POV AuthorAksa menepikan mobilnya di tepi sebuah rumah yang memiliki halaman yang cukup luas. Ia melihat lagi dirinya di pantulan kaca spion.Wajahnya terlihat semakin lelah dan lingkaran hitam di bawah matanya tampak semakin jelas. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaannya yang memang sudah kacau. Setelah menghembuskan napas beberapa kali akhirnya dia pun memutuskan untuk turun dari mobil. Aksa menarik napas masygul ketika memasuki halaman. Rupanya inilah rumah Bik Awin, rumah singgah sementara Jingga jika pulang ke kampung halaman. Melihat kondisi rumahnya, Aksa tak heran jika Jingga bisa jadi kerasan di sini. Walau tak semewah miliknya, rumah panggung Bik Awin sangat nyaman dan asri. Terutama rumah ini bereda tepat di daerah persawahan dan di belakangnya terdapat bukit yang Aksa tidak tahu bukit apa namanya. Sejujurnya, Aksa agak ragu untuk menemui Jingga sekarang tapi masih ada yang harus ia jelaskan dan ia pun cemas jika tak bertemu Jingga lama-lama. Dia
Aku menatap ke luar jendela, sama sekali tak membuka percakapan dengan Kalila karena sibuk mengamati jalanan yang mulai menjauh dari daerah perkotaan. Aku sengaja tidak tidur atau bersantai karena tengah bersikap waspada dan bahkan diam-diam aku mengirimkan lokasi terkini ke Nino kalau-kalau aku tidak bisa pulang dengan selamat. Sayangnya semakin jauh kami berkendara, GPS sudah tidak bisa diakses.Aku gelisah tapi tak mau menunjukannya. Aku tidak mau Kalila menilai aku takut padahal aku sendiri yang menyanggupi permintaannya untuk mengikuti. Kupikir ini satu-satunya cara untuk membuka maksud terselubung dari seorang Kalila. Sebenarnya, seusai Kalila bilang ingin menemuiku untuk memberi informasi mengenai kesalahan Mas Aksa yang katanya lebih besar dari berselingkuh, mendadak rasa respect-ku pada Kalila menguap begitu saja dan insting wanitaku langsung memberi kode bahaya.Jujur, awalnya aku sempat tidak perduli pada omongan Kalila, terlebih aku merasa sudah tak ada gunanya lagi meng
Rasanya aku ingin tertawa sumbang atas apa yang sedang terjadi padaku sekarang. Seorang wanita yang sok jagoan dan bodoh telah berhasil diperdaya oleh dua wanita yang pernah mencintai suamiku sendiri. Pantas saja, anjing pasti temannya anjing. Tak heran jika mereka bisa bersama untuk merencanakan hal jahat ini."Dasar tolol! Di mana otakmu, Jingga? Kamu hanya cari mati dan nekat tanpa perhitungan!" Begitulah isi batinku tak henti memaki semenjak aku dijebak dan berakhir terperangkap di kamar tertutup, dalam kondisi badan terikat. Parahnya, aku bahkan hendak dijadikan mangsa bagi Mang Ardi dan teman-temannya di geng semut hitam. Ya Allah apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mau menjadi bulan-bulanan mereka!Menyadari ketololanku, tanpa terasa air mataku kembali mengalir. Walau rasanya aku sudah lelah menangis karena merasa menyesal dan bersalah pada Mas Aksa karena telah gagal mempercayainya tetap saja aku sangat ketakutan sekarang. Terkadang orang yang balas dendam lebih me
Mataku perlahan terbuka ketika mencium bau obat-obatan yang membuatku mual dan yang pertama kali kulihat adalah langit-langit ruangan yang bercat putih.Aku nggak sadar bagaimana caranya aku bisa sampai di sini. Hanya saat ini kurasakan kepalaku kembali berdenyut, rasanya seolah-olah kepala ini ditusuk ribuan paku. Sakitnya nggak kira-kira hingga aku mengeluarkan sebuah rintihan kecil."Aww!""Eh, Jingga udah bangun? Tsabit! Tsania! Jingga udah bangun!" Suara lantang Bu Zela yang antusias membuat dua orang tetiba datang masuk ke ruagan. "Alhamdullilah ya Allah. Jingga ... akhirnya kamu bangun Ga," ujar Tsabit dengan nada parau dan berat. Pria itu terlihat lega, begitu juga gadis yang ada di sampingnya. Aku tersenyum lemah kepada mereka, bersyukur bisa melihat kedua adik iparku lagi. Pandanganku teralih pada Ibu mertuaku. "Kenapa Jingga bisa di sini, Bu?" tanyaku bingung. Sepertinya aku mengalami disorientasi waktu juga tempat."Kamu pingsan Jingga, kepala kamu kayaknya dibentur oleh
