[Hahaha … jika Anda cerdas, tentu Anda tahu seperti apa kelakuan tunangan Anda di belakang Anda!]
Dahi Marvin berkerut. Emosi masih melandanya. Muncul pertanyaan yang menyeruak di hatinya.
”Ada apa ini?” lirih Marvin.
Pertanyaan lain ikut bermunculan karena penasaran. Ada apa dengan Ibel? Apa yang dilakukan Ibel di belakangnya? Siapa pengirim DM ini? Dia ada masalah apa dengan Ibel?
Walau hatinya diliputi kemarahan karena disebut naif dan disuruh menjadi cerdas, tapi rasa penasaran yang muncul itu sanggup membuatnya tak segera mengakhiri percakapan dengan Lily.
Ia juga belum terpikir untuk memblokir akun Lily_Yang_Tersakiti tersebut. Wajah Marvin tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia ingin mencari tahu apa yang terjadi antara Ibel dan Lily.
[Anda punya masalah dengan tunangan saya?]
Begitu bunyi pesan yang dikirim Marvin ke Lily. Tak harus menunggu lama, DM Marvin itu langsung terbaca dan mendapatkan balasan.
[Anda bertanya seperti ini ke saya? Pertanyaan bodoh. Jika saya tidak ada masalah dengan tunangan Anda, kenapa saya mau berurusan dengan Anda? Bener-bener naif Anda ini!]
Wajah Marvin kembali murka. Ia mengirim pesan seperti tadi sebagai bentuk sopan santun belaka. Ia tahu kalau Ibel dan Lily sedang ada masalah. Tapi tentu tidak sopan kalau ia langsung menodong dengan pertanyaan ada masalah apa Anda dengan Ibel? Itu bukan pertanyaan bodoh. Hanya pertanyaan basa-basi sebelum ia bertanya ke inti masalahnya.
[Saya rasa, percakapan kita cukup sampai di sini. Saya tak akan meladeni Anda lagi.]
Marvin yang diliputi perasaan geram akhirnya memilih untuk mengakhiri percakapan dengan Lily. Sebuah geledek menyambar tepat Marvin usai menekan tombol kirim.
Langit memutih beberapa detik sebelum bunyi geledek menyambar. Bunyi geledek itu begitu nyaring hingga membuat Marvin membaca istigfar karena begitu kaget.
Bapak yang mengaji tadi juga terlihat kaget. Ia menghentikan mengajinya. Baik Marvin, maupun bapak itu terlihat mengatur nafas karena kaget.
Geledek kembali menyambar. Marvin kembali beristigfar. Belum normal detak jantungnya karena geledek pertama, ia harus kaget oleh bunyi geledek kedua.
Bapak yang mengaji tadi selesai mengaji. Marvin tampak berdoa memohon perlindungan. Ia memang tak suka saat hujan deras turun seperti ini. Bunyi geledek selalu mengagetkannya. Orang tuanya pernah bercerita, sewaktu ia masih balita, ia selalu menangis saat hujan turun. Apalagi, kalau geledek sudah terdengar. Ia akan menangis semakin kencang, sehingga membuat orang tuanya sibuk menenangkannya.
“Tidak usah menangis. Jangan takut. Hujan itu bukan untuk ditakuti, tetapi disyukuri. Itu saatnya ikan minum air. Saatnya sumur diisi airnya. Biar kita nggak kekurangan air.”
Kata-kata itu sering diucapkan oleh orang tuanya saat hujan turun untuk menenangkannya supaya tak menangis saat hujan turun dengan lebatnya.
”Mendungnya gelap. Sepertinya hujan akan lama berhentinya,” kata bapak yang tadi mengaji itu. Seketika, Marvin sadar dari lamunannya.
Ia mengembalikan Al Quran di lemari yang tak jauh dari tempat Marvin duduk. Dari tempat itu, mereka bisa melihat sedikit ke arah luar masjid. Ada pintu di samping masjid yang terbuka. Langit begitu gelap bukan karena ini menjelang Magrib semata, tapi juga karena mendung pekat.
”Iya,” sahut Marvin setelah memalingkan muka untuk menatap bapak itu. Tempat itu sedang tak ada orang selain mereka berdua. Jadi, Marvin berpikir kalau bapak itu pasti mengajaknya berbicara. Kalimat tadi terdengar sebagai pembuka percakapan.
”Rumahnya mas jauh dari sini?” tanya bapak itu.
Marvin tersenyum tipis sambil mengangguk. ”Lumayan pak. Sekitar 20-30 menit dari sini.”
Giliran bapak itu yang tersenyum sambil mengangguk. ”Kalau gitu, mas-nya harus sabar menunggu di sini.”
”Iya, pak. Lebih aman dan nyaman ada di sini.”
Bapak itu kembali tersenyum dan mengangguk. Sejurus dengan itu kembali langit memutih. Kilat muncul diiringi sambaran geledek berbunyi sangat kencang. Bapak tadi dan Marvin sampai terlonjak kaget. Keduanya spontan beristigfar. Setelah itu keduanya terlihat menata nafas karena detak jantung mereka kembali berdegup keras.
”Saat yang mustajab untuk berdoa.”
Marvin menatap bapak tersebut dengan sorot mata tak paham.
”Hujan deras seperti ini salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Mari kita berdoa dengan khusyuk. Semoga Allah mengabulkan semua permohonan kita,” kata bapak itu sambil diiringi senyum bijaksana.
Marvin melempar senyum lebar. Ia segera mengangguk paham. Iya. Ia pernah mendengar kata-kata yang seperti itu juga dari ustaz sewaktu mendengarkan ceramah usai salat Subuh di masjid dekat rumahnya.
Mendadak, Marvin teringat DM yang ia terima beberapa menit yang lalu. DM yang mengganggu benaknya itu sebaiknya ia doakan agar tak muncul-muncul lagi.
Jujur, ia tak suka dengan watak si pengirim pesan yang terkesan angkuh, sombong, dan suka memandang rendah orang lain.
Marvin segera berdoa dalam hati. Ia berharap Allah menjauhkannya dari orang seperti si pengirim DM itu.
Marvin sudah sam
TerlihatMarvin berjalan ke kasurnya. Ia duduk di kasurnya sambil masih memegangponselnya. Marvin termenung untuk beberapa saat.Tangannyasegera bergerak membuka instagramnya. Ia membaca DM yang ia terima sore tadi.Rasa kesal yang menggunung kembali menghinggapinya. Ia kesal dengan isipercakapannya dengan akun si Lily_Yang_Tersakiti tersebut. Sebutan naif danjadilah cerdas sungguh mengganggu pikirannya.
Hari kemarin telah berlalu. Marvin baru saja mencuci tangannya usai makan saat telepon dari mamanya masuk. Segera saja Marvin mengangkatnya. Usai menjawab salam, mamanya langsung mengingatkan sesuatu.
"Vin ... bisa kita bicara sebentar?" kata Ibelpada Marvin.Keduanya saat ini sedang ada di Tiara Catering. Marvindan Ibel sudah datang sejak setengah jam yang lalu. Marvin menjemput Ibelterlebih dahulu. Untungnya, Marvin membawa mobil. Seandainya ia membawa motor,entah bagaimana nasib Ibel.
Mata Marvin terbeliak. Pertanyaan itu mengejutkannya karena terbilang tak sopan juga. Itu sebabnya ia mendelik kaget. "Maaf ... saya tahu pertanyaan ini mungkin nggak sopan. Saya hanya penasaran saja," kata ibu katering dengan senyum kecut.
Marvin keluar dari kamarnya untuk sarapan pagi. Ia berjalan menuju ruang makan dengan wajah lesu. Di ruang makan ortu dan adiknya Marvin sudah duduk di kursi untuk sarapan. Saat Marvin sampai di meja makan, adiknya, Merva malah sudah selesai sarapan. Mama dan papanya Marvin melihat Marvin menarik kursi tanpa semangat. Terlihat wajahnya Marvin kuyu tak ada senyuman. Wajahnya tampak murung."Lemes amat!" kata papanya singkat mengomentari Marvin.Marvin meresponnya dengan senyuman kecut."Semalam kamu juga nggak makan malam. Banyak kerjaan di kantor?""Iya," sahut Marvin singkat."Sarapan yang banyak, Mas! Biar kuat menghadapi pahitnya hidup," seloroh adiknya dengan senyum usil.Marvin meresponnya dengan cengiran ke arah adiknya tersebut."Mah...Pah...Aku ada kuliah jam pertama pagi ini. Ngumpulin tugas juga. Jadi mau berangkat dulu sekarang,""Mmmhhh," gumam papanya."Hati-hati!" pesan mamanya."Iya,"Merva salim ke papa dan mamanya."Mas...Aku berangkat duluan ya,""Iya. Hati-hati," p
Jam makan siang sedang berlangsung. Marvin makan siang di sebuah restoran dekat kantornya. Hari ini Ricky menemuinya. Itu sebabnya ia makan siang di sini. Biar leluasa berbicara.Keduanya sudah berada di tempat ini sekitar 10 menit yang lalu. Usai minuman yang mereka pesan datang Ricky langsung menyodori pertanyaan foto mana yang diminta Marvin untuk dicetak besar."Terserah kamu aja," ujar Marvin ke Ricky."Lho kok terserah aku?" kata Ricky setengah protes.Marvin tersenyum kecut. Terlihat ia masih tak bersemangat."Yang nikah kan kamu. Jadi kamu pilihlah foto mana yang mau aku cetak buat di gedung nanti!"Marvin masih tak bergeming. Terlihat ia tak berminat untuk memilih."Ini mumpung aku lagi baik lho, Vin. Ngasih kesempatan kamu milih sendiri. Biasanya aku sendiri yang nentuin. Nggak pakai nanya klien,""Ya udah gitu aja. Malah enak. Biar aku nggak pusing milihnya," jawab Marvin. Kali ini suaranya terdengar ketus.Ricky menatap Marvin dengan sorot mata keheranan. Perubahan suara M
Marvin mengangguk setuju. Kemungkinan seseorang mau mengaku usai melakukan kesalahan itu kecil sekali. Orang cenderung menutupi kesalahannya. Tapi dia harus mulai mencari bukti dari mana? Harus ke RS mana untuk penyelidikan awalnya? Nggak mungkin ia mendatangi seluruh RS yang ada. Kalau pun ketemu, pihak RS belum tentu mau membuka data diri pasien. Bertanya langsung ke Lily_Yang_Tersakiti juga bukan pilihan yang menyenangkan. Sejak awal pengirim DM ini lebih banyak bertindak seperti pengirim surat kaleng. Identitasnya tak diketahui. Ditanyai sikapnya ketus. Yang ada Marvin jadi dibuat jengkel saat berinteraksi dengannya. Hening sesaat. Pelayan mengantarkan makanan yang mereka pesan. Marvin pamit ke kamar kecil terlebih dahulu. Ia mempersilakan Ricky makan lebih dulu.Marvin baru saja selesai mencuci tangannya usai pipis. Setelah itu ia mengambil ponselnya sejenak untuk melihat sudah pukul berapa saat ini. Di saat bersamaan ada pemberitahuan dari instagramnya. Dahi Marvin mengerut. T