Mataku terbuka saat suara dengkuran paling halus menyapa telinga. Perlahan memicing mencoba mengenali sekitar, baiklah aku masih ada di bumi, lebih tepatnya di kamar hotel yang mewah bukan di khayangan.Perlahan tapi pasti, kugerakan kepala ke kiri karena dari sanalah suara dengkuran halus itu berasal. Alangkah terkejutnya aku tatkala mataku menangkap sosok tak asing yang begitu menawan."Ceileh, ini dia suami ganteng tuh?" Aku memekik pelan seraya menutup mulut yang menganga.Melihat Tsabit yang tengah tertidur layaknya bayi aku jadi teringat kejadian tadi malam. Aku yang sudah bersemangat ngajak kawin nyatanya malah ditinggal tidur. Bener-bener terlalu dia Ferguso! Alhasil karena ngerasa malu, aku pun menenggelamkan diri di bantal dan membuat pulau kenangan daripada menunggu Tsabit mau kawin. Lagi pula sejujurnya aku tak berharap banyak. Sudah kuduga, hati Tsabit itu gak bisa ditebak keinginannya, entah dia masih suka sama Jingga atau tidak karena dia gak pernah bilang.Namun, mes
Salah ini benar-benar salah!Aku harus tidur, tidak boleh ngeronda seperti ini. Sebenarnya, setelah mendengar kalau ponsel Tsabit dipegang Teh Tari, otak dan hatiku seolah berdebat. Satu sisiku mengatakan kalau itu hanyalah kebetulan, lagi pula kakak tiriku itu sekretarisnya. Sudah sepantasnya Tsabit meminta bantuan sama Teh Tari atau meminta keputusannya. Namun, sialnya di satu sisi lain setan mulai membisiku kalau hal itu bisa saja berlanjut menjadi hubungan yang serius. Bukankah begitu banyak novel, film sampai drama yang mengangkat kisah tentang skretaris yang dicintai bosnya?"Huh!" Aku menghembuskan napas kesal. Malam ini, di kamar milik Tsabit yang ada di rumah Bu Zela, entah berapa kali aku sudah membolak-balikan badan, mencari posisi yang pas untuk tidur tapi anehnya mataku tidak mau terpejam. Hah! Tidak! Tidak aku harus mengenyahkan perasaan galau ini. Segera, aku melangkah keluar kamar Tsabit. Beberapa ruangan di rumah mertuaku sudah gelap. Mungkin semua orang sudah tidu
Aku tahu kalau bersembunyi itu tindakan pengecut. Seharusnya aku tidak bersembunyi seperti ini. Sejak kapan aku jadi penakut seperti ini, ya?Oh, shit! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kedatangan Tsabit ke kantin benar-benar di luar dugaan. Perasaan dia gak bilang akan pulang di chat, makanya aku berani mengabaikannya. Siapa sangka, dia malah udah nyampe Bandung aja. Aku yakin jika dia melihatku, Tsabit akan marah. Dia akan bertanya banyak hal tentang ini dan itu.Ah, aku tidak bisa menemuinya sekarang karena belum siap. Tidak! Melihat kondisi yang tidak mendukung, tanpa ba-bi-bu aku ngacir ke kolong meja yang kebetulan diberi hordeng kolongnya tersebut.Aku memutuskan sembunyi di antara kaki-kaki meja yang tingginya lumayan setinggi orang dewasa kalau lagi jongkok. Beruntung, aku memilih meja paling pojok sehingga tertutupi oleh orang-orang yang sibuk cari muka dengan Tsabit. Keadaan yang berubah jadi hectic ini membuatku bisa leluasa ngumpet. "Ya ampun, ini ganteng banget sih
Aku ingat awal kegilaan ini dimulai, yakni kesepakatan untuk menjadi istri bayaran senilai 500 juta rupiah. Mulai dari sanalah, kehidupanku seolah jungkir balik. Membuatku menjadi wanita yang mulai punya obsesi dan mengingkari janjiku sendiri. Namun, tak kusangka semua keputusanku itu semakin membawaku ke dalam perangkap seorang Tsabit. Oh, Tuhan! Aku tidak bisa terus-terusan digoda seperti ini. Dia menatapku dalam membuat pipiku memerah. Aku mencoba membalas tatapannya tapi yang ada malah jantungku berdebar sangat brutal. "Pak! Tolong jangan begini ini kantor!" Aku mendorong tubuh Tsabit supaya sedikit menjauh tapi tampaknya nggak berarti apa-apa karena tubuhnya besar.Aku kira dia mengajakku untuk meminta penjelasan tentang aku yang ketahuan bersembunyi di kolong meja.Ternyata, eh ternyata! Dia malah menerkamku bak singa lapar."Stop panggil saya 'Pak'! Sudah saya bilang kan saya suami kamu, Hana! Saya suamimu. Saya benci kamu panggil Pak. Kamu paham itu, kan?" Kalimat itu diucap
"Seksi." Dia bergumam sambil tersenyum. "Gak nyangka kamu cocok juga."Dahiku sontak berkerut, berusaha menstabilkan debaran jantung yang menggila karena melihat suamiku tiba-tiba masuk ke kamar pas. Yaelah, kenapa di ada di sini pas aku lagi baju seksi lagi? Kan aku jadi malu. Aku merasa aku lebih mirip lemper dipitain kalau pakai lingeri dibanding wanita seksi."Mas? Mas kenapa bisa masuk ke sini? Ke mana Tsania? Tsan! Tsan!" Aku berteriak panik sambil membuka pintu kamar pas sedikit sekalian mengecek di luar sana apakah ada orang atau tidak tapi sialnya tak ada satu pun yang menjawab. Toko lingerie bermerek itu seakan sengaja dikosongkan. Menyadari kalau aku terjebak, langkahku otomatis mundur beberapa langkah dari badan Tsabit. Sumpah ya, lelaki satu ini selalu hobi membuat istrinya jantungan. Di kantor dia seenaknya menciumku paksa dan di mall dia seenaknya masuk ke kamar pas di mana di dalamnya ada aku yang lagi pakai baju saringan tahu. Tsabit memang selalu out of mind. Dia
Sekali lagi. Aku menghela napas pelan. Malam ini aku memilih duduk di taman rumah sakit sendirian sambil merenung. Selepas menguping pembicaraan Tsabit dan Bu Zela, aku menjadi hilang semangat untuk terus berada di sana. Aku khawatir jika terus menguping, Candra akan tahu perasaanku yang gamang gara-gara mendengar ucapan mertuaku sendiri. Entah mengapa perasaanku mendadak kecewa ketika mengetahui Tsabit meminta kami memiliki bayi bukan karena keinginan sendiri tapi karena permintaan ibunya.Jujur, aku sempat berharap dia mengatakan itu karena dia mencintaiku dan ingin menghamiliku atas keinginannya sendiri bukan paksaan tapi rupanya itu mustahil. Sampai sekarang pun ternyata Tsabit hanya terpaksa, dia belum bisa menerimaku seutuhnya sebagai istri.Bodoh! Ya, aku sangat bodoh.Sungguh, terlepas dari kekecewaanku pada keadaan, nyatanya aku lebih marah pada diri sendiri karena terlalu berharap pada hubungan ini. Seharusnya sejak awal aku tidak pernah menyimpan hati. Seharusnya sejak aw
Perlahan aku mencoba untuk membuka mata , menggeliat dan mengganti posisi menghadap ke samping. Namun, ada yang aneh sepertinya bau yang kucium kali ini berbeda dengan bantalku yang biasanya. Kali ini wanginya lebih maskulin dan menenangkan.Penasaran, aku menggulirkan pandanganku ke samping. Pupil mataku melebar tatkala menemukan wajah Tsabit tengah memandang cemas. "Alhamdullilah, kamu sadar juga," ujarnya. "Astaghfirullah! Mas, ada di mana aku sekarang?" tanyaku terperanjat. Aku langsung mendudukkan diri. Kupegangi kepalaku yang masih terasa pusing sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang didominasi warna hitam dan putih. Tsabit tersenyum sambil menatapku. "Kamu ada di kamar saya. Gimana? Udah baikan?" tanya Tsabit seraya memeriksa suhu badanku. Dia gegas memeriksa dahiku dan lalu mengepitkan termometr di mulutku. Tak lama setelah mendapat hasilnya, pria yang sepertinya sejak tadi menungguku itu mengulas senyum simpul. "Oke, suhunya udah normal. Gimana kamu mas
Sejak dulu, aku terbiasa hidup penuh dengan penderitaan dan tantangan. Jika diibaratkan jalan, mungkin hidupku itu gak selurus jalan tol. Terlalu banyak batu dan lobang yang dapat membuatku jatuh bahkan terluka tapi aku bersyukur nyatanya aku bisa bertahan melewati semua. Aku gak mau menjadi lemah dan diinjak-injak karena itulah aku berusaha untuk melakukan apa saja demi bertahan di dunia yang gak bersahabat ini. Namun, sekarang rasanya berbeda, selama aku menikah dengan Tsabit hidupku seolah penuh dengan kebaikan dan kehangatan. Darinya aku mulai belajar apa itu rasa cinta dan pengorbanan. Dan dia juga lelaki pertama yang memeluk rasa sakit yang selama ini kupendam. Bagiku, Tsabit layaknya pangeran yang ada di dongeng Cinderella yang mampu menjadi penawar dari lukaku. Karena kebaikannya, aku bahkan berharap keromantisannya akhir-akhir ini adalah tanda kalau dia mulai menerimaku. Tetapi, sayangnya meski aku ingin tetap bersama Tsabit kini keraguan mulai menghinggapi ketika masalah