Seminggu telah berlalu pasca insiden tapi Mas aksa masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Di sisi lain aku pun sama masih tetap bolak-balik kampus dan rumah sakit sambil mengerjakan tugas kuliah. Aku ingin ketika Mas Aksa siuman dia akan merasa bangga karena istrinya telah mengerjakan skripsi.Malam ini, seperti biasanya sepulang dari kampus aku langsung menjenguk suamiku. Aku tidak boleh telat karena kasian pada Bu Zela, Pak Alfa atau Tsania yang kadang menggantikanku menjaga Mas Aksa saat kuliah.Kok, cuman mereka bertiga ke mana Tsabit? Aku tahu pasti banyak yang bertanya tentang itu.Nah itulah masalahnya. Usai pertemuan kami terakhir di kafe di mana dia mengungkapkan perasaannya dan diakhiri dengan adegan mengejar Hana, Tsabit seolah menghindariku. Entah apa alasannya tapi dia tiba-tiba menjadi orang asing. Namun, meski menjadi berbeda anehnya aku malah bersyukur karena dengan begini Tsabit dan aku jadi bisa menjaga satu sama lain. Terutama kata Bu Zela, baik Tsabit atau Hana
Tinggal satu hari lagi Mas Aksa berada di rumah sakit, akhirnya setelah lebih dari seminggu berada dalam observasi, besok nanti Mas Aksa diperbolehkan pulang karena tampaknya fisik Mas Aksa lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama Mas Aksa di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya kadang juga aku sampai mengerjakan skripsi di sini. Kupikir, selaku dosen sepatutnya Mas Aksa juga bisa membantu. Namun, ternyata memiliki suami dokter dan dosen sekaligus gak bagus juga, sebab terkadang kalau udah datang bawelnya aku suka berasa dengerin ceramah non stop. Otak Mas Aksa yang memiliki kecerdasan nasional di atas rata-rata sepertinya jomplang sekali dengan otakku yang hanya sesendok, sehingga ketika dia memberikan arahan, alhasil aku hanya bisa bengong sambil ngupil. "Mas, kayaknya aku gak usah sarjana aja deh, aku nyerah." Aku menelungkupkan tangan di atas meja yang ada di ruang rawat VIP. Rasanya kepalaku udah mau pecah gara-gara dari pagi sampai sore gak henti menelaah buku. Di
Tak kusangka, ternyata punya suami sekaligus dosen pembimbing skripsi ada enak dan gak enaknya. Sebulan paska dinyatakan sembuh seperti biasa Mas Aksa langsung beraksi, dia gencar sekali membantuku membuat tugas akhir dan tetek bengeknya. Sumpah, di satu sisi aku senang ada yang mengajari tapi di sisi lain aku berasa lagi diceramahi non stop jika aku salah.Bagiku yang gampang baper ini terkadang semua nasehat Mas Aksa yang disebutkan, persis guru BP yang sedang memarahi anak muridnya. Untunglah, aku enggak sampai diskors jadi istri, kalau itu sampai terjadi, apa bedanya aku dengan mahasiswanya? Bisa-bisa aku dapat ipk jelek sebagai istri dosen killer satu ini.Namun, terlepas dari semua itu hari ini aku benar-benar merasa bersyukur. Karena di tengah perjuanganku lulus aku mendapat info kalau si Kalila dan Nadia sudah taubat sehingga tidak akan mengganggu kami lagi. Nah dikareakan kabar gembira itu, siang ini gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba Mas Aksa mengajakku untuk makan sian
POV Hana "Saya terima nikah dan kawinnya Hana Anastasia Al Husna binti almarhum Ferdi Hamami dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.""Bagaimana para saksi? Sah?""Sah."Terdengar semua orang bersuka cita kecuali aku. Di saat semua pengantin wanita menitikkan air mata karena terharu bahagia, aku justru menangis karena setelah akad ini hidupku akan berubah 180 derajat dan akan sangat menyedihkan setelah menikah dengan Tsabit. Aku memalingkan wajah ke samping untuk melihat wajah pria yang tiba-tiba sudah menjadi suamiku. Setelah menyematkan cincin di jari manisku, Tsabit mencium keningku antar ikhlas dan enggak. "Gak usah manyun, saya juga malas nyium kamu, tersenyumlah meski pura-pura," bisik Tsabit sambil tersenyum mengejek."Berisik!" desisku sebal. Walau dengan kekesalan yang menggunung, aku yang sudah ingin mencekik suami di sebelahku terpaksa harus menahan diri karena malu.Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Seperti yang telah ditentukan oleh kedua keluarga, pernikahan i