Marvin sudah sampai di rumahnya sekitar lima belas menit yang lalu. Hujan baru mereda usai salat Isya. Oleh sebab itu, salat Isya juga Marvin lakukan di masjid tersebut. Ia memilih pulang setelah hujan deras berhenti.
Usai mandi air hangat dan berganti baju santai di rumah. Tepat saat ia berniat membuat secangkir teh, sebuah ketukan halus dari balik pintu kamarnya terdengar.
”Vin!” kata mama Marvin. Wajahnya sudah menyembul dari balik pintu.
”Iya, Ma?”
”Tadi, Ricky ke sini. Nganter foto prewed-mu. Mamah taruh di meja ruang keluarga, ya.”
Marvin langsung tersenyum lebar. Ricky, sahabatnya di bangku kuliah itu lah yang bertindak sebagai fotografer prewed-nya. Rencananya, Ricky juga yang akan menjadi fotografer saat akad dan resepsi pernikahan nanti.
Sejak lulus kuliah, temannya itu memang lebih memilih bekerja sebagai fotografer ketimbang menggunakan ijazah kuliahnya untuk bekerja.
”Oh, ya! Tadi, Ricky bilang supaya kamu pilih aja sendiri foto yang mana yang ingin dicetak di figura buat dipasang di gedung pas resepsi nanti.”
Marvin kembali tersenyum lebar. Ia suka mendengar kabar itu. Itu artinya ia bebas memilih foto yang ia sukai.
”Tadi, Mama, Papa, dan adikmu sudah lihat foto itu. Bagus. Kami suka foto-fotonya, kecuali satu tema foto.”
”Yang mana itu, Ma?”
”Yang itu, Ibel dikelilingi api. Terus, kamu naik kuda pakai baju putih basah itu.”
Marvin menghembuskan nafas panjang. Ia segera paham foto mana yang dimaksud mamanya.
”Apaan tuh?! Foto prewed kok temanya orang dikelilingi api? Yang ngeliat jadi serem sendiri,” kata perempuan paruh baya itu terlihat bergidik.
”Itu temanya heroik gitu lho, Ma. Jadi, ceritanya Ibel sedang dalam bahaya. Terus, kuselamatkan dia dari kobaran api yang mengelilinginya itu. Aku adalah pangeran berkuda putih yang datang untuk membebaskan dia,” jelas Marvin.
”Aahh...mama ngeliatnya nggak gitu! Serem. Mama takut,” protes mamanya.
”Seremnya itu di mananya sih, Ma?”
"Mama ngiranya si Ibel lagi kena azab api neraka.”
”Astaghfirullah!!!” seru Marvin spontan.
”Pokoknya, jangan foto itu yang dipilih buat dicetak besar! Mama nggak mau liat foto itu di gedung pernikahan.”
”Siaaaaappp, Ibunda Ratu!”
”Beneran lho ya!?”
”Pastilah. Apa yang nggak buat mamaku yang tercantik di alam semesta ini!”
”Lebay ah kamu,” sahut mamanya sembari meninggalkan kamar Marvin.
Marvin terkekeh setelah menggoda mamanya. Ia langsung mengikuti mamanya keluar kamar dan melanjutkan niatnya untuk membuat secangkir teh hangat terlebih dahulu, sebelum ke ruang keluarga.
Marvin duduk di kursi sambil membuka album foto. Ia tersenyum lebar melihat foto-foto itu. Seperti yang dikatakan mamanya tadi, foto-foto itu bagus sekali.
Temanya sudah disesuaikan dengan permintaan mamanya. Beliau berpesan agar foto prewed yang dibuat itu harus sopan. Mamanya tak mau Ibel berbaju terbuka. Apalagi, ada adegan pelukan ataupun gendongan. Mamanya melarang Marvin melakukan foto seperti itu.
”Mama risih ngeliat foto seperti itu. Nggak bagus aja yang kayak gitu dipamerkan. Belum nikah kok sudah pegang-pegang,” kata mamanya mewanti-wanti.
Marvin menyetujuinya. Ia sendiri juga mengaku tak suka dengan adegan seperti itu. Karena itu, ia secara khusus minta ke Ricky supaya dibuatkan tema foto prewed yang sopan.
Ricky pun akhirnya mengusulkan beberapa tema. Salah satu tema foto mereka adalah salat berjamaah. Marvin sebagai imamnya dan Ibel makmumnya.
Tema lainnya berupa foto ketika Marvin tengah mengajari Ibel membaca Al Quran. Untuk tema terakhir, foto heroik itu. Ricky mengaku ingin melihat Marvin tampil sebagai penyelamat dan pelindung bagi Ibel.
