Terlihat Marvin berjalan ke kasurnya. Ia duduk di kasurnya sambil masih memegang ponselnya. Marvin termenung untuk beberapa saat.
Tangannya segera bergerak membuka instagramnya. Ia membaca DM yang ia terima sore tadi. Rasa kesal yang menggunung kembali menghinggapinya. Ia kesal dengan isi percakapannya dengan akun si Lily_Yang_Tersakiti tersebut. Sebutan naif dan jadilah cerdas sungguh mengganggu pikirannya.
Marvin menghembuskan nafas panjang beberapa kali. Ia berusaha menguasai kegelisahannya. Beberapa detik kemudian, terlihat ia berjalan menuju meja belajarnya.
Ia duduk di kursi meja belajarnya sambil meraih foto prewednya. Diamatinya foto-foto tadi sekali lagi. Marvin menatap foto Ibel secara seksama, mencoba mencari sesuatu.
Marvin menatap wajah Ibel untuk kesekian kalinya. Tak ada tanda-tanda wajah pembohong di mukanya. Marvin menghembuskan nafas panjang. Ia mencoba mengusir pikiran buruk yang menyelinap masuk.
”Ibel cewek baik-baik,” gumamnya kemudian.
Ibel adalah teman sekolah Marvin sewaktu SMA. Banyak yang jatuh cinta dengannya. Maklum, Ibel tak hanya cantik, tapi juga baik. Ia juga terbilang cerdas. Dengan pesona itu wajar kalau banyak yang jatuh cinta dengannya. Dan tak bisa dihindari jika banyak kaum hawa yang sirik dengannya.
Meski ia dan Ibel satu sekolah, bukan berarti keduanya pacaran sejak lama. Keduanya sama sekali tak terikat hubungan, hingga beberapa waktu yang lalu.
Ia dan Ibel baru ketemu lagi sekitar enam bulan lalu. Waktu itu, ada reuni di SMA mereka. Ia bertemu Ibel di sana. Keduanya lantas bertukar nomor ponsel. Setelah sebulan melakukan penyelidikan dan tahu kalau Ibel tak punya pacar, Marvin memberanikan diri menembak Ibel.
Setelah Ibel menerima, Marvin langsung menceritakan hubungan mereka pada orang tuanya. Papa Marvin bahkan langsung mengusulkan agar mereka untuk segera lamaran.
”Kalau bisa Minggu ini kamu sudah melamar dia ya, Vin!” usul Papanya kala itu.
”Apa nggak terlalu cepat pah? Kami belum genap seminggu pacaran!”
”Nunggu pacaran berapa lama dulu baru lamaran? Apa sih yang kamu tunggu?”
”Kami kan baru aja ketemu lagi, Pa? Apa nggak lebih baik belajar mengenal dulu?” kata Marvin beralasan.
”Halah! Kenapa pakai belajar lama-lama? Niat baik kan harus disegerakan!”
”Disegerakan bukan berarti terburu-buru juga, kan, Pa?”
”Hadeehh ... kamu ini, ya! Pacar, nyari-nyari sendiri kok, bisa kayak orang ragu gitu disuruh ngelamar?”
”Bukan ragu, Pa. Cuma mencari kepastian aja.”
”Halah. Alasan kamu klasik!” balas Papa Marvin.
”Memang, kamu nggak yakin sama Ibel ya? Kalau nggak yakin, kenapa kamu pacari? Mending temenan aja kalau nggak serius gitu,” timpal Mamanya. Akhirnya sangat Ratu membuka suara.
”Lho ... aku serius kok.”
”Ya sudah. Lamar saja!” perintah Mamanya.
Marvin menghembuskan nafas panjang saat itu.
Ini bukan hal mudah. Ia memang sudah mengantongi izin dari orang tuanya. Akan tetapi, bagaimana dengan Ibel dan keluarganya? Marvin belum pernah bertemu orang tua Ibel. Mereka baru jadian tiga hari yang lalu!
”Memang, kamu masih setengah hati ya sama Ibel?” tanya Mamanya.
”Nggak kok, Ma. Sepenuh hati ini."
”Terus apa lagi yang ditunggu?”
Marvin kembali menghembuskan nafas panjang. Sulit menjelaskan segala sesuatunya kalau kedua ortunya sudah seperti ini.
”Jangan-jangan Ibel jelek mah. Makanya dia ragu-ragu,” seloroh Papanya asal.
”Nggak kok. Ibel itu cantik. Cantik banget malah,” bela Marvin.
Marvin tak berlebihan saat mengatakan Ibel sangat cantik. Secara fisik, Ibel memang begitu. Ia memiliki badan bak model iklan. Paras wajahnya sungguh cantik. Ia berhidung bangir. Beralis tebal dan rapi. Kulitnya putih. Rambutnya panjang sedikit coklat kemerahan alami. Konon, kakek buyut dari papanya Ibel berasal dari Belanda. Mungkin itu yang membuat Ibel memiliki ciri fisik yang agak kebule-bulean.
Papanya akhirnya bertanya, ”Kamu suka ibel, kan?”
