? Bikin kaget saja!" Lita memaki-maki Yuni sambil mengelus dadanya sendiri. "Maaf, Nyonya Lita. Tadi saya hanya berniat menyapa Nyonya," ucap Yuni dengan wajah merasa bersalah."Aku ada di sini itu bukan urusanmu," sungut Lita. Yuni sekali lagi meminta maaf, lalu berpamitan untuk pergi. Namun Lita yang memperhatikan perut Yuni yang sudah membuncit karena hamil tua, kemudian Lita menghentikannya. "Tunggu." Mata Lita masih terfokus pada perut Yuni. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran."Iya Nyonya?" tanya Yuni sambil membalikkan badannya."Apa yang kamu lakukan di sini? Lita berbalik tanya. "Apa kamu sedang memeriksa kandunganmu juga?" Yuni segera mengangguk. "Benar Nyonya. Dan saya datang ke sini untuk melakukan USG untuk
Lita hampir mendaratkan pantatnya di atas kursi tunggu. Namun wajahnya berubah menjadi masam saat ibu mertuanya memarahinya. Sejujurnya itu sangat merusak suasana hatinya."Maafkan aku, Ibu," ucap Lita. Padahal sesungguhnya memang itu tujuannya. Mengulur waktu lebih lama agar ibu mertuanya menyingkir dari sana.Dengan hati-hati Lita menaruh botol minuman teh yang telah ia racuni tadi. Dan seperti harapannya, ibu mertuanya tak lama mengambil botol tersebut kemudian meminumnya.Lita tersenyum samar, saat ibu mertuanya merasakan sakit perut sesaat setelah meminum teh itu. Wanita paruh baya itu awalnya memegangi perutnya. Sebagai menantu yang baik, Lita pura-pura perhatian."Ibu, ada apa?" tanya Lita yang wajahnya dibuat seolah cemas. "Ibu sakit?" imbuh Lita.Santi mengangguk. "Iya. Perutku sakit," jawab Santi sambil meringis kesakitan, karena rasa sakit perutnya tak seperti biasanya. "Aku akan ke toilet sebentar," pamit Santi yang langsung bangkit dari tempat duduknya. "Iya, Ibu," sahut
Tak lama Yuni muncul. Pelayan yang juga sedang hamil tua itu berjalan tertatih dan sesekali terlihat ngos-ngosan karena berusaha mempercepat langkahnya. Agar tidak mendapatkan masalah dengan majikannya yang jahat itu.Lita menghela napas lega, saat melihat Yuni dari kejauhan. Rasanya seperti gurun pasir yang dibasahi oleh air hujan dalam sehari. "Akhirnya datang juga," lirihnya sambil tersenyum. Tetapi setelah ini Lita pasti memarahi Yuni habis-habisan, dan tak mau tahu apa alasannya."Itu dia orangnya sudah datang, Sus," tunjuk Lita ke arah Yuni.Sementara itu Yuni masih sibuk mengatur napasnya. "Iya, Sus. Maaf kalau sudah menunggu lama," ucap Yuni."Tidak, apa-apa, Bu. Silakan masuk," sahut perawat yang seakan memahami kondisi wanita yang sedang hamil tua itu.Yuni masuk ke dalam ruang dokter, dan Lita bangkit dari tempat duduknya, lalu mengekor di belakangnya. "Silakan berbaring di sana," pinta dokter sambil menunjuk ke ranjang untuk USG.Lita mengangguk. Kemudian memberi kode meng