“Nanti, kami hubungi dua atau tiga hari lagi, ya, Mbak Intan.” “Baik, Bu.” Intan berdiri dari tempat duduknya, lalu mengulurkan tangan pada manajer cabang tempatnya melamar pekerjaan, atas rekomendasi salah satu temannya. “Terima kasih juga atas waktunya. Permisi.” Intan keluar ruangan dengan masih membawa rasa gugupnya. Ia lantas duduk pada kursi tunggu yang berada di depan salah satu ruang bimbingan belajar, lalu menyentuh perutnya. Intan berharap, semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana. Dengan atau tanpa ayah, Intan yakin bayinya tidak akan kekurangan apa-apa. Setelah merasa tenang dari kegugupannya, Intan segera berdiri dan keluar dari lembaga bimbingan belajar tersebut. “Intan?” Intan menoleh pada seorang pria, yang baru saja mematikan mesin motor sportnya. Mengernyit bingung, karena pria itu masih mengenakan helm full face dan hanya terlihat bagian matanya saja. Meskipun sudah melihat perawakan pria itu dari atas hingga bawah, Intan masih tidak bisa menebak,
Senyum Intan terlukis lebar, setelah mendapat telepon dari pihak lembaga bimbingan belajar Primagala. Ia berbaring perlahan di tempat tidur, kemudian menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak. Intan tahu, gajinya memang tidak seberapa, tetapi, cukup lumayan bila ditabung dan digunakan untuk jaga-jaga saat bercerai nanti. Jika saja tidak memikirkan kedua orang tuanya dan omongan tetangga, Intan pasti akan segera mengajukan cerai pada Safir. Namun, apa boleh buat. Intan tidak boleh egois, karena ada hati kedua orang tua yang juga harus dijaga. Intan sudah mengecewakan mereka satu kali, untuk itulah, Intan berusaha untuk tidak mengecewakan orang tuanya. Paling tidak, bukan dalam waktu dekat. Teriakan Intan terhenti, saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia bergegas menyingkirkan bantal, kemudian bangkit perlahan dan duduk sebentar untuk mengenyahkan raut bahagianya barusan. Sambil mengatur ekspresinya, Intan lantas beranjak lalu membuka pintu kamar. “Mbak … Lintang …” Untuk apa l
Lebih baik menghindar, daripada terluka lagi. Dalam kesendiriannya, Intan hanya butuh kata “waras” agar bisa tetap berdiri tegak. Tidak ada yang bisa diandalkan, kecuali dirinya sendiri. Tidak ada juga yang bisa diharapkan, karena ujung-ujungnya Intan hanya menelan rasa kecewa.Intan memang salah. Karena itulah, ia berusaha bertanggung jawab dan memperbaiki masa depannya kelak. Ada orang tua yang tidak lagi boleh ia kecewakan, dan calon bayi yang nantinya akan menjadikan Intan sebagai panutan. Oleh sebab itu, Intan harus benar-benar memilah semua hal, agar tidak lagi jatuh ke dalam lubang akibat kecerobohannya sendiri.“Siang, Bu Widi,” sapa Intan ketika baru saja keluar dari kelasnya. Ia berpapasan dengan manajer cabang, yang tempo hari langsung turun tangan mewawancarainya.“Siang, Tan.” Widi mengangguk kecil, seraya tersenyum kecil. “Sudah mau pulang, atau masih ada kelas?” tanya Widi tanpa menghentikan langkah, karena Intan juga sudah berjalan di sampingnya. “Ada satu lagi, Bu,”
“Beneran, ya, Mas Fajar lagi nggak sibuk,” tanya Intan memastikan lagi, karena khawatir pria itu memiliki pekerjaan yang menumpuk di kantornya.“Kalau sibuk, saya nggak mungkin ke sini nemui kamu,” kata Fajar lalu mempersilakan Intan yang baru saja berdiri, untuk duduk kembali. “Lagian juga dekat dari kantor, sekalian makan siang. Kamu sendiri gimana? Sampai jauh-jauh datang ke sini, padahal bisa bicara lewat telepon.”Intan meringis sembari duduk kembali di kursinya. Bukannya tidak ingin bicara lewat telepon, tetapi, Intan merasa bisa lebih bebas bila langsung bertemu dan bicara seperti saat ini.“Maaf, ya, Mas, sudah ngerepotin,” balas Intan sambil melambai tangan pada seorang pelayan. “Tapi nggak ada yang marah, kan?”Fajar terkekeh sembari menggeleng. “Bukan nggak ada, tapi belum ada.”“Aman berarti, ya?” gurau Intan kemudian ikut tertawa bersama Fajar.Mereka menghentikan pembicaraan sejenak, untuk memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Setelah selesai, barulah obrolan yang
“Kita selesaikan semua ini nanti malam.”Saat mengingat ucapan Safir tersebut, Intan tidak pernah menduga pria itu ternyata meminta seluruh keluarganya berkumpul seperti sekarang. Bahkan, Raga pun saat ini sudah duduk berseberangan dengan Intan, tetapi tanpa Lintang.Jika dilihat dari jas dan dasi yang masih menempel, Raga sepertinya baru saja pulang kantor dan langsung pergi ke kediaman Sailendra. Untuk itulah, Lintang tidak berada bersama Raga saat ini. Atau, ada kemungkinan Lintang tidak tahu menahu mengenai pertemuan malam ini.“Coba Papa sama Mama tanya sama Intan, makan berdua dengan siapa dia siang tadi?” Safir yang duduk di sebelah Raga, memasang senyum tipis nan sinis pada Intan. Ia sendiri tidak tahu, mengapa rasa kesalnya pada Intan tidak bisa hilang-hilang. Di matanya, semua yang dilakukan gadis itu selalu saja salah, dan tidak bisa dibenarkan. Alasan apa pun yang diberikan gadis itu, tidak akan mampu menyibak amarah yang sudah menutupi hati Safir.Semua mata mendadak men
“APA!” Detik selanjutnya, Lintang segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Seruannya barusan terlalu keras, dan ia berusaha untuk tidak mengulangi hal tersebut sekali lagi, karena kedua putranya baru saja tertidur dengan kompaknya. “Sssshhh …” kata mendesis samar, sembari menarik ujung kemeja putihnya dari dalam celana. Sementara jas dan dasi, sudah Raga lepas di kediaman Sailendra, dan ia lupa membawanya pulang ke rumah. “Jangan keras-keras.” Lintang mengangguk pelan, dan menurunkan kedua tangannya. Kantuk yang tadinya sudah menggantung di pelupuk mata, sontak hilang seketika setelah Raga memberi kabar tidak terduga. Akan tetapi, Lintang masih tidak bisa memercayai hal itu begitu saja, kendati Raga tidak mungkin bercanda mengenai hal tersebut. “Safir nyerein Intan?” ucap Lintang pelan, sambil menghampiri Raga dengan cepat. “Serius, Pa? Mereka cerai? Barusan? Nggak salah?” “Nggak mungkin aku main-main, Ma.” Raga melepas kemeja putihnya, kemudian ia bergegas pergi ke kamar mandi
“80 persen dari gaji dan bonusmu bulan depan, tetap ditransfer ke rekening Intan,” kata Raga sambil bersedekap dan berdiri di samping kursi kerja Ario. Ia menatap ke arah jendela, dan melihat taman yang sedang disirami oleh asisten rumah tangga di luar sana. “Silakan mengundurkan diri dari perusahaan kalau kamu nggak bisa terima itu.”“Mas—”“Kamu juga bisa keluar dari rumah ini,” sahut Ario setuju dengan ucapan Raga. Ario sampai bingung sendiri, bagaimana caranya mendidik putra bungsunya itu agar bisa lebih baik, dan bertanggung jawab lagi.Ario juga tahu, Safir tidak mungkin berani keluar dari kediaman Sailendra, karena ia akan kehilangan semua kemewahan dan fasilitas yang selama ini didapatnya di rumah.“Kebutuhan Intan itu lebih banyak daripada kamu,” tambah Raga sudah malas melihat wajah adiknya. “Apalagi dia lagi hamil.”“Uang bensinku aja—”“Pake motor.” Satu sudut bibir Raga tertarik miring, dan miris mendengar Safir masih saja memikirkan nasibnya, tanpa mau mengingat Intan. “
Intan terbangun ketika dering panjang ponsel mengusiknya. Dengan malas, Intan meraih ponsel yang tergeletak di lantai, lalu melihat nama yang terpajang di sana. Melihat nama sang mama ada di sana, Intan beru-buru berdehem, agar suara serak bangun tidurnya tidak terlalu kentara saat mengangkat panggilan tersebut.“Halo, Ma.”“Kamu di mana?”Pertanyaan datar dari Jenni tersebut, kontan membuat hati Intan mendadak rikuh. Bukan karena kalimat pertanyaan yang dilontarkan Jenni, tetapi lebih kepada intonasi yang terdengar tidak hangat seperti biasanya.Karena sudah sangat mengenal Jenni, Intan sudah bisa menebak, sesuatu pasti sedang terjadi.“Aku di … kampus,” jawab Intan terpaksa berbohong, karena ia belum menyiapkan diri untuk menjelaskan perceraiannya dengan Safir.“Kenapa bu Retno bilang kamu lagi dalam perjalanan ke rumah tantemu?”Firasat Intan benar. Telah terjadi sesuatu, sehingga nada bicara Jenni terdengar dingin dan lebih tegas.Apa Retno telah menelepon Jenni, dan mengatakan se