”Ya jelas dong, Pa. Kalau nggak suka, nggak mungkin aku pacarin dia.”
Marvin bersungguh-sungguh saat mengatakan itu. Jika mau jujur, rasa suka itu sudah ada sejak SMA. Siapa yang tak jatuh cinta dengan Ibel? Tapi sayangnya, Ibel saat itu sudah lebih dulu didekati oleh teman seangkatan Marvin juga, Rajendra.
Pria itu dulu ketua OSIS sekaligus bintang di sekolahnya. Tak hanya beken, Rajendra juga anak orang kaya. Pesona Ardan pasti langsung tenggelam kalau disandingkan dengan Rajendra. Ibel lebih cocok bersanding dengan Rajendra ketimbang dirinya.
”Ya, sudah. Segera lamar dia! Jangan sampai kamu keduluan cowok lain!” kata papanya memerintah.
Keesokan harinya, Marvin meminta Ibel segera memperkenalkan dia ke orang tua perempuan itu. Saat datang menemui orang tua Ibel, Marvin segera menyampaikan maksud kedatangannya.
Dua Minggu kemudian, lamaran pun berlangsung. Sebenarnya bisa lebih cepat lagi jika orang tua Ibel tidak menunggu seluruh keluarga besar mereka.
"Bib...bib...bib..." Ponsel Marvin berbunyi.
Ada telepon masuk. Marvin bergegas mengambil ponselnya. Nama Ibel tertera di layar ponsel. Segera saja, Marvin mengangkatnya.
Setelah mengucapkan salam dan disahuti oleh Marvin, terdengar Ibel meminta maaf.
”Maaf, tadi aku putus percakapannya!”
”Kamu tadi di mana?”
”Di apotek.”
”Apotek?”
”Iya. Lagi antri beli obat maag. Asam lambungku naik. Mual gitu. Makanya tadi mampir beli obat maag dulu.”
Marvin menghembuskan nafas lega. Namun, itu tidak bertahan lama. Ia segera teringat suara perempuan yang menyebut kata test pack tadi.
”Siapa yang ngomong soal test pack tadi?”
”Itu ... Mbak penjaga apoteknya. Dia lagi ngomong sama orang yang ada di depanku.”
”Ooohhh ... ” kembali Marvin menghembuskan nafas lega.
Pantas saja suaranya terdengar jelas. Ternyata, orang itu tengah berbicara dengan orang yang berada di dekat Ibel.
”Vin ... aku minum obat dulu ya? Mual banget nih.”
”Oh, iya. Istirahatlah! Kamu pasti capek sekali.”
”Iya. Mau minum obat. Terus, langsung mandi air anget. Siapa tahu bisa baikan.”
”Iya. Istirahatlah, Bel!”
Percakapan berakhir. Marvin kembali menghembuskan nafas lega.
Bibirnya bahkan membentuk senyuman tipis karena perasaan lega yang menyeruak di hatinya usai mendengar penjelasan Ibel barusan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, kan?
Hari kemarin telah berlalu. Marvin baru saja mencuci tangannya usai makan saat telepon dari mamanya masuk. Segera saja Marvin mengangkatnya. Usai menjawab salam, mamanya langsung mengingatkan sesuatu.
"Vin ... bisa kita bicara sebentar?" kata Ibelpada Marvin.Keduanya saat ini sedang ada di Tiara Catering. Marvindan Ibel sudah datang sejak setengah jam yang lalu. Marvin menjemput Ibelterlebih dahulu. Untungnya, Marvin membawa mobil. Seandainya ia membawa motor,entah bagaimana nasib Ibel.
Mata Marvin terbeliak. Pertanyaan itu mengejutkannya karena terbilang tak sopan juga. Itu sebabnya ia mendelik kaget. "Maaf ... saya tahu pertanyaan ini mungkin nggak sopan. Saya hanya penasaran saja," kata ibu katering dengan senyum kecut.
Marvin keluar dari kamarnya untuk sarapan pagi. Ia berjalan menuju ruang makan dengan wajah lesu. Di ruang makan ortu dan adiknya Marvin sudah duduk di kursi untuk sarapan. Saat Marvin sampai di meja makan, adiknya, Merva malah sudah selesai sarapan. Mama dan papanya Marvin melihat Marvin menarik kursi tanpa semangat. Terlihat wajahnya Marvin kuyu tak ada senyuman. Wajahnya tampak murung."Lemes amat!" kata papanya singkat mengomentari Marvin.Marvin meresponnya dengan senyuman kecut."Semalam kamu juga nggak makan malam. Banyak kerjaan di kantor?""Iya," sahut Marvin singkat."Sarapan yang banyak, Mas! Biar kuat menghadapi pahitnya hidup," seloroh adiknya dengan senyum usil.Marvin meresponnya dengan cengiran ke arah adiknya tersebut."Mah...Pah...Aku ada kuliah jam pertama pagi ini. Ngumpulin tugas juga. Jadi mau berangkat dulu sekarang,""Mmmhhh," gumam papanya."Hati-hati!" pesan mamanya."Iya,"Merva salim ke papa dan mamanya."Mas...Aku berangkat duluan ya,""Iya. Hati-hati," p
Jam makan siang sedang berlangsung. Marvin makan siang di sebuah restoran dekat kantornya. Hari ini Ricky menemuinya. Itu sebabnya ia makan siang di sini. Biar leluasa berbicara.Keduanya sudah berada di tempat ini sekitar 10 menit yang lalu. Usai minuman yang mereka pesan datang Ricky langsung menyodori pertanyaan foto mana yang diminta Marvin untuk dicetak besar."Terserah kamu aja," ujar Marvin ke Ricky."Lho kok terserah aku?" kata Ricky setengah protes.Marvin tersenyum kecut. Terlihat ia masih tak bersemangat."Yang nikah kan kamu. Jadi kamu pilihlah foto mana yang mau aku cetak buat di gedung nanti!"Marvin masih tak bergeming. Terlihat ia tak berminat untuk memilih."Ini mumpung aku lagi baik lho, Vin. Ngasih kesempatan kamu milih sendiri. Biasanya aku sendiri yang nentuin. Nggak pakai nanya klien,""Ya udah gitu aja. Malah enak. Biar aku nggak pusing milihnya," jawab Marvin. Kali ini suaranya terdengar ketus.Ricky menatap Marvin dengan sorot mata keheranan. Perubahan suara M
Marvin mengangguk setuju. Kemungkinan seseorang mau mengaku usai melakukan kesalahan itu kecil sekali. Orang cenderung menutupi kesalahannya. Tapi dia harus mulai mencari bukti dari mana? Harus ke RS mana untuk penyelidikan awalnya? Nggak mungkin ia mendatangi seluruh RS yang ada. Kalau pun ketemu, pihak RS belum tentu mau membuka data diri pasien. Bertanya langsung ke Lily_Yang_Tersakiti juga bukan pilihan yang menyenangkan. Sejak awal pengirim DM ini lebih banyak bertindak seperti pengirim surat kaleng. Identitasnya tak diketahui. Ditanyai sikapnya ketus. Yang ada Marvin jadi dibuat jengkel saat berinteraksi dengannya. Hening sesaat. Pelayan mengantarkan makanan yang mereka pesan. Marvin pamit ke kamar kecil terlebih dahulu. Ia mempersilakan Ricky makan lebih dulu.Marvin baru saja selesai mencuci tangannya usai pipis. Setelah itu ia mengambil ponselnya sejenak untuk melihat sudah pukul berapa saat ini. Di saat bersamaan ada pemberitahuan dari instagramnya. Dahi Marvin mengerut. T
Marvin mematut dirinya di depan cermin. Ia mengamati bayangannya di cermin yang sedang mengenakan baju pernikahannya. Ini baju kedua yang ia pakai. Baju pertama yang dipakai untuk akad sudah ia coba beberapa menit yang lalu. Sedangkan baju yang ia pakai saat ini baju yang hendak dipakai saat resepsi. "Gimana Mas Marvin? Bajunya pas kan?" tanya Ayudia Inara, MUA sekaligus pemilik dari WO yang akan menangani pernikahan Marvin dan Ibel nanti. Hari ini selain fitting baju, Ibel akan test make up di tempat ini."Pas kok mbak," sahut Marvin. Ia memanggil mbak ke Ayudia karena perempuan itu masih terbilang muda. Sekitar umur 32 tahun. Selain masih muda, Ayudia juga seorang perempuan yang energik serta ramah. Hingga Marvin dan Ibel merasa tak perlu menciptakan jarak dengan memanggilnya Bu Ayudia.Ayudia dan seorang karyawannya mengamati sejenak baju yang dikenakan Marvin. Keduanya terlihat puas karena baju itu melekat sempurna di tubuh Marvin. Keduanya sempat meminta Marvin berputar untuk s
”Hamil? Ah, yang benar aja?! Masak Ibel hamil?”Pertanyaan-pertanyaan ini berseliweran di benak Marvin."Nggak," jawab Ibel."Tapi itu bajunya kok nggak muat gini?""Nggak tahu. Keliru mungkin ukurannya,""Karyawanku bilang nggak,""Coba di cek dulu!""Mutiara, coba kamu bawa catatanmu dan meteranmu deh!"Terdengar langkah menjauh. Marvin memasang jaketnya. Setelah itu ia memilih tetap diam di kamar itu.Terdengar langkah mendekat. Marvin kembali menyimak."Nih, say...liat tuh! Bener kan? Ini baju memang sudah ukuranmu,""Tapi kok nggak muat?""Nah, makanya itu! Kamu hamil nih kayaknya!""Nggak,""Kamu nggak ngerasa gemukan gitu?" "Nggak. Liat aja badanku kan masih segini-gini aja,""Kamu mungkin tipe orang yang kalau gemuk larinya ke pipi atau perut aja,""Ah, masak?”"Lha ini buktinya,"Hening sejenak. Entah apa yang terjadi di kamar sebelah."Mutiara...Coba ambilin baju pengantinnya mbak Ibel yang buat resepsi!"Terdengar langkah menjauh. Beberapa detik kemudian terdengar langkah