Langkah Miftah terlihat gontai saat memarkirkan motor di depan halaman. Dia lepas helm, dan jas hujan yang semula dikenakan, lalu berjalan sembari menjinjing sebungkus martabak ketan keju kesukaan sang ibu.Gajian baru saja dicairkan, tapi tak ada suka cita yang biasa tergambar di wajahnya. Kebingungan hinggap tanpa permisi, ketika dia menarik uang sejumlah tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu tersebut. Sepanjang jalan memikirkan supaya uang tersebut bisa cukup sampai bulan depan. Apalagi mengingat di samping sang istri dan anak bayinya, ada ibu dan adik yang juga harus dia nafkahi.Langkah kaki Miftah berhenti di ambang pintu. Lamunannya tercerai berai. Di tengah kekalutan pikiran, tiba-tiba bayangan Tika menyelinap tanpa permisi dan mengusik apa yang seharusnya lenyap dan tak perlu diingat lagi. Logikanya menentang, tapi hatinya tetap tak bisa dibohongi. Belum ada sepekan sejak perceraian mereka disahkan, tapi Miftah sudah mulai terganggu melihat kedekatan Tika dan Andri.Duk!Sebu
"Istri kamu tega banget, Mif. Masa beli sate dia makan sendiri di kamar. Jangankan beliin Mama, nawarin aja enggak. Makanya tadi Mama ikut botram (makan bareng) di rumah Ceu Ningsih. Di sana lumayan banyak lauknya. Daripada di sini cuma makan nasi, sama makan ati. Sendirinya aja bisa foya-foya, paketan datang hampir tiap hari, tapi beli lauk sama isi kulkas kayaknya nggak sudi. Mana nyuruh Si Dini ngelonte, terus minta ibu jadi babu. Si Desi itu keterlaluan banget tahu, nggak!" Naik-turun dada Bu Nur saat menjelaskan kronologis kejadian sepanjang hari ini, sembari menyantap martabak yang Miftah beli."Maaf, ya, Ma. Desi emang keras, tapi sebenernya dia baik, kok. Mungkin masih butuh adaptasi, efek habis melahirkan juga makanya sensi." Miftah susah payah memberi pengertian pada ibunya agar tidak memojokkan Desi."Alah, harusnya nggak perlu ada alasan, emang dianya aja yang nggak sopan. Beda banget sama Si Tika. Mama masih inget, bahkan belum 40 hari aja dia udah bisa ngapa-ngapain sen
"Besok malem aku mulai kerja di Kafe, lumayan buat nutup kekurangan kayak susu Bila sama sembako."Sembari membubuhkan cream malam di depan kaca meja rias, Desi mengutarakan tentang keinginannya untuk mulai bekerja besok."Nanti Bila suruh aja Mama yang jaga, kebetulan dia nggak ASI, jadi nggak akan repot. Tiap gajian nanti aku kasih buat keperluan Mama. Bilangin, nggak usah singgung-singgung lagi tentang Si Tika, aku nggak suka."Bu Nur memang tipe orang yang blak-blakkan dalam mengutarakan pendapatnya. Sejak ucapan Desi tempo hari, wanita paruh baya itu memang hampir tiap detik membahasnya. Membuat Desi mulai risi, karena dibanding-bandingkan dengan mantan istri Miftah itu."Emangnya cuma dia yang bisa cari duit? Emangnya cuma dia yang bisa mandiri? Istri itu harusnya nggak perlu dituntut buat cari nafkah, tugasnya itu cuma ngurus rumah tangga. Bukan ngurus rumah tangga, sama perabot-perabotan yang dibawa." Perabotan di sini Desi artikan sebagai keluar Miftah.Beberapa saat kemudian
"Ceu, kemarin saya liat mantan menantu Eceu. Bawa mobil bagus. Makin cantik, glowing, terus berisi."Bu Nur berusaha tak mendengar ocehan tetangganya saat mereka tengah merujak di teras rumah."Paling juga dapet kredit," sahut Bu Nur sekenanya."Maenya atuh? (Masa, sih?) Bukannya si Tika, teh punya kontrakan. PNS lagi. Nggak mungkin kredit, sih.""Jangan liat cuma dari satu sisi atuh, Ceu. Emang dia punya duit sebanyak apa sampe bisa beli mobil cash?" balas Bu Nur, sembari mencoel potongan buah muda pada sambal rujak."Ya, siapa tahu. Denger-denger rumahnya yang di Maleber mau dijual, terus mau pindah ke perumahan di Bumi Asri."Bu Nur tertegun, setelah beberapa lama acuh tak acuh, akhirnya Bu Nur mulai tertarik dengan pembahasan ini."Begitu, ya?""Iya. Ada yang pernah liat dia keluar dari Resto Panghegar sama laki-laki, bukan sekali. Lebih dari tiga kali malah!"Bu Nur tak menanggapi, tapi otaknya mulai berasumsi."Sebenernya saya nggak mau suudzon, gimana kalau tanpa sepengetahuan
Empat bulan sebelumnya ...."Kami tahu ini pasti sangat berat bagi Anda, tapi bagaimana pun juga kehidupan tetap berjalan, dan sudah tugas kita sebagai yang ditinggalkan untuk selalu mendoakan. Apalagi Bu Tika juga tetap harus kuat untuk janin di kandungan." Penuturan dokter selepas Tika sadar dari pingsan itu membuat isakkan perempuan itu tertahan. Ada tanda tanya besar yang menggelayut dalam benak, terkait tamu tak diundang yang kehadirannya jelas tak bisa disangkal maupun dihindari."Janin?" Tika bangkit dari posisi setengah berbaring. Dia tatapan dokter paruh baya yang berdiri di sisi kanannya, lalu Andri yang berada di sisi kirinya.Dengan anggukkan ringan lelaki berkacamata itu hanya bisa mengelus pundak Tika. Menenangkan."Ya, sudah jalan tujuh pekan.""Tapi sebulan lalu saya masih datang bulan, Dok. Walaupun cuma sedikit.""Itu namanya pendarahan implantasi, Bu. Pendarahan implantasi adalah keluarnya bercak pada masa awal kehamilan. Ketika mengalaminya, banyak wanita yang me
Tika menatap pantulan dirinya di cermin. Perut yang selama ini dia sembunyikan mulai menyembul dari balik daster yang dikenakan. Ucapan Andri terakhir kali berhasil melemparnya pada kenangan di mana dia nyaris mati karena tak sanggup menahan beban yang ditangguhkan. Apa pun yang terjadi janin ini salah satu alasan yang membuatnya kuat sampai berada di titik sekarang. Meskipun berasal dari benih lelaki bajingan. Namun, kehadirannya tak bisa dipungkiri sebagai pengobat pilu atas kepergian Akbar."Kuat, kuat di sana, ya, Nak. Kamu punya Bunda. Cuma Bunda, nggak ada yang lain. Pokoknya kita bertahan sampai akhir, sampai Allah bilang semua cobaannya udah selesai." Tika mengelus perutnya yang mulai membuncit dan bergumam. Perhatiannya kembali teralihkan ketika ponsel yang tergeletak di pembaringan berdering lagi.Tika meraih benda pipih itu, menatap nama Miftah yang terus tertera di layar. Sampai saat ponselnya kembali mati dan tiga panggilan tak terjawab terlihat di bar notifikasi, barulah
Di dalam kamar, di atas pembaringan, Tika memerhatikan dengan saksama tas yang diberikan Miftah, juga postingan FB yang Desi upload sebulan lalu. Berwarna kombinasi hitam dan merah. Kedua tas ini benar-benar sama persis.Perempuan itu meringis, tersenyum miring menatap betapa menyedihkannya mantan suaminya saat ini. Ingin terlihat royal, tapi sayangnya tak modal. Barang istri pun tak sungkan dia gasak untuk menyenangkan selingkuhan. Hal ini juga pernah dia lakukan pada Tika, selama tujuh tahun pernikahan mungkin Tika kehilangan lebih banyak daripada yang mampu Desi rasakan sekarang. Miftah sudah tidak bisa diselamatkan, beberapa orang bilang kalau selingkuh itu bukan hanya sekadar selingan, beberapa kasus membuktikan bahwa sebagian lelaki justru menjadikannya sebagai kebiasaan. Seolah tak puas hanya dengan satu orang. Selalu kurang, kurang, dan segala cara dihalalkan hanya untuk memenuhi hasrat yang seolah tak pernah terpuaskan. Tiba-tiba Tika merasa jijik, jika bisa memutar waktu s
Bu Nur baru saja kembali dari Padalarang saat melihat kondisi rumah tak ubahnya kapal pecah. Ditinggal tiga hari teras penuh debu dan kotoran ayam, cucian baju dan piring menggunung. Wajan dan teplon bekas pakai masih teronggok di atas kompor, bahkan ada yang sudah terjungkal bekas menyeduh mie instan."Astagfirullah, Des. Kamu ngapain aja sampe rumah mirip kandang kambing begini?" Buru-buru Bu Nur meletakkan bawaannya di atas meja makan, dan membereskan beberapa barang yang tercecer."Susah, Ma. Bila rewel terus. Belum malemnya aku kerja, Mama pikir aja sendiri mana sempat ngurusin rumah." Suara Desi terdengar angkuh dari arah kamar. Perempuan berambut panjang itu keluar sembari menggendong Bila."Ya ampun. kamu ini bener-bener nggak bisa diandelin, ya. Beda banget sama--""Si Tika," potong Desi dengan kesal."Kalau emang dia segalanya bisa diandelin, kenapa malah A Miftah tinggalin? Terus kenapa aku juga Mama restuin?"Bu Nur terbungkam, tak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. T