Pipi ini masih terasa panas dan telingaku rasanya berdenging karena saking kuatnya tamparan Teh Tari. Meski agak terhuyung aku mencoba menegarkan diri, seorang Hana tidak bisa diremehkan seperti ini.Sungguh, aku tidak percaya, kakak tiriku berani menamparku tepat di hari Mamak meninggal. Bahkan kuburannya saja belum mengering.Bagus! Bagus! Kini kakak tiriku menunjukkan taringnya, dia memang jahat. Dia tak pantas disebut manusia karena telah menghinakan saudaranya sendiri."Teh Tari, apa yang kamu lakukan? Apa maksudmu menyebutku pembunuh?" teriakku emosi. Sumpah, saat ini aku sangat ingin menonjoknya tapi aku terpaksa harus mengendalikan diri demi menghormati mertuaku. Aku tidak ingin Bu Zela dan adik iparku terbangun gara-gara aku nge-reog tidak pada waktunya. Cukuplah, keributan ini terjadi sampai di ambang pintu, aku pun gak sudi mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Bagiku Teh Tari tak ubahnya sebagai benalu, dia gak berhak jadi kakakku."Karena kamu pantas disebut demikian!
"Han, Teteh tunggu jawaban kamu, ya? Teteh harap kamu menepati janji kamu. Oh ya, Teteh sekarang sudah jadi sekretaris Tsabit loh. Kamu tahu, kan? Jadi kapan kamu siap melepaskan Tsabit?"Tepat tiga hari setelah hari pemakaman Mamak berlalu sebuah pesan datang ke ponselku. Sebenarnya aku sudah menduga dan tidak merasa aneh lagi dengan pertanyaan itu tapi tetap saja pesan itu terus terngiang di telingaku. Bagaikan kaset rusak yang terus terekam dan tidak mungkin terenyahkan. Entah mengapa, sampai saat ini aku masih merasa berat untuk menyanggupi pesan dalam surat wasiat Mamak. Mungkinkah aku memang telah jatuh cinta dan tak mau kehilangan? Bagaimana bisa aku seberat ini melepaskan Tsabit? Dan sialnya aku semakin menyesal ketika tahu kalau Teh Tari ternyata menjadi sekretaris Tsabit.Hal ini kuketahui dari Tsania waktu kemarin kami bertukar pesan. Katanya, di saat Tsabit gencar memintaku menjadi sekretaris ternyata Teh Tari telah mendekati mantan sekretaris Tsabit sebelumnya yang bern
"Apa? Cium?" pekikku dengan mata yang membelalak. Aku masih tak menyangka Tsabit bilang mau menciumku secara frontal tanpa sensor seperti ini. Ditambah lagi, ketika dia bilang begitu, jempolnya bergerilya menekan bibirku berulang kali dan menimbulkan gelenyar aneh yang membuat tengkukku meremang. Maunya apa coba Ferguso? Kenapa jantungku jadi gak santai beginiAku menyipitkan mata untuk menelisik maksud dari permintaannya. "Mas bercanda, ya?" tanyaku ragu. Dia kan suka aneh-aneh. Tidak langsung menjawab, terlebih dahulu Tsabit menelan ludahnya gugup. Jakunnya yang seksi itu terlihat naik-turun bak timbaan sumur di belakang rumahku yang ada di kampung, sejurus kemudian dia mengusap hidungnya salah tingkah.Aku yakin dia hanya bercanda tapi kenapa ketika mengatakan itu dia begitu tampak mengerikan? Oh, wait! Apa dia sekarang sudah mulai mesum?"Menurutmu saya bercanda atau tidak?" Dia balik bertanya. Wajahnya semakin condong ke arah wajahku yang mungkin sudah memucat. "Wah Mas, uda
Honeymoon? Apa itu honeymoon? Emang ada orang yang baru berduka itu langsung bulan madu?Nonsense overdongkrak!Jika saja aku tidak paham kalau Tsabit itu emang makhluk Mars yang pemikirannya kadang out of mind, mungkin saat ini aku sudah marah-marah ketika dia bilang kami mau honeymoon. Padahal sebelum pergi, aku sudah wanti-wanti untuk tak melibatkanku tapi nyatanya dia selalu memutuskan seenaknya tanpa tahu perasaanku.Sejujurnya, aku penasaran. Apa yang sebenarnya direncakan Tsabit? Kenapa aku harus ikut rapat? Apa ini semua karena dia gak mau pergi hanya dengan Teh Tari? Ish, tumben! Biasanya cowok mana pun pasti langsung mau aja. Apalagi si Teh Tari bohay.Namun, meski banyak pertanyaan yang mengendap di benakku, aku tidak mau menolak permintaan Tsabit dan menyetujui keinginannya untuk ikut ke hotel demi menemaninya kerja. Lumayan kan, bisa holiday sendirian kalau begini ceritanya. Kapan lagi menikmati harta suami secara halal? Sebelum bercerai. Setelah lama melalui perjalan
Aku pernah dekat dengan Reno semasa aku masih berumur 18 tahun. Kurang lebih waktu lulus SMA. Itu masa yang sangat berat karena di saat itu Mamak lebih sering meninggalkanku dan memukul entah apa sebabnya. Pasca kematian Bapak, Mamak menjadi semakin hilang kendali bahkan aku pernah diusir.Sebagai bentuk kekecewaan kepada Mamak, aku lebih sering berada di luar rumah dan bergabung bersama Ocim juga kawan-kawan buangan lainnya. Walau perempuan, aku bisa bergabung dengan mereka yang suka nongkrong, malak sampai menjaga pasar secara bersama-sama. Pergaulanku yang erat dengan dunia hitam membawaku berkenalan dengan Reno karena ketidaksengajaan. Reno yang merupakan anak pak kades saat itu memang cukup supel dan masuk ke pergaulan mana saja. Kami dan Reno membangun hubungan simbiosis mutualisme yang erat karena sama-sama diuntungkan. Reno ingin kepemimpinan bapaknya lancar dan kalau bisa dua periode sementara kami ingin kegiatan positif kami tidak dipersulit. Meski tahu alasan Reno, baik a
Aku tahu sulit rasanya meminta keadilan kepada manusia karena Tuhan juga sudah bilang lewat kalamnya kalau hanya Dia-lah yang Maha Adil. Namun, sebagai manusia yang punya sifat kecewa sudah sepantasnya aku mencari makna adil menurutku sendiri. Aku bukanlah orang lemah yang mau terus-menerus dianiaya. Aku juga punya batasnya dan ingin bahagia. Aku masih ingat dulu sewaktu umurku 19 tahun, suatu saat aku sempat mau kabur dari rumah karena tidak tahan dengan perlakuan Teh Tari dan Mamak. Aku merasa dunia hanya adil bagi sebagian orang, aku tak pantas berada di lingkaran Teh Tari dan Mamak. Namun, ketika aku mulai marah pada keadaan dan bersiap pergi mencari kebahagiaanku sendiri tetiba malamnya aku bermimpi almarhum bapak menemuiku. Bapak bilang. "Neng, yang sabar ya? Kalau Neng pergi, siapa yang jaga rumah Bapak? Kalau Neng pergi, siapa yang sayang sama desa ini? Kalau Neng pergi, siapa yang jaga Mamak?" Oh Tuhan! Di dalam mimpi itu, aku merasa bapak seolah benar-benar berbicara pada
Pak Candra : Halo, Hana, apa kabar? Minggu ini kamu masuk kuliah, kan? Me : Masuk Pak, insya Allah kalau Allah menghendaki. Emang kenapa, Pak?Pak Candra : Enggak. Saya takut kamu masih di kampung. Me : Oh, aman Pak. Suami saya sudah balikin saya ke Bandung.Pak Candra : Syukurlah. See you on saturday night, Hana.Ceilah! Gayanya saturday night. Berasa banget aku lagi malam mingguan sama dosen padahal aku ada kuliah karyawan.Aku menggeleng pelan melihat chat dari Candra. Heran sama dosen satu itu, semenjak Mamak meninggal dia lebih sering memperhatikanku dan hal itu membuat aku jadi gak enak hati. Bukan apa-apa, masalahnya Tsabit gak suka kalau ada cowok yang menghubungiku. Terutama Surya dan Candra, sekali pun Candra sahabatnya, Tsabit teramat posesif.Heran. Apa dia cemburu? Masa sih? Agh, kuharap sih begitu. Ge-Er!"Howaaah!" Aku menguap pelan seraya meletakkan ponsel di atas nakas. Entah mengapa, malam ini aku merasa sangat lelah dan mengantuk tapi anehnya aku gak berani untuk
Mataku terbuka saat suara dengkuran paling halus menyapa telinga. Perlahan memicing mencoba mengenali sekitar, baiklah aku masih ada di bumi, lebih tepatnya di kamar hotel yang mewah bukan di khayangan.Perlahan tapi pasti, kugerakan kepala ke kiri karena dari sanalah suara dengkuran halus itu berasal. Alangkah terkejutnya aku tatkala mataku menangkap sosok tak asing yang begitu menawan."Ceileh, ini dia suami ganteng tuh?" Aku memekik pelan seraya menutup mulut yang menganga.Melihat Tsabit yang tengah tertidur layaknya bayi aku jadi teringat kejadian tadi malam. Aku yang sudah bersemangat ngajak kawin nyatanya malah ditinggal tidur. Bener-bener terlalu dia Ferguso! Alhasil karena ngerasa malu, aku pun menenggelamkan diri di bantal dan membuat pulau kenangan daripada menunggu Tsabit mau kawin. Lagi pula sejujurnya aku tak berharap banyak. Sudah kuduga, hati Tsabit itu gak bisa ditebak keinginannya, entah dia masih suka sama Jingga atau tidak karena dia gak pernah bilang.Namun, mes