Marvin mengamati foto yang disebut mamanya seram tadi. Ia mengamati foto itu beberapa detik. Entah kesan seram dari mana yang dirasakan mamanya itu. Yang jelas, ia merasa tak ada yang menakutkan di foto tersebut.
Marvin melirik jam dinding. Sudah pukul 20.15 wib. Terlintas di pikiran Marvin untuk menelepon Ibel. Ia ingin memberi tahu soal foto prewed ini.
Album foto prewed itu Marvin bawa ke kamarnya. Ponselnya ada di kamar. Tadi sewaktu masuk kamar, ia sempat mengeluarkan ponselnya itu untuk ia charger sebelum mandi.
Marvin melepas charger ponsel. Setelah itu, ia segera membuka kunci ponsel dan mencari nama Ibel.
Marvin menunggu teleponnya diangkat Ibel. Sekian detik menunggu, akhirnya telepon itu diangkat juga oleh Ibel. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Marvin menanyakan Ibel sedang ada dimana karena Marvin mendengar suara motor dan mobil sedang melintas.
”Masih di luar rumah,” jawab Ibel.
”Masih kerja?” tanya Marvin yang reflek melihat jam dinding kamarnya. Sudah nyaris setengah sembilan. Kenapa Ibel belum ada di rumah?
”Udah selesai kok. Ini dalam perjalanan pulang. Kan tadi hujan. Jadi, aku nungguin di kantor aja. Nunggu hujannya reda.”
”Oohhh ... iya. Aku lupa. Aku tadi juga berteduh dulu,” kata Marvin kemudian.
Ia lupa menyadari kalau tadi hujan deras mengguyur Surabaya secar merata. Wajar kalau Ibel juga kehujanan seperti dirinya.
”Udah malam, Bel. Buruan pulang ya!” kata Marvin dengan nada khawatir.
”Iya. Dikit lagi sampai rumah kok.”
”Mbak ... test pack merek yang mbak cari lagi kosong nih. Merek lain mau nggak?”
Marvin terbeliak. Ia kaget mendengar suara dari seberang telepon itu.
”Bel?! Itu suara siapa?”
”Eeehh ... sorry, aku matiin dulu ya. Sebentar aja. Habis gitu aku telepon balik.”
Dalam hitungan detik percakapan terputus. Ada tanda sambungan diakhiri. Marvin menatap bingung ponselnya. Ia masih terngiang suara perempuan dari seberang tadi.
”Test pack?” gumam Marvin.
TerlihatMarvin berjalan ke kasurnya. Ia duduk di kasurnya sambil masih memegangponselnya. Marvin termenung untuk beberapa saat.Tangannyasegera bergerak membuka instagramnya. Ia membaca DM yang ia terima sore tadi.Rasa kesal yang menggunung kembali menghinggapinya. Ia kesal dengan isipercakapannya dengan akun si Lily_Yang_Tersakiti tersebut. Sebutan naif danjadilah cerdas sungguh mengganggu pikirannya.
Hari kemarin telah berlalu. Marvin baru saja mencuci tangannya usai makan saat telepon dari mamanya masuk. Segera saja Marvin mengangkatnya. Usai menjawab salam, mamanya langsung mengingatkan sesuatu.
"Vin ... bisa kita bicara sebentar?" kata Ibelpada Marvin.Keduanya saat ini sedang ada di Tiara Catering. Marvindan Ibel sudah datang sejak setengah jam yang lalu. Marvin menjemput Ibelterlebih dahulu. Untungnya, Marvin membawa mobil. Seandainya ia membawa motor,entah bagaimana nasib Ibel.
Mata Marvin terbeliak. Pertanyaan itu mengejutkannya karena terbilang tak sopan juga. Itu sebabnya ia mendelik kaget. "Maaf ... saya tahu pertanyaan ini mungkin nggak sopan. Saya hanya penasaran saja," kata ibu katering dengan senyum kecut.
Marvin keluar dari kamarnya untuk sarapan pagi. Ia berjalan menuju ruang makan dengan wajah lesu. Di ruang makan ortu dan adiknya Marvin sudah duduk di kursi untuk sarapan. Saat Marvin sampai di meja makan, adiknya, Merva malah sudah selesai sarapan. Mama dan papanya Marvin melihat Marvin menarik kursi tanpa semangat. Terlihat wajahnya Marvin kuyu tak ada senyuman. Wajahnya tampak murung."Lemes amat!" kata papanya singkat mengomentari Marvin.Marvin meresponnya dengan senyuman kecut."Semalam kamu juga nggak makan malam. Banyak kerjaan di kantor?""Iya," sahut Marvin singkat."Sarapan yang banyak, Mas! Biar kuat menghadapi pahitnya hidup," seloroh adiknya dengan senyum usil.Marvin meresponnya dengan cengiran ke arah adiknya tersebut."Mah...Pah...Aku ada kuliah jam pertama pagi ini. Ngumpulin tugas juga. Jadi mau berangkat dulu sekarang,""Mmmhhh," gumam papanya."Hati-hati!" pesan mamanya."Iya,"Merva salim ke papa dan mamanya."Mas...Aku berangkat duluan ya,""Iya. Hati-hati," p
Jam makan siang sedang berlangsung. Marvin makan siang di sebuah restoran dekat kantornya. Hari ini Ricky menemuinya. Itu sebabnya ia makan siang di sini. Biar leluasa berbicara.Keduanya sudah berada di tempat ini sekitar 10 menit yang lalu. Usai minuman yang mereka pesan datang Ricky langsung menyodori pertanyaan foto mana yang diminta Marvin untuk dicetak besar."Terserah kamu aja," ujar Marvin ke Ricky."Lho kok terserah aku?" kata Ricky setengah protes.Marvin tersenyum kecut. Terlihat ia masih tak bersemangat."Yang nikah kan kamu. Jadi kamu pilihlah foto mana yang mau aku cetak buat di gedung nanti!"Marvin masih tak bergeming. Terlihat ia tak berminat untuk memilih."Ini mumpung aku lagi baik lho, Vin. Ngasih kesempatan kamu milih sendiri. Biasanya aku sendiri yang nentuin. Nggak pakai nanya klien,""Ya udah gitu aja. Malah enak. Biar aku nggak pusing milihnya," jawab Marvin. Kali ini suaranya terdengar ketus.Ricky menatap Marvin dengan sorot mata keheranan. Perubahan suara M
Marvin mengangguk setuju. Kemungkinan seseorang mau mengaku usai melakukan kesalahan itu kecil sekali. Orang cenderung menutupi kesalahannya. Tapi dia harus mulai mencari bukti dari mana? Harus ke RS mana untuk penyelidikan awalnya? Nggak mungkin ia mendatangi seluruh RS yang ada. Kalau pun ketemu, pihak RS belum tentu mau membuka data diri pasien. Bertanya langsung ke Lily_Yang_Tersakiti juga bukan pilihan yang menyenangkan. Sejak awal pengirim DM ini lebih banyak bertindak seperti pengirim surat kaleng. Identitasnya tak diketahui. Ditanyai sikapnya ketus. Yang ada Marvin jadi dibuat jengkel saat berinteraksi dengannya. Hening sesaat. Pelayan mengantarkan makanan yang mereka pesan. Marvin pamit ke kamar kecil terlebih dahulu. Ia mempersilakan Ricky makan lebih dulu.Marvin baru saja selesai mencuci tangannya usai pipis. Setelah itu ia mengambil ponselnya sejenak untuk melihat sudah pukul berapa saat ini. Di saat bersamaan ada pemberitahuan dari instagramnya. Dahi Marvin mengerut. T
Marvin mematut dirinya di depan cermin. Ia mengamati bayangannya di cermin yang sedang mengenakan baju pernikahannya. Ini baju kedua yang ia pakai. Baju pertama yang dipakai untuk akad sudah ia coba beberapa menit yang lalu. Sedangkan baju yang ia pakai saat ini baju yang hendak dipakai saat resepsi. "Gimana Mas Marvin? Bajunya pas kan?" tanya Ayudia Inara, MUA sekaligus pemilik dari WO yang akan menangani pernikahan Marvin dan Ibel nanti. Hari ini selain fitting baju, Ibel akan test make up di tempat ini."Pas kok mbak," sahut Marvin. Ia memanggil mbak ke Ayudia karena perempuan itu masih terbilang muda. Sekitar umur 32 tahun. Selain masih muda, Ayudia juga seorang perempuan yang energik serta ramah. Hingga Marvin dan Ibel merasa tak perlu menciptakan jarak dengan memanggilnya Bu Ayudia.Ayudia dan seorang karyawannya mengamati sejenak baju yang dikenakan Marvin. Keduanya terlihat puas karena baju itu melekat sempurna di tubuh Marvin. Keduanya sempat meminta Marvin berputar untuk s