JIMJadi, sudah seharusnya aku tak marah berlebihan atas apa yang terjadi kini. Bukankah ini balasan atas kebejatanku di masa lalu? Lantas jika ingin marah, marah pada siapa? Kuusap batu nisan sekali lagi sebelum pergi meninggalkan pekuburan ini. Dengan dipapah oleh dua pengawal, aku melangkah gontai. Nak, kita tak dapat bersama di dunia. Tolong bantu papi di akhirat nanti. Pinta pada Tuhan agar membersamakan kita dalam kebahagiaan abadi. Papi berjanji akan berupaya menetapi jalan perubahan ini. Semoga mamimu bersedia kembali ke jalan yang benar. * Setelah dipastikan tenang, aku diizinkan menemui Ela. Wanita itu sudah siuman setelah menjalani perawatan selama satu minggu. Saat masuk ruang perawatannya, Ela tengah memandang lurus ke dinding kamar. Ia tak menoleh, meski aku sudah duduk di sampingnya. Tatapan wanita ini kosong. Raganya ada di dekatku, tapi jiwanya terbang entah ke mana. Ia pasti tertekan atas musibah demi musibah yang menimpa kami sejak pernikahan terjadi. Kurengk
CINDY Akhirnya hasratku menghancurkan Jim dan Ela telah tersalurkan. Pria brengsek itu kini telah kehilangan apa yang ia perjuangkan. Begitu juga gundiknya. Wanita jahanam itu pasti sedang meratapi gelombang kesakitan yang menggulung kesombongannya. Aku masih ingat bagaimana Jim dan Ela melepas hasrat setannya di depan mataku. Mereka sangat kotor dan menjijikkan. Meski dulu aku berkhianat pada Afgan, tapi tak sampai melepas kehormatan pada Jim. Kami tak pernah berzina satu kalipun. Aku masih menjaga kehormatan Afgan di depan manusia. Tak sekalipun mengizinkan Jim menikmati tubuh ini sebelum kami sah menjadi suami istri. Tapi Ela dan Jim, mereka berzina selama satu tahun di belakangku. Saling melampiaskan napsu tanpa belas kasihan pada istri yang setia menanti di rumah. Jim pun telah mengingkari janjinya hanya menjadikan diri ini teman hidup hingga akhir masa. Dia tergoda oleh kebinalan Ela hingga mengempaskan sumpah setia. Ela bukan hanya merebut Jim, tapi ia juga menghinadinak
Wajah Jim kini mulai berbinar. Ia seperti mendapat kehidupan setelah mengalami kematian sementara. Berkali-kali mantan suamiku itu mengucapkan terima kasih. “Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Kami sekarang ada di pesantren AnNuur untuk terapi kejiwaan papa, mama dan Ela. Sekaligus agar kami mendekat kepada Tuhan. .Aku akan mengirim alamat lengkap jika kau memerlukannya untuk...” “Aku sudah memaafkanmu maka tak mungkin datang untuk membunuhmu. Pergilah sekarang!” Jim pun berlalu dengan langkah ringan. Aku mengiringi kepergiannya dengan dada yang terasa lapang. Tak sempit dan sakit seperti sebelumnya. * “Ingatlah Edward, Pernikahan kita hanya sementara. Aku hanya memintamu jadi suamiku hingga Jim hancur. Setelah itu kita pisah ‘kan. Jadi sekarang kita bisa mengurus surat perceraian!” Edward urung meneguk minuman yang gelasnya sudah ada di bibir. Iris biru itu di arahkan padaku. Begitu dalam tatapannya hingga aku tak sanggup berlama-lama beradu dengan sorot itu. “Aku tak mau b
JIM Keluarga Kevin kabur keluar negeri dengan membawa harta yang masih bisa mereka ambil. Entah berapa miliar yang dilarikan, tak kupedulikan juga. Aku membiarkan saja hal itu sebab tak punya kuasa mencegah. Intinya tiga orang itu menyerahkan semua urusan padaku saat kapal perusahaan tengah tenggelam. Aku sendiri pun bisa mengamankan uang tunai sebanyak tiga koper besar. Semua perhiasan mama dan Ela juga barang berharga aku dan papa berhasil diselamatkan. Kulakukan itu sekitar tiga bulan sebelum perusahaan dinyatakan bangkrut. Untunglah otak ini masih punya ide cemerlang. Kalau tidak kami mungkin sudah jadi gembel di hari itu. Hari di mana semua diepaskan dari kami. Harta lain tak ada satu pun yang dapat dibawa. Rumah, tanah, mobil semua disita bank. Sebagian dipakai untuk membayarkan kewajiban pada karyawan yang harus kehilangan pekerjaan. Di hari kehancuran itu jiwaku sudah lebih kuat sebab sebelumnya memang telah dipersiapkan. Saat semua yang telah kami bangun roboh tanpa bisa
JIM“Jim, papa mau ke Jakarta,” pinta papa selepas sholat Subuh. “Mau apa? Tak usahlah!” jawabku cepat. Terus terang aku kaget dengan keinginanya yang tak disangka. “Papa mau menagih utang dari Roy. Ada sekitar sepuluh miliar! Dulu dia mengemis minta pinjaman, papa kasih. Janjinya setahun dilunasi. Ternyata pura-pura lupa setelah sukses. Bukti perjanjiannya papa simpan di Romi. Di mana, ya dia sekarang?” Aku ternganga mendengar hal tersebut. Mengapa papa baru bicara sekarang. Kalau sebelumnya aku masih bisa mencari Romi, asisten setia kami dulu. Kalau saat ini bingung juga harus mencari ke mana. “Reno juga punya utang lima miliar. Dia janji bayar enam bulan lalu, tapi malah kabur.” Lalu, papa menuliskan siapa saja yang punya utang padanya. Kalau diakumulasi ternyata ada sekitar empat puluh miliar. Itu bisa jadi modal kami usaha kalau bisa diambil. Tapi biasanya tak semudah itu. Kadang yang punya utang lebih galak dari pemberi utang saat ditagih. “Jim janji akan urus ini, tapi ta
AFGAN“Jim, gue mo kenalin lo ma cewek baru gue!” “Pamer?” Aku tertawa mendengar nada sinis Jim. Untuk urusan cewek, Jim memang selalu sewot. Katanya kesal sebab aku terlalu lebay. Kalau dibandingkan koleksi ceweknya tak ada apa-apa. Aku senang saja menggoda Jim. Pria yang merupakan teman sejak kuliah ini tergolong akrab. Punya hobby sama dan ke mana pun selalu bersama. Bahkan, dalam karir kami berlomba sehat untuk jadi yang terbaik. Dia tak segan memberi formula jitu menyelesaikan persoalan marketing. Pun denganku yang tak sungkan memberi penilaian akan kinerja kerjanya. Bisa dibilang kami tumbuh bersama dari nol hingga jadi pebisnis ulung. “Hai, Honey masih di mana? Katanya Jim sudah tak sabar ingin lihat bidadari Afgan!” Kurasakan satu tinju kecil mendarat di lengan. Jim mungkin sebal dengan kelebayan temannya. Sebenarnya, aku serius kali ini ingin meminta pendapat Jim tentang Cindy. Dia sangat jeli menilai wanita. Aku selalu punya keyakinan pandangan Jim selalu tepat dalam
AFGANberat. Raut wajahnya yang tadi ceria kini berubah suram. “Aku memang kejam telah membuatmu hancur sehancur hancurnya. Kau kehilangan istri, anak bahkan ingatan sebab jiwa sangat tertekan. Semua itu akulah penyebabnya! Aku memang pendosa yang tak pantasGiliranku yang menarik napas berat. Ingatan ini sebenarnya tak ingin masuk pada masa itu. Namun, kata-kata Jim memaksanya untuk terbuka kembali lembaran hitam tersebut. Melintaslah bayangan saat Cindy menghinadinakanku setiap hari. Ia memakiku seolah suaminya ini tak punya perasaan. Seorang Afgan saat itu tak lebih dari pria pesakitan yang tak memiliki harga di hadapan Cindy. Ia hanya bisa menerima tanpa mampu membalas perlakuan kasar istrinya. Anaklah yang membuatku bertahan dalam sakit tak berdarah itu. Pikirku jika bercerai mereka akan jadi korban utama keegoisan kami. Akhirnya Allah menunjukkan fakta mengapa Cindy bersikap seperti itu. DarI sanalah aku sadar sesadar sadarnya bahwa segala pengorbanan itu tiada guna. Aku pu
AFGANHanya saja, waktu tak bisa diulang. Waktu maju ke depan, bukan mundur ke belakang. “Jim, kalau semedinya sudah beres, temui aku. Kita jalin pertemanan seperti dulu!” “Insya Allah! Sekarang aku mau fokus mengobati dan mendidik Ela agar mau taat pada Allah. Seburuk apapun, tetaplah dia istriku. Aku punya kewajiban membawanya ke jalan kebenaran!” Luar biasa, Jim benar-benar sudah berubah. Dia sedang menapaki jalan kebenaran. Itulah kuasa Allah memberi hidayah pada siapapun yang dikehendakiNya. Kepergian Jim membawaku pada lamunan masa lalu. Di mana suka dan duka silih berganti terjadi dalam hidup ini. Tak pernah menyangka akan mengalami fase kehidupan semenyedihkan itu. Dikhianati sahabat sendiri hingga jatuh pada titik kehidupan paling rendah. Untung aku hanya gila, tidak sampai nekat bunuh diri. Tak terbayangkan jika itu terjadi. Betapa akan abadi di neraka nanti. Bunuh diri adalah kondisi di mana manusia telah kufur pada rahmat Allah. Dia tak yakin lagi bahwa Tuhan